Menuju konten utama

Big Bad Wolf, Bersama Serigala Mewujudkan Impian Masa Kecil

Kisah pasangan suami istri asal Malaysia yang berusaha mewujudkan mimpi masa kecilnya lewat niaga buku dengan potongan harga besar-besaran.

Big Bad Wolf, Bersama Serigala Mewujudkan Impian Masa Kecil
Header Mozaik Big Bad Wolf. tirto.id/Ecun

tirto.id - Setelah jeda dua tahun menggelar acara luring di Indonesia karena pandemi Covid-19, tahun ini Big Bad Wolf kembali hadir. Pameran buku dengan diskon besar-besaran ini menyambangi empat kota besar, yakni Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta.

Di Jakarta yang akan digelar pada 29 September-10 Oktober 2022 mendatang, akan menutup rangkaian tur Big Bad Wolf tahun ini.

Ketika pertama kali diadakan di Indonesia pada 2016, Big Bad Wolf Indonesia langsung menyedot perhatian khalayak.

Salah seorang pengunjung, Amanda Setiorini, mengaku terpikat pada diskon besar yang ditawarkan. “Langsung terasa bedanya antara membeli buku di Big Bad Wolf dengan di toko-toko buku asing semacam Periplus atau Kinokuniya,” ujarnya, dilansir dari kompas.com

Big Bad Wolf di Indonesia pernah digelar 24 jam per hari. Bahkan pada tahun pertamanya, karena animo pengunjung begitu tinggi, penyelenggara menambah pelaksanaannya satu hari. Sejumlah pengunjung bahkan sengaja datang tengah malam untuk menghindari antrean.

Agi Eka, seorang bookstagrammer asal Bandung, menceritakan pengalamannya mengunjungi Big Bad Wolf pertama di Bandung pada 2019. “Untuk bisa masuk, pengunjung perlu mengantre selama satu jam, dan tiga jam-an mengantre menuju kasir,” tuturnya.

“Saya cuma beli satu buku, tapi antrenya berjam-jam,” tambahnya.

Mimpi Masa Kecil

Big Bad Wolf dicetuskan oleh pasangan suami istri asal Malaysia, Jacqueline Ng dan Andrew Yap. Di masa kecil, keduanya pernah kesulitan mengakses bahan bacaan.

Jacquilene lahir dan dibesarkan di Singapura. Kedua orang tuanya imigran Cina. Meskipun Singapura punya akses perpustakaan yang baik, Jacquilene kecil tak bisa mengakses buku selain buku pelajaran sekolah karena kondisi ekonomi orang tuanya.

“Menghabiskan uang untuk membeli buku atau menanamkan budaya membaca pada saya dan saudara saya tidak pernah menjadi prioritas bagi mereka,” ungkapnya kepada khaleejtimes.com

Andrew Yap mengalami kesulitan yang mirip.

Dilansir dari laman China Daily Asia, pada umur 10 tahun ayah Andrew Yap meninggal dunia. Hal itu membuatnya lebih fokus membantu ibunya yang harus memiliki dua pekerjaan untuk menghidupi Andrew dan ketiga saudaranya. Buku adalah barang yang mewah baginya.

“Saya menyukai buku karena masa kecil saya terlewatkan tanpanya. Teman-teman sekelas saya saat sekolah kebanyakan berasal dari keluarga mampu, mereka banyak memiliki dan membaca buku, dan saya bisa melihat perbedaannya,” kata Yap, dilansir dari tatlerasia.com

Saat pertama kali berbisnis, Andrew dan Jacquilene tidak memulainya dari buku, melainkan majalah. Keduanya mendirikan sebuah toko majalah di ruang bawah tanah di sebuah mal yang tidak terlalu ramai di satu sudut kota di Malaysia.

Pada 2006, mereka beralih pada toko buku yang diberi nama BookXcess. Perubahan bisnis ini terjadi setelah seorang pemasok majalah mengenalkan mereka pada buku sisa stok yang tersimpan di gudang penerbit. Juga buku yang dikembalikan dari toko buku ke penerbit karena penjualan yang kurang memuaskan. Buku-buku tersebut bisa dibeli dengan harga murah.

Hal ini menurut mereka bisa mewujudkan mimpi masa kecil, yakni meningkatkan minat baca dengan menyediakan buku bacaan yang terjangkau bagi semua kalangan.

Namun, membuka toko buku saja tidak cukup. “Sulit untuk mengubah non-pembaca menjadi pembaca,” ujar Jacquilene. Maka itu, pada 2009 Big Bad Wolf lahir.

Bukan Tanpa Tantangan

“Orang punya kecenderungan membawa teman ketika mereka menghadiri sebuah acara. Orang tua penyuka buku mungkin membawa serta anak mereka yang bukan pembaca, misalnya,” Ungkap Jacqueline kepada China Asia Daily.

Nama Big Bad Wolf diambil dari salah satu tokoh dalam sebuah cerita klasik berjudul Little Red Riding Hood. Andrew Yap yang pertama kali mengusulkannya. Ia menganggap nama tersebut nakal dan menarik.

Big Bad Wolf perdana yang digelar di Petailing Jaya, Malaysia, berlangsung sukses. Dengan 120 ribu buku, para staf yang berjumlah 40 orang kewalahan menghadapi pengunjung yang membludak. Kesuksesan ini membuat mereka melebarkan sayapnya ke luar negeri.

Sampai kiwari, Big Bad Wolf telah digelar di lebih dari 34 kota, dan menjual lebih dari 30 juta buku, menjadikannya sebagai bazar buku terbesar di dunia.

Infografik Mozaik Big Bad Wolf

Infografik Mozaik Big Bad Wolf. tirto.id/Ecun

Meski demikian, bukan berartinya mereka tak pernah dirundung persoalan.

Pada Desember 2021, misalnya, saat banjir besar melanda Malaysia, gudang BookXcess yang berlokasi di Shah Alam, ibu kota negara bagian Selangor, ikut terdampak. Jutaan buku terendam dan rusak.

“Ada 2-3 juta buku tak terselamatkan,” kata Andrew pada The Brief, sebuah program tv Malaysia.

Tantangan lainnya adalah saat Andrew ingin melebarkan sayap bisnisnya ke negara lain. Pada 2014, ia mencari pinjaman ke sejumlah bank. Namun, hanya penolakan demi penolakan yang ia terima. sejumlah bank yang ia temui menyebut bahwa bisnis yang mereka kelola kurang menjanjikan.

Namun usaha Andrew akhirnya membuahkan hasil. Ia mendapatkan suntikan modal dari sebuah bank yang tiga dari pejabatnya merupakan penggemar berat Big Bad Wolf.

Buku Fisik Masih Dibutuhkan

Tidak seperti para pejabat bank yang menolak permohonan pinjamannya, Jacquilene dan Andrew percaya pada masa depan buku fisik.

Pada wawancaranya dengan The Asian Parent, Jacquilene menyebut adanya peningkatan tren keinginan membaca buku fisik dan membandingkannya dengan media sosial.

“Terlalu banyak kebisingan dan gangguan di media sosial,” ujarnya. Ia percaya bahwa buku cetak punya kelebihan karena dapat menyingkirkan distraksi.

Ia juga menekankan pentingnya mengenalkan buku fisik sejak dini pada anak.

“Mulailah pada usia muda. Ketika mereka bayi, kenalkan mereka pada buku-buku dengan membacakannya, mereka akan tertarik secara alami ketika mereka dewasa,” ujarnya.

Andrew dan Jacquilene tahu betul bahwa buku fisik memang mahal, dan untuk itulah mereka menggelar Big Bad Wolf.

“Dengan menjadikan buku lebih terjangkau, maka kita bisa menyingkirkan satu penghalang dalam literasi,” kata Andrew.

Baca juga artikel terkait BIG BAD WOLF atau tulisan lainnya dari Taufik Ramadhan Barli

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Taufik Ramadhan Barli
Penulis: Taufik Ramadhan Barli
Editor: Irfan Teguh Pribadi