Menuju konten utama

BI Waspadai Kenaikan HET dan Penurunan Produksi Beras

Penurunan produksi beras imbas penyempitan lahan pertanian. Sementara rencana kenaikan HET membuat harga beras tak menentu. 

BI Waspadai Kenaikan HET dan Penurunan Produksi Beras
Sejumlah pekerja memikul karung berisi beras di Gudang Bulog, Medan, Sumatera Utara, Rabu (24/7/2024). ANTARA FOTO/Yudi Manar/foc.

tirto.id - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Doni Primanto Joewono, mengatakan meskipun saat ini tengah mengalami masa panen raya, BI tetap mewaspadai penurunan produksi beras imbas penyempitan lahan pertanian.

Selain itu, risiko akibat rencana kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium dan premium oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga berpotensi menjadi sebab tidak pastinya harga beras nasional.

“Kita patut waspada, walaupun ini panen raya, di semester II ini ada dua hal penting yang harus kita lihat. Pertama risiko terkait dengan kenaikan HET beras medium, premium. Itu akan ada HET, akan naik yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan, tentunya antisipasi harga akan naik,” ujarnya dalam Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur BI Agustus 2024, di Jakarta, Rabu (21/8/2024).

Dengan kondisi ini, Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) yang terdiri dari BI dan pemerintah, termasuk Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Dalam Negeri, serta pemerintah daerah telah menyepakati beberapa hal untuk menjaga agar produksi beras tidak semakin menyusut dan lahan pertanian tidak semakin sempit.

Kesepakatan pertama, GNPIP berkomitmen untuk menginstruksikan pemerintah daerah dalam menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) terkait perlindungan lahan pertanian. Upaya ini dilakukan agar produksi beras di daerah tersebut tidak semakin turun.

“Kemarin juga ada kesepakatan untuk meningkatkan produktivitas bibit unggul, ini yang teman-teman bilang IP 300 (Indeks Pertanaman 300) ini tidak hanya di lahan biasa, tapi juga rawa mesti ditingkatkan,” sambung Doni.

Karena itu, GNPIP juga telah menyepakati membatasi penggunaan lahan dan memanfaatkan rawa untuk lahan pertanian. Melalui upaya ini, diharapkan produksi beras dengan kualitas unggul dapat semakin bertambah.

“Kita membuat ekosistem pangan yang lebih bagus. Kita akan memperkuat neraca pangan, di sana juga suplainya banyak, jadi [dihindari] di [lahan] sana produksinya banyak dan di [lahan] sini negatif. Ini yang terus akan kita bikin ekosistemnya, menjaga agar harga beras tidak naik dengan menjaga produksinya,” tegas Doni.

Sebelumnya Deputi III Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Perekonomian, Edy Priyono, mengungkapkan saat ini harga beras medium dalam status tidak aman. Sebab, harga beras medium berada 12,02 persen di atas rata-rata harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

Padahal, pemerintah menetapkan HET beras medium Rp12.500 per kg untuk wilayah Jawa, Lampung, dan Sumatra Selatan. Kemudian Rp13.100 per kg untuk 9 wilayah di Bali dan Nusa Tenggara Barat, Rp13.100 di Kalimantan, Rp13.500 di Maluku, dan Rp13.500 di Papua.

“Beras ini, ada daerah-daerah yang harganya di atas HET dan sebaliknya, ada daerah-daerah yang harga gabahnya di bawah HPP (Harga Pembelian Pemerintah),” jelas dia dalam keterangannya, dikutip Tirto Rabu (21/8/2024).

HPP untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani yang berlaku saat ini adalah Rp6.000 per kg, Rp6.100 per kg di penggilingan, Rp7.300 per kg gabah kering giling (GKG) di penggilingan, dan Rp7.400 per kg GKG di gudang Bulog. Sementara harga rata-rata eceran beras medium nasional yang dicatat KSP sebesar Rp14.600 per kg.

Baca juga artikel terkait PRODUKSI BERAS atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Flash news
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi