tirto.id - Berita buruk untuk Prabowo Subianto malam ini. Dia kalah. Itulah vonis saya.
Namun, ada berita bagus untuknya. Pemilihan tidak ditentukan oleh penampilan saat debat. Kalau saja debat menentukan pilihan pilihan pada Pilpres, saya kira Prabowo harus menangis malam ini.
Untungnya tidak. Bahkan media sosial yang riuh rendah pun tidak mempengaruhi pilihan seseorang. Kalau pun berpengaruh maka itu kecil sekali.
Pemilihan di Indonesia lebih ditentukan oleh jaringan di kalangan bawah. Sebagian besar pemilih Indonesia mengikuti para pemimpin lokal, orang kuat, tokoh-tokoh yang disegani di komunitasnya.
Pada saat kampanye Pemilu 1997, saya seringkali mendengar kata-kata "Aja manut lurahe!" (“Jangan nurut lurahnya!”). Kata-kata itu diteriakkan di Solo dan sekitarnya ketika koalisi Mega-Bintang (PDI dan PPP) menguat. Hasilnya spektakuler. PPP mendapat suara besar sekali di Solo karena orang tidak mau lagi memilih karena ikut petunjuk dari lurahnya.
Sekarang ini pun pengaruh orang seperti lurah masih sangat besar pada elektorat kita. Itulah sebabnya, jaringan yang dimiliki para kontestan sangat menentukan. Jaringan ini belum tentu menunjukkan kekuatan partai. Orang-orang kuat yang mengendalikan massa di bawah bisa pindah dari satu partai ke partai lain. Seperti sekarang, misalnya, jaringan lama Golkar banyak yang berpindah ke Nasdem.
Itulah pula sebabnya dukungan finansial sangat menentukan. Uang adalah olinya mesin politik. Tanpa oli, kerja mesin akan seret dan bahkan berpotensi menimbulkan kerusakan berat. Itulah sebabnya, politik uang sangat jamak.
Nah, kembali ke debat. Kalau tidak banyak gunanya untuk mempengaruhi pemilih, apakah sebaiknya debat ditiadakan saja? Tentu tidak. Kita tetap perlu debat. Kita tetap membutuhkan informasi dari para kandidat.
Dalam pemilihan yang ketat di mana kandidat harus bahu-membahu mencari suara, saya kira debat tetap perlu. Mungkin debat hanya menambah 500-an suara. Namun perbedaan 500-an suara, tetaplah perbedaan yang menentukan kemenangan bukan?
Jika saya harus memberikan nilai untuk kedua peserta debat ini maka saya akan memberikan B- untuk Jokowi dan D untuk Prabowo.
Penampilan Jokowi malam ini memang jauh lebih baik daripada debat terdahulu. Pada debat pertama, dia tampak gusar, bahkan cenderung emosional—dia kelihatan tidak bisa mengendalikan diri.
Ini tidak boleh terjadi pada politikus. Apalagi di level seorang presiden. Apa jadinya bila berunding menghadapi Presiden Cina, Xi Jinping, presiden RI marah-marah karena provokasi kecil dari pihak Cina? Kemarahan itu bisa menjadi titik lemah.
Jokowi adalah petahana. Itu artinya, dia memang memiliki informasi dan data. Karena yang diperdebatkan adalah pekerjaannya sehari-hari selama empat setengah tahun terakhir.
Malam ini dia mempersiapkan diri dengan data yang cukup baik. Dia mengutip angka sebagai referensi untuk memperjelas maksudnya.
Namun penyampaiannya masih sangat kedodoran. Dia tidak bisa lugas, sulit to the point. Bicaranya pun masih tersendat-sendat.
Tapi Jokowi tidak boleh bersedih. Ini masalah kita sebagai bangsa. Kita tidak pernah dilatih bicara dengan baik di depan publik (public speaking). Prabowo pun menghadapi masalah ini. Dia memberikan pemaparan seperti berpidato, sangat provokatif, tapi tanpa isi.
Pendidikan kita tidak mengajarkan bagaimana menyajikan pikiran dengan sistematis, jelas, runtut, dan dengan alur logika dan data yang baik. Hal semacam itu bukan bakat. Ia adalah keahlian yang didapat dari latihan dan pendidikan.
Sementara Prabowo tampil mengenaskan. Untuk saya, jelas dia tidak siap. Saya kira, Prabowo tidak mengerjakan PR atau pekerjaan rumahnya dengan baik.
Tidak Latihan?
Dalam kampanye, selain kandidat, yang harus disalahkan adalah timnya. Saya curiga, Prabowo juga tidak melakukan latihan berdebat (mock debate). Untuk mempersiapkan debat, tim Prabowo seharusnya menghadirkan seorang yang bertindak sebagai Jokowi, yang menyanggah setiap argumen yang disampaikan.
Mock debate adalah sesuatu yang sangat penting. Politisi harus berlatih berhari-hari untuk mempersiapkan ini.
Pengamat mengatakan bahwa ketidaktahuan Prabowo soal unicorn adalah titik lemahnya. Saya tidak sependapat. Tidak semua orang tahu apa itu unicorn. (Saya akui, saya juga tidak tahu hingga menyaksikan debat ini). Jawaban Prabowo untuk soal ini juga standar. Dia hanya mengulang argumen pro-pasar bebas: kurangi regulasi, kurangi pajak. Sebenarnya dalam hal ini Jokowi dan Prabowo berada pada halaman yang sama.
Prabowo adalah penantang dalam pilpres ini. Sebagai penantang, dia mungkin lebih lemah dalam penguasaan data. Namun, penantang juga punya keuntungan: tidak memiliki rekam jejak memerintah.
Itulah sebabnya, seorang penantang harus punya ide-ide yang segar. Ide-ide, khususnya yang menuntut pembaruan, akan membuat seorang penantang mampu menarik garis pemisah antara dirinya dengan petahana.
Seorang pendebat yang baik adalah seorang yang mampu menyajikan kontras dari lawannya dan pada saat bersamaan memperlihatkan kelemahan rekam jejak lawannya, sambil memberikan ide bagaimana kelemahan itu akan dia atasi.
Ini yang sama sekali tidak ada pada Prabowo. Dia menggali lubang sendiri ketika menanggapi pembagian sertifikat tanah untuk petani tak bertanah oleh Jokowi. Prabowo mengutip Pasal 33 UUD 1945. Ini adalah pasal paling sosialis dari UUD kita (catat itu, Jenderal!). Ide kepemilikan oleh negara—yang tak mengakui private property—itu sangat bertentangan dengan kenyataan bahwa Prabowo memiliki tanah dalam jumlah yang luar biasa besar, yakni ratusan ribu hektar.
Jokowi menyambar kutipan Pasal 33 itu. Dengan cepat dia menunjukkan bahwa Prabowo adalah seorang land baron, pemilik ratusan ribu hektar tanah (lengkap dengan datanya!).
Kita lihat penampilan Prabowo saat itu seperti petinju yang kena upper cut di dagunya. Dia sempoyongan. Berikutnya, ketika berdebat soal pencemaran, Prabowo bahkan seperti melempar handuk. Dia mengulangi Ma’ruf Amin pada debat pertama yang mengatakan “Sudah cukup”. Ini hal yang sangat terlarang diucapkan dalam debat karena setara dengan melempar handuk putih di ring tinju.
Pasal 33 itu adalah titik terendah Prabowo. Adakah yang bisa dilakukan dalam situasi seperti itu? Saya kira, Prabowo harus konsisten. Kalau saya berada pada posisinya, saya akan menjawab, “Pak Jokowi saya mempekerjakan 40.000 ribu orang. Itu berarti, sebagai pengusaha, saya memberi makan 40.000 kepala keluarga! Saya bangga dengan itu.”
Kalau saja Prabowo melakukan mock debate dan memiliki lawan debat yang baik, saya kira kesalahan seperti itu tidak akan terjadi. Upper cut Jokowi tidak akan mampu menggoyahkannya.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.