tirto.id - Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (sebelumnya Cipta Lapangan Kerja atau Cilaka) tak hanya berpotensi merugikan kaum buruh dan mengabaikan sektor lingkungan hidup. RUU dengan konsep omnibus law ini juga mengatur soal pendidikan serta berpotensi melanggengkan praktik pemalsuan ijazah, sertifikat, dan gelar.
Hal itu dimungkinkan karena dalam draf omnibus law RUU Cilaka, terdapat tiga pasal dalam Undang-Undang Nonomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional [PDF] yang akan dihapus. Ketiga pasal itu antara lain: 67, 68, dan 69.
Pasal 67 yang dihapus terdiri dari empat ayat, yaitu:
“(1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
“(2) Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
“(3) Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
“(4) Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Itu artinya ancaman pidana kepada orang, organisasi dan penyelengara pendidikan yang memberikan ijazah dan sertifikat palsu hilang.
Ancaman penggunaan gelar akademik tanpa izin juga hilang. Lembaga pendidikan yang melakukan tindak penipuan dan pidana juga hilang ancaman pidananya.
Pasal 68 yang dihapus terdiri dari 4 ayat, yaitu:
“(1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
“(2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
“(3) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”
“(4) Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Konsekuensi dari penghapusan pasal tersebut adalah orang yang memalsukan dan membantu pemalsuan ijazah, sertifikat, gelar akademik dan lainnya tidak diancam pidana lagi.
Sementara Pasal 69 yang juga dihapus terdiri dari dua ayat, yaitu:
“(1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
“(2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Penghapusan tersebut artinya, lagi-lagi, orang yang menggunakan ijazah, sertifikat, gelar akademik palsu, tidak dipidana lagi.
Dosa Intelektual
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengkritik keras penghapusan pasal-pasal dalam UU Sisdiknas oleh RUU Cilaka. Ia menilai RUU sapu jagad itu seperti dibajak oleh pihak-pihak tertentu di ranah pendidikan.
“Ini aturan ngawur. Omnibus Law RUU Cilaka telah dibajak oleh penjahat-penjahat pendidikan," kata Ubaid saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (19/2/2020).
Menurut Ubaid, RUU Cilaka sangat berbahaya di ranah pendidikan, karena akan membuka celah untuk melanggengkan praktik-praktik pemalsuan ijazah.
Sebab, kata Ubaid, mau bagaimana pun, orang-orang yang melakukan praktik pemalsuan ijazah, sertifikat, dan gelar yang telah banyak terjadi selama ini, memang harus dipidana.
"Karena ini kesalahan besar terkait dengan dosa intelektual. Aturan ini wajib ditinjau ulang karena ada kesalahan-kesalahan fatal semacam itu. Jika tidak, maka menginspirasi orang untuk melakukan curang,” kata dia.
Kritik senada dilontarkan Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim. Ia mengatakan penghapusan pasal-pasal tersebut menjadi preseden buruk yang menandakan kemunduran di dunia pendidikan.
“Ini justru kemunduran dalam dunia pendidikan, sepemahaman saya adanya ancaman pidana terhadap tindakan pemalsuan ijazah, mendirikan kampus abal, dan seterusnya, itu spesifik 'kejahatan pendidikan' yang diatur UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi, yang merupakan 'lex specialis',” kata Satriwan saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (20/2/2020).
Dengan adanya omnibus law RUU Cilaka, kata Satriwan, seolah-olah cara apa pun dihalalkan demi tujuan lapangan kerja.
“Padahal dunia sekolah atau dunia pendidikan itu tujuannya untuk menyiapkan karakter anak bangsa yang baik, bukan menciptakan robot-robot pekerja,” kata dia.
Kemendikbud Terlibat
Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Ainun Naim membenarkan kalau omnibus law RUU Cilaka ikut membahas ranah pendidikan.
Ainun bahkan membenarkan keterlibatan lembaganya dalam penyusunan draf RUU Cilaka yang ramai diprotes buruh dan masyarakat sipil.
“Iya [RUU Cilaka bahas pendidikan]. Itu masih dibahas. Memang di internal kementerian itu dibahas, tapi kan belum selesai. Masih dibahas dengan antar-kementerian,” kata Ainun saat ditemui wartawan Tirto setelah rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, di Senayan, Jakarta, Kamis (20/2/2020).
Ainun tak mempermasalahkan penghapusan Pasal 67 hingga 69 yang mengatur tentang pemalsuan ijazah, sertifikat, dan gelar yang harus dipidana. Ia berdalih, ketentuan pemalsuan sebuah dokumen sebagai tindak pidana sudah diatur oleh peraturan lain.
Namun demikian, Ainun tak menjelaskan peraturan yang mana.
“Ya, kalau pidana itu, kan, sudah ada diatur di peraturan perundang-undangan lain terkait tindak pidana. Jadi enggak usah diatur lagi. Kan, sudah ada. Itu kan termasuk pemalsuan apa saja. Pemalsuan masuk pidana. Iya, jadi enggak usah masuk lagi ke peraturan pendidikan,” kata dia.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim tak berkomentar apa-apa saat ditanya reporter Tirto usai rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, Kami sore (20/2/2020).
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Nizam, malah lebih parah. Ia mengaku tak tahu kalau ada pasal-pasal UU Sisdiknas 2003 yang dihapus di RUU Cilaka.
“Maaf, saya belum tahu,” kata dia lewat pesan WhatsApp, Rabu (19/2/2020) malam.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz