tirto.id - Pada Minggu (20/1/2019) lalu, Sekjen PDIP Hasto Kristianto keliling Jakarta dalam rangka Safari Politik Kebangsaan. Hasto bertemu dengan beberapa kader PPP, di antaranya Koordinator PPP DKI Jakarta Matnoor Tindoan dan Ketua DPC PPP Jakarta Selatan Syaiful Dasuki. Tentu saja, pertemuan itu ditujukan untuk konsolidasi dua kekuatan politik pendukung capres nomor 01.
Sebagai kawan sekoalisi, Hasto menegaskan untuk menihilkan persaingan di antara PDIP dan PPP. Para caleg dari PDIP dan PPP semestinya bekerjasama untuk memenangkan Pemilu 2019. Hasto wajar meminta demikian, karena secara politik DKI Jakarta cukup dominan dikuasai Koalisi Gerindra-PKS.
Menjawab hal itu, Matnoor meyakinkan bahwa basis PKS di Jakarta sebenarnya tidak besar. Di atas kertas ia yakin PPP dan PDIP masih bisa merebut suara mayoritas di ibu kota.
Gong pertemuan itu adalah pengumuman Gerakan Mega Bintang Reborn oleh kedua politisi itu. Disebut “reborn” karena sebenarnya ini bukanlah gerakan baru. Gerakan Mega-Bintang sempat populer pada masa kampanye Pemilu 1997. Berkaca pada masa lalu, Hasto berharap Gerakan Mega Bintang Reborn dapat memperkuat kepercayaan kader-kader kedua partai. Dengan begitu gerakan ini diharapkan dapat menjadi modal kemenangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Pemilu 2019 ini.
"Mudah-mudahan dengan pertemuan ini akan memberikan kejayaan PPP dan PDIP sebagaimana pernah terjadi di Jakarta tahun 1997 dan ini menjadi modal penting untuk kemenangan Pak Jokowi di pemilu besok," ujar Hasto.
Merengkuh Suara Pendukung Megawati
Gerakan Mega Bintang memang bukan isapan jempol semata. Ia pernah ada dan sempat membuat repot penguasa Orde Baru. Namun, tentu saja tujuan dan semangat Gerakan Mega Bintang Reborn jauh berbeda dengan gerakan aslinya pada 1997. Aliansi Mega Bintang—demikian ia disebut kala itu—adalah gerakan oposisi yang bertujuan melawan hegemoni Soeharto dan Golkar, alih-alih mendukung rezim petahana.
Aliansi Mega Bintang menyeruak ke publik pada masa kampanye Pemilu 1997, pemilu yang dianggap paling rusuh dalam sejarah Indonesia merdeka. Aliansi ini mulanya muncul di Surakarta atas inisiatif Ketua DPC PPP Surakarta Mudrick Sangidoe yang memang dikenal militan dan berani.
Kala itu PDI sedang terpecah sebagai buntut Kongres Medan pada Juni 1996. Konon, kongres itu disokong pemerintah Orde Baru dan memang digelar untuk melengserkan Megawati dari kursi ketua umum PDI. Dalam kongres itu, Soerjadi terpilih sebagai ketua umum. Meskipun demikian, dukungan terhadap Megawati nyatanya tak pupus.
Tentang ini Peter Kasenda dalam Peristiwa 27 Juli 1996: Titik Balik Perlawanan Rakyat (2018, hlm. 78) menulis, “Meskipun pemerintah sibuk mengakui DPP PDI versi Soerjadi, perlawanan massa pro-Megawati Soekarnoputri terus berlangsung dengan dukungan 30 ormas.”
Pecahlah PDI dalam dua kubu, kubu PDI Soerjadi dan PDI Megawati. Para pendukung Megawati, yang dari hari ke hari kian menggelembung, terus melakukan protes terhadap DPP PDI pimpinan Soerjadi. Hingga meletuslah peristiwa yang kini dikenal sebagai Kerusuhan 27 Juli alias Kudatuli. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro yang dikuasai pendukung Megawati diserbu massa PDI Soerjadi yang dibekingi aparat (hlm. 87).
Pemerintah Orde Baru berhasil menyingkirkan Megawati dari PDI. Otomatis Megawati tak bisa ikut Pemilu 1997. Namun, anak kedua Sukarno itu tak tinggal diam. Ia menyerukan pendukungnya untuk tak ikut coblosan yang sedianya akan dilangsungkan pada 29 Mei 1997.
Tak hanya itu, sebuah manuver politik juga dilakukan pada masa kampanye. Pada 7 Mei—hanya sehari sebelum jatah masa kampanye PPP—terjadi pertemuan antara Megawati dan Ketua DPC PPP Surakarta Mudrick Sangidoe. Kasak-kusuk menguar, itu isyarat agar massa pro-Megawati mengalihkan suaranya kepada PPP.
Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metareum menampik bahwa itu adalah pertemuan resmi. Ia sendiri tak mengetahui secara pasti agenda pertemuan Megawati dan Mudrick. Yang terang, massa pro-Megawati ikut dalam dua kampanye PPP di Surakarta. Meski begitu, Ismail memastikan bahwa tak ada perintah dari DPP PPP untuk merangkul massa pendukung Megawati.
"Ini konsekuensi massa mengambang. Tidak ada massa PPP murni, Golkar murni, atau PDI murni di lingkungan anak muda," kata Ismail sebagaimana dikutip harian Kompas (9/5/1997).
DPP PPP bisa bilang tak ada dukungan resmi dari pendukung Megawati, tapi pendukung Megawati terang-terangan ikut di hari-hari kampanye. Di Jakarta, massa PPP tumpah ruah menghijaukan jalanan dan kawasan-kawasan penting. Di antara ribuan massa hijau itu terlihat kelompok-kelompok yang membentangkan poster-poster Megawati. Terdengar pula yel-yel yang menyerukan frasa "Mega Bintang".
“Kata ‘Mega’ mengacu pada Megawati Soekarnoputri dan kata ‘Bintang’ mengacu pada lambang PPP. Kaum miskin Jakarta baik yang mengamalkan ajaran Islam atau tidak bersatu dalam kemarahan menolak Golkar dan Orde Baru,” tulis Peter Kasenda (hlm. 105).
Harian Kompas menyebut kampanye Mega Bintang juga terjadi di Tegal, Jawa Tengah. Bahkan di sana lebih terang-terangan. Sekira 7.000-an pendukung Megawati menyatakan diri bergabung dengan PPP. Sementara itu di Samarinda, Kalimantan Timur, seribuan warga banteng pro-Megawati membaur di antara kerumunan massa Partai Ka’bah. Di hadapan massa itu, Ketua DPC PPP Samarinda Khairul Fuad dengan gamblang menyatakan pencalonan Ismail Hasan Metareum dan Megawati Soekarnoputri sebagai pasangan presiden dan wakil presiden Indonesia periode 1998-2003.
Langsung Dilarang
“Menurut saya, sepertinya kelahiran koalisi Mega Bintang karena mereka merasa mempunyai keinginan yang sama, yaitu terjadinya perubahan dan hal itulah yang menyatukan mereka untuk menandingi kekuatan pendukung status quo,” kata Amien Rais—yang kala itu Ketua PP Muhammadiyah—dalam sebuah wawancara yang tayang di laman Tempo Interaktif (23/5/1997).
Itulah perbedaan mendasar antara kampanye Mega Bintang pada 1997 dengan versi reborn-nya kini. Kampanye itu lahir dari kritisisme rakyat bawah terhadap Orde Baru, bukan penggalangan dukungan untuk pemerintah.
Masifnya kampanye Mega Bintang tak ayal membuat penguasa ketar-ketir juga. Meski Golkar di atas angin, tapi mereka tetap waspada. Sebagaimana bisa diduga, kampanye Mega Bintang segera diberangus melalui pelarangan. Mega Bintang dinilai menyalahi aturan kampanye yang telah ditetapkan.
“Spanduk-spanduk 'Mega-Bintang' yang berhasil dipantau Panwaslak lebih karena spontanitas massa ini adalah tidak dibenarkan menurut ketentuan perundangan yang berlaku. Ini jelas dilarang," ujar Jaksa Agung Singgih sebagaimana dikutip Kompas (13/5/1997).
Sebenarnya, tidak jelas aturan mana yang dilanggar oleh simpatisan Mega Bintang. Jaksa Agung Singgih dan juga Menteri Dalam Negeri Yogi S. Memet berkilah bahwa semua atribut kampanye mesti mendapat persetujuan polisi, sementara Mega Bintang belum mengantongi izin itu.
Saat ditanya apakah pelarangan itu tersebab mencuatnya nama Megawati, Yogi menjawab, "Tidak karena ada embel-embel itu."
Meski begitu aliansi Mega Bintang tetap jalan meski intensitasnya berkurang. Amien Rais menyebut kampanye Mega Bintang adalah tengara rakyat tak bisa lagi dibohongi seperti pada masa awal tegaknya Orde Baru. Dan memang kampanye ini menjadi salah satu prolog kisah terjungkalnya Soeharto setahun kemudian.[]
Editor: Nuran Wibisono