tirto.id - Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, lagi-lagi bikin geleng kepala. Pria yang akrab disapa Zulhas itu, memberi sinyal akan menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyakita dari sebelumnya Rp14.000 per liter menjadi Rp15.500 per liter. Alasannya cukup unik, harga saat ini belum pernah diperbarui selama dua tahun.
"Memang sudah layak ya," kata Zulkifli usai mengunjungi Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bulk Elpiji (SPPBE) PT Satria Mandala Sakti, Jakarta Utara, Senin (27/5/2024).
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 41 Tahun 2022, HET Minyakita berlaku saat ini sebesar Rp14.000 per liter. HET tersebut belum pernah mengalami kenaikan dalam dua tahun terakhir.
Evaluasi HET Minyakita pernah dilakukan pada akhir Februari 2024. Hal itu merupakan respons atas temuan Minyakita yang dijual dengan harga di atas HET. Kabar tentang evaluasi harga minyak subsidi tersebut juga mencuat pada Mei 2024 awal.
Zulhas menuturkan, saat ini kenaikan HET Minyakita sedang digodok. Pembahasannya akan dilanjutkan dalam rapat bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang akan digelar dalam waktu dekat hingga kemudian disahkan.
"Karena semua sudah naik, [HET Minyakita] perlu kita naikkan,” ujar dia.
Selain itu, Zulhas juga menyoroti banyak kompleksitas yang terjadi pada komoditas pangan lain seperti beras. Menurutnya HET beras juga layak dan perlu dinaikkan untuk menjaga nilai tukar petani (NTP) ke depannya.
"Sekarang, kalau berasnya mahal, ibu-ibu marah. Kalau berasnya turun, petaninya enggak untung. Kan, tugas pemerintah mengatur," kata Zulhas.
Sejalan dengan Kemendag, Bapanas sendiri sebenarnya tengah merumuskan HET beras terbaru. HET tersebut nantinya akan berlaku untuk beras premium dan medium. Saat ini, HET beras premium berada di angka Rp14.900 per kg, sedangkan untuk beras medium berada di angka Rp12.500 per kg.
Namun memang jika merujuk data panel Badan Pangan Nasional (Bapanas), Selasa (28/5/2024), harga beras premium rerata naik menjadi Rp15.480 per kilogram (kg) dan beras medium naik menjadi Rp13.460 per kg. Sedangkan wilayah dengan harga beras termahal terjadi di Papua Tengah sebesar Rp18.960 per kg. Kenaikan harga beras, sudah di atas HET yang ditentukan di atas.
Namun, persoalannya bukan bicara soal layak atau tidaknya. Tapi bagaimana pemerintah harus mencari cara bagaimana mengendalikan harga khususnya Minyakita dan beras di tingkat pasar dengan tidak menaikkan HET.
Periset Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, menilai, jika menaikkan HET selalu menjadi solusi atas harga di masyarakat sudah tinggi, rakyat semakin terbebani. Kenaikan harga-harga pangan yang tidak sebanding dengan pendapatannya.
“Pemerintah bukannya menyelesaikan persoalan distribusi yang tidak efisien, malah menaikkan HET. Semestinya dicari tau penyebab kenaikannya, lalu dicarikan solusinya,” ujar Eliza Mardian, kepada Tirto, Selasa.
Kenaikan HET Hanya Formalitas
Sementara itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, menilai kenaikan HET diwacanakan pemerintah hanya akal-akalan atau bersifat formalitas saja. Faktanya harga di lapangan sudah lama bergerak di level tinggi, baik Minyakita maupun untuk beras medium dan premium.
“Titik keseimbangan baru pada harga beras sudah lama berada di level itu dan masyarakat sudah lama membeli beras dengan harga tersebut,” ujar dia kepada Tirto, Selasa.
Minyakita juga tampaknya sama. Karena sering langka, kata Ronny, harganya cenderung lebih tinggi dari HET lama sebesar Rp14.000 per liter sehingga sudah tak ada lagi imbasnya bagi konsumen. Alasannya, karena daya beli konsumen sudah sejak beberapa waktu lalu tertekan oleh harga Minyakita dan beras yang tinggi.
“Jadi rencana pemerintah menaikan HET ini sebenarnya adalah bahasa lain dari kegagalan pemerintah dalam menstabilkan harga Minyakita dan harga beras,” tegas dia.
Kegagalan ini, menurut Ronny, bisa ditarik apakah karena pemerintah malas atau karena memang benar-benar tidak mampu? Itu memang patut kita dipertanyakan. Maka, akhirnya mau tidak mau pemerintah mengikuti tren dengan menaikkan HET.
Sementara itu, Pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, menilai, jika HET tidak dinaikkan pemerintah melanggar aturan yang dibuatnya sendiri. Minyakita misalnya, ditetapkan lewat peraturan harganya Rp14 ribu per liter. Tapi di pasar berbulan-bulan justru harganya di atas itu.
“Ini berarti kan ada pelanggaran [kalau didiamkan,” ujar Khudori kepada Tirto, Selasa.
Khudori mengamini, bentuk ‘kenaikan’ tersebut merupakan formalitas penetapan harga yang berlaku sekarang. Pasalnya, kondisi riil harga Minyakita di pasar sudah tidak ada lagi yang Rp14.000 per liter. Dia menduga harganya sudah mencapai Rp15.000 bahkan Rp16.000 per liter dan terjadi sejak beberapa bulan lalu.
“Dan itu bertahan sampai sekarang,” ucap Khudori.
Lalu soal kenaikan harga beras, dugaan Khudori juga tidak akan ada harga baru. Baik HET beras medium maupun premium, yang akan ditetapkan sebagai keputusan oleh Badan Pangan Nasional adalah HET saat ini, yang merupakan HET relaksasi. Demikian pula HPP gabah dan beras untuk Bulog, dia menduga tidak akan berbeda dari HPP yang berlaku saat ini.
“Jika demikian adanya, sejatinya masyarakat tidak akan terimbas dampak kebijakan ini. Sebab, kebijakan harga yang hendak ditetapkan ini sebenarnya sudah berjalan dan berlangsung beberapa bulan di pasar. Pasar sepertinya tidak akan ada respons yang tidak diharapkan,” ucap Khudori.
Kenaikan HET Beras Hanya Untungkan Produsen
Lebih jauh, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyoroti kenaikan HET terhadap beras nantinya hanya akan menguntungkan dari sisi produsen, tanpa ada keuntungan bagi petani. Sebab, kenaikan HET akan semakin membuat harga ditingkat konsumen meningkat.
“Produsen bisa mempunyai legalitas untuk mengerek harga ke angka tertinggi. Di satu sisi ternyata harga gabah di tingkat petani udah turun seiring dengan panen raya,” ujar Huda kepada Tirto, Selasa.
Dia menuturkan, harga di tingkat petani di awal Maret di angka Rp7.000. Tapi, sekarang sudah ada di angka Rp5.800-an. Maka kemungkinan terdapat selisih antara harga produksi produsen beras dengan harga jualnya.
Secara sederhana, kata Huda, dari gabah ke beras kenaikan harga terjadi karena proses dan sebagainya dua kali lipat. Jika harga gabah Rp6.000 maka seharusnya harga jual beras di angka Rp12.000 per kg. Tapi, faktanya, sekarang bisa jual di angka Rp13.500 per kg untuk beras medium dan Rp15.800 per kg untuk beras premium.
“Jadi keuntungan bisa sampai Rp4.000 per kg untuk beras medium. Jadi ya yang menikmati sebenarnya adalah produsen sekaligus mafia beras itu,” ujar Huda.
Untuk kenaikan HET beras sendiri, Ronny P Sasmita menuturkan, sebaiknya diikuti dengan penetapan Harga Pokok Penjualan (HPP) gabah dan beras. Ini akan sangat membantu petani. Karena sejak harga beras naik, justru harga HPP tidak naik, sehingga petani sama sekali tidak ikut menikmati kenaikan harga beras yang sangat tajam dalam beberapa bulan sejak akhir tahun lalu.
“Hal itu diperburuk dengan mahal dan langkanya harga pupuk, yang membuat biaya produksi petani semakin mahal, yang membuat petani semakin tak menikmati kenaikan harga beras selama ini,” ujar Ronny.
Oleh karena itu, kenaikan HET dan kenaikan HPP beras harus dipastikan oleh pemerintah agar implementasinya sesuai dengan ketetapan yang telah ditentukan serta petani segera bisa ikut menikmatinya.
Lebih lanjut, Ronny menuturkan, pemerintah juga perlu menyertai dengan stabilisasi harga dan pasokan pupuk untuk petani. Tujuannya agar biaya produksi di level petani bisa ditekan sedemikian rupa.
Tetapi, untuk kenaikan HET Minyakita, pemerintah perlu menjelaskan secara jelas kepada publik, apakah karena harga bahan baku berupa crude palm oil /CPO naik tajam, kebijakan DMO CPO tak berjalan dengan baik. Atau justru karena pemerintah memang ingin memberikan keuntungan kepada pihak tertentu?
“Tentu justifikasinya harus dijelaskan kepada publik, agar pemerintah tak dianggap gagal mengendalikan harga atau justru dianggap sedang ikut mencari sesuatu di balik kenaikan tersebut,” pungkas Ronny.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin