tirto.id - Deputi Gubernur Bank Indonesia, Filianingsih Hendarta, mengatakan di balik pertumbuhan pesat industri pembayaran digital, ada tantangan besar pula yang mengancam.
Menyitir data dari International Monetary Fund (IMF) dan Federal Bureau of Investigation (FBI), potensi kerugian global akibat kejahatan siber akan melonjak dari 8,4 triliun dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp140,19 kuadriliun pada 2022 menjadi 23,8 triliun dolar AS atau mencapai Rp397,26 kuadriliun pada 2027.
“Data IMF dan FBI itu memproyeksikan potensi kerugian global akibat kejahatan cyber akan melonjak dari 8,4 triliun dolar AS pada 2022 akan menjadi 23,8 triliun dolar AS di 2027,” paparnya, dalam Pembukaan Bulan Fintech Nasional (BFN) 2025, di Wisma Danantara, Jakarta Selatan, Selasa (11/11/2025).
Serangan siber yang mengancam, lanjut Filianingsih, semakin kompleks dan beragam, mulai dari middleware attack account takeover, Synthetic IP Data driven attack, hingga social engineering yang menargetkan masyarakat luas.
"Kita melihat ada tantangan serius yang terutama risiko keamanan dan kejahatan digital, ini seiring dengan meningkatnya transaksi digital, kita lihat kejahatan fraud dan serangan cyber juga berkembang dengan pola yang semakin kompleks," ujar dia.
Sayangnya, dari sisi supply atau ketersediaan layanan keuangan digital, transaksi yang bersifat real time mempersempit ruang deteksi dini dari adanya serangan siber. Pada saat yang sama, kapasitas manajemen risiko dari pelaku industri jasa keuangan digital diketahui masih belum merata dan ketergantungan pada penyedia teknologi pihak ketiga. Kondisi ini lantas Meningkatkan kompleksitas dan pengendalian risiko dari serangan siber.
"Dari sisi demand, kita lihat perluasan layanan hingga ke masyarakat akar rumput, Ini juga menghadirkan tantangan baru. Paling tidak satu, kita lihat rendahnya literasi digital. Dua, meningkatnya potensi penyalahgunaan data pribadi. Ketiga, pemanfaatan AI oleh pelaku kejahatan juga memperparah risiko itu,” jelas Fili, sapaan Filianingsih.
Karenanya, untuk mengantisipasi risiko serangan siber, pengelolaan risiko fraud dan siber harus dilakukan secara komprehensif dan kolaboratif oleh industri. Pada saat yang sama, pelaku usaha jasa keuangan digital juga perlu memperkuat sistem deteksi fraud yang telah dimiliki, sekaligus juga memperkuat proses otentikasi layanan.
“Serta menerapkan prinsip know your person atau know your customer. Sementara itu, kita lihat peningkatan literasi digital Dan perlindungan konsumen Ini bukan hanya tanggung jawab dari regulator, tetapi ini tanggung jawab kita semua, regulator, industri dan juga penggunanya, yaitu masyarakat,” tegas Fili.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































