tirto.id - Sore itu, ribuan orang datang ke stadion di pusat Kota Seoul, Korea Selatan. Mereka mengenakan atribut bermacam-macam, termasuk memakai seragam tim yang didukungnya. Wajah mereka semringah dan berharap agar tim favoritnya meraih kemenangan.
Di dalam stadion, suasana meriah. Suporter tim meneriakkan yel-yel dan nyanyian demi membakar semangat pemain. Tak lama kemudian, para pemain masuk. Suara penonton makin bergemuruh.
Gambaran ini bukanlah adegan laga sepakbola, melainkan babak final e-Sports yang mempertemukan klub Star Horn Royal Club (Tiongkok) dan Samsung White (Korea Selatan).
Pada 2014, final League of Legends World Championship, gim bentukan Riot Games, di Seoul World Cup Stadium itu dipadati lebih dari 40 ribu orang. Para penonton menyaksikan adu taktik yang tersaji di layar berukuran besar dengan bantuan koneksi internet.
Gebyar Laga e-Sports di Stadion
Secara umum e-Sports adalah permainan video gim atau komputer yang dimainkan secara kompetitif, melibatkan antar-individu atau tim. Kemunculan internet, perkembangan dahsyat ponsel, melahirkan pelbagai produk video gim, di antaranya yang populer adalah Mobile Legends, League of Legends, DOTA2, dan Counter Strike: Global Offensive.
Perkembangan itu juga menaikkan pamor e-Sports alias olahraga virtual yang mengandalkan koneksi internet dan layar komputer. Selama beberapa tahun terakhir, pasar Asia termasuk Indonesia adalah yang paling besar kenaikan penggemar dan pemain e-Sports.
Laporan ESPN, yang merujuk data Newzoo—firma riset pasar—menunjukkan pada 2014 ada 205 juta orang bermain atau menyaksikan e-Sports dengan angka pertumbuhan sebesar 21 persen setiap tahun. Ia diprediksi menyentuh 427 juta orang di seluruh dunia pada 2019. Mereka yang berpartisipasi dalam e-Sports tak hanya anak-anak remaja, tapi juga orang yang sudah bekerja dan berusia matang.
Bisnis e-Sports secara global memang menggiurkan. Selama 2014 hingga 2016, industri e-Sports menghasilkan keuntungan dari semula 194 juta dolar AS menjadi 463 juta dolar AS. Angka ini diperkirakan terus naik hingga 1 miliar dolar AS pada 2019.
“Dalam waktu 10 tahun, e-Sports akan menjadi sebesar NHL," ujar salah satu gamer, Olof Kajbjer, kepada CNN. NHL adalah kompetisi liga hoki es terbesar di Amerika Serikat dan Kanada.
Bisnis subur e-Sports membuat perusahaan-perusahaan besar menanamkan uang. Mereka yang telah terjun ke e-Sports antara lain Razer, Logitech, Gillette, Intel, Coke, Nissan, sampai Red Bull. Nielsen melaporkan ada sekitar 600 perusahaan yang berinvestasi di e-Sports sejak 2016.
Perputaran uang yang menjanjikan pada industri ini turut mengubah pola kompetisi secara umum.
Dulu, perlombaan e-Sports biasanya di ruang kecil atau ballroom hotel, kini beralih ke tempat-tempat besar macam stadion maupun gelanggang olahraga. Animo masyarakat makin melimpah. Salah satu yang mengalami perubahan ini adalah Korea Selatan.
Simon Hattenstone dalam “The Rise of e-Sports: are Addiction and Corruption the Price of Its Success?” yang terbit di The Guardian menyebut di Korea Selatan, e-Sports dirayakan dengan gegap gempita. Kompetisinya tak lagi memakai ruangan tapi berpindah ke stadion yang selalu dipadati penonton.
Tak sekadar ramai saat kompetisi, wabah e-Sports di Negeri Ginseng ini merasuk dalam kehidupan sehari-hari. Pada tiap sudut kota, ada semacam warnet khusus e-Sports yang jadi jujukan anak-anak remaja sepulang sekolah untuk mengembangkan bakat bermain gim-gim macam Counter Strike sampai Fifa. Bahkan, saking seriusnya mengelola e-Sports, pemerintah turun tangan membentuk Korean E-Sports Association.
Keramaian yang sama muncul di Polandia. Di negara Eropa Timur ini kompetisi e-Sports diadakan juga di stadion. Mereka menggelar kompetisi bernama Intel Extreme Masters selama lima kali, dengan total penonton sekitar 173.500 orang.
Gempita e-Sports menular juga ke Amerika Serikat, dan acap mengadakan kompetisi di Staples Center, markas tim basket Los Angeles Lakers, hingga Madison Square Garden di New York, dengan puluhan ribu penonton.
E-Sports tentu pula populer di Tiongkok, dan pemerintahnya bakal membangun stadion untuk e-Sports di lokasi dekat tepi Sungai Yangtze. Stadion seluas 60 ribu meter persegi ini dilengkapi bermacam fasilitas dan bisa menampung 20-an ribu orang.
South China Morning Postmelaporkan lebih dari 600 juta gamer Cina menguasai seperempat pasar video gim atau senilai 101 miliar dolar AS.
“Semua orang mengira e-Sports adalah tentang dua orang yang bermain gim. Tidak. Ini seperti karnaval,” ujar arsitek Barrie Ho.
Di Indonesia, gairah dan makin naiknya popularitas olahraga virtual ini telah membentuk Indonesia e-Sports Association (IeSPA), asosiasi di bawah Kemenpora. William Tjahyadi, Wakil Ketua IeSPA, mengatakan sejauh ini tren e-Sports di Indonesia "bisa dibilang positif dan terus berkembang."
“IeSPA baru dibentuk tahun lalu. Fokus kami saat ini masih dalam memasyarakatkan e-Sports, karena di Indonesia paham bermain gim itu buruk sudah menjadi stigma. Kami hadir untuk menunjukkan pendapat tersebut tak sepenuhnya benar,” ujarnya.
Kemunculan dan Kejatuhan Bintang
Industri e-Sports turut melahirkan bintang permainan dengan penghasilan jutaan dolar. Salah satunya Faker, dianggap nama besar di dunia e-Sports.
Nama asli Faker adalah Lee Sang-hyeok, kelahiran Korea Selatan dan bermain untuk tim SK Telecom. Di tim ini, Faker menjadi pemain berkemampuan andal. Ia meraup sejumlah prestasi, di antaranya League of Legends World Championsihip sebanyak tiga kali (2013, 2015, 2016) hingga menyabet piala di All-Star Paris 2014. Total, ia sudah mengumpulkan hadiah senilai 1 juta dolar AS dan menjadikan pemain besar di League of Legends.
Faker pernah berkata kecepatannya dalam gim League of Legends “tidak terlalu bagus” dan lebih menonjolkan konsentrasi sebagai kekuatan utama.
“Ini seperti sepakbola dan basket ketika strategi menjadi bagian penting ketimbang keterampilan individu. Terutama saat kamu naik ke tingkat profesional,” ujarnya kepada The Guardian.
Beda Faker, beda pula Lee “Life” Seung-hyun. Nama terakhir dicerca karena bermain curang. Kariernya pernah dikisahkan oleh ESPN dengan judul "Kebangkitan dan Kejatuhan Lee “Life” Seung-hyun."
Lee sebetulnya pemain hebat. Pada usia 14 tahun, ia bergabung di Zenex dan berkompetisi. Setahun berselang, ia menjadi pemain termuda yang menjuarai Global StarCraft League (GSL). ESPN menyebut Lee sebagai pemain mumpuni dan “berani menghadapi tekanan besar.” Saat umurnya 19 tahun, Lee menjadi bintang berkilau dalam gim StarCraft II.
Namun, pujian itu cuma sesaat. Divisi investigasi khusus Kejaksaan Wilayah Changwon, dalam laporannya pada 2016, menyebut Lee terlibat pengaturan pertandingan. Itu bikin orang marah dan kecewa. Lee akhirnya dilarang bermain selama seumur hidup dalam kompetisi e-Sports apa pun.
Insiden ini seakan merangkum masalah besar yang dihadapi e-Sports: kecurangan dan pengaturan pertandingan.
Para pemain biasanya melakukan "peretasan" dan “kecurangan" alias hacks dan cheat lewat perangkat lunak mereka. Pemain, misalnya, bisa menaikkan kemampuan dengan mengaktifkan fitur-fitur gim seperti persediaan senjata, yang sebelumnya tak bisa diakses atau dilarang dipakai. Pemain juga bisa meretas komputer lawan dengan memperlambat tempo mereka.
Sebagaimana pada olahraga konvensional, perkara pengaturan pertandingan juga muncul di e-Sports. Pada 2015, otoritas Korea Selatan menangkap 12 orang dengan tudingan mengatur pertandingan di StarCraft 2. Kasus ini diduga dilakukan secara terorganisir dan melibatkan jaringan judi ilegal di Asia.
Penulis: M Faisal
Editor: Fahri Salam