Menuju konten utama

Betapa Bermasalahnya Komunikasi Publik Menteri-Menteri Jokowi

Pernyataan menteri-menteri Jokowi yang kontroversial dan menimbulkan polemik menunjukkan kegagapan mereka dalam komunikasi publik.

Betapa Bermasalahnya Komunikasi Publik Menteri-Menteri Jokowi
Menko Polhukam Wiranto (tengah), Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (kiri), dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko (kanan). ANTARA FOTO/Renald Ghifari/hma/pras.

tirto.id - Dua menteri di pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Salah satunya, mantan Menteri Sosial Idrus Marham, bahkan sudah mendapatkan vonis hukuman.

Lainnya, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, baru dijadikan tersangka pada 18 September 2019. Dia diduga menerima suap Rp26,5 miliar. Padahal tinggal satu bulan lagi kepemimpinan Jokowi periode pertama selesai.

Selain dua menteri itu, KPK juga masih memantau dua menteri lainnya, yakni Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Lukman diduga terlibat jual-beli jabatan di Kemenag, sedangkan Enggar diduga tersangkut suap impor bawang putih.

Suatu kali, Enggar pernah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 29 tahun 2019 yang membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak terima. MUI bahkan setuju jika ada yang melakukan uji materi terhadap Permendag itu. Dalam aturan tersebut, Kemendag tidak mengatur tentang pemberian label halal pada daging hewan impor. Banyaknya protes akhirnya membuat Kemendag setuju untuk melakukan revisi.

Selain itu, ada juga menteri dan pejabat setingkat menteri di bawah pemerintahan Jokowi-JK yang pernyataan publiknya memantik kontroversi. Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menko Polhukam Wiranto, Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo, dan Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko adalah beberapa di antaranya.

Amran, seperti dilaporkan CNN, menyebut petani harus bekerja selama 26 jam sehari: 24 jam bekerja, 2 jam sisanya melamun. Dia berharap petani bisa mengurangi jatah tidur mereka untuk menggenjot produksi. Bila ditelan mentah-mentah, ucapan ini bisa dimaknai negatif karena memberikan beban kerja lebih kepada petani.

Namun Amran segera merevisi ucapannya. Sebagaimana dikutip Kompas, Amran menyebut kerja 24 jam itu dibagi dalam tiga sesi secara bergantian. Selama ini, menurutnya, petani hanya bekerja satu sesi sekaligus.

Pada saat kebakaran hutan dan lahan meluas di Sumatra dan Kalimantan, menteri-menteri Jokowi sibuk membela atasan mereka. Menko Polhukam Wiranto salah satunya. Dia mengklaim kualitas udara di daerah terdampak "tidak separah yang diberitakan [media massa]".

"Jarak pandang masih bisa, pesawat mendarat masih bisa, masyarakat juga belum banyak yang pakai masker dan sebagainya. Kami juga tidak pakai masker. Saat hari siang, sangat jelas awan-awan terlihat," kata Wiranto lagi.

Sedangkan Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo tidak terima negara lain protes dengan kebakaran hutan di Indonesia. “Padahal, negara-negara tersebut selama 11 bulan menikmati oksigen gratis dari Indonesia,” kata Eko. Dia menyuruh negara asing untuk membantu, bukan hanya menyalahkan.

Moeldoko seperti tak mau kalah dalam hal berlomba-lomba membuat pernyataan publik yang kontroversial. Dia mencari pembenaran atas karhutla dengan mengembalikannya kepada Yang Maha Kuasa. Di akun Twitter resminya, dia berharap masyarakat sabar dan berdoa. Alasannya, musibah itu berasal dari Allah.

“Segala musibah datangnya dari Allah SWT…Musibah bisa datang kapan saja, kepada siapa saja, dan di mana saja… termasuk musibah yang menimpa Pekanbaru, Riau, yang sedang terjadi juga datangnya pun dari Allah SWT,” cuitnya.

Sayangnya, beberapa bagian dari cuitan-cuitan itu kemudian dihapus. Terutama yang menyinggung tentang karhutla sebagai musibah.

Soal karhutla ini, tidak ada satu pun menteri yang menyalahkan Kementerian Lingkungan Hidup atau perusahaan-perusahaan asing. Padahal, KLHK sudah menyegel satu perusahaan asal Singapura dan tiga perusahaan asal Malaysia terkait kejadian ini. KLHK memilih penyelesaian dengan tidak membela diri secara berlebihan, sementara menteri-menteri lain seperti mengerdilkan dampak kebakaran hutan.

Menyepelekan Masalah

Pernyataan Wiranto, Moeldoko, dan Eko yang menyederhanakan masalah karhutla seperti menggambarkan betapa buruk komunikasi publik pejabat-pejabat tinggi era Jokowi. Eko, misalnya, mengklaim "oksigen gratis" seakan-akan udara itu punya Indonesia semata. Padahal, salah satu negara terdampak, Singapura, memiliki komposisi kota dengan ruang terbuka hijau yang paling bagus. Malaysia bahkan sudah setuju membantu Indonesia, tetapi bantuan itu ditolak Jokowi.

Wiranto pun sama membingungkannya. Dia merasa dampak karhutla tidak begitu parah di Riau. Namun, nyatanya warga berkata lain. Mahasiswi Universitas Islam Riau, Laras Olivia (23), geram atas pernyataan mantan ajudan Soeharto tersebut. Menurutnya, Wiranto tak paham masalah dampak kabut asap.

"[Wiranto] bikin emosi. Beliau itu datangnya kapan? Saya merasakan kabut asap tebal itu [di Pekanbaru, ibu kota Riau] sejak awal September. Tanggal 13 dan 14 itu paling parah. Langit dan udara menguning," kata Laras kepada reporter Tirto, Kamis (19/9/2019). Dia juga menyebut Wiranto "lancang sebagai pejabat negara" karena seharusnya dia melindungi warga.

Wiranto boleh saja menyatakan dampaknya tidak parah, tapi tohdia kembali ke Jakarta dengan cepat. Warga di sana pun ada yang memilih langkah seperti Wiranto, mengungsi ke luar kota yang lebih aman dari kabut asap.

"Aku tantang bapak itu [Wiranto] untuk stay di Pekanbaru seminggu. Lalu, beraktivitas di luar ruangan. Hari ini udara dan langit kuning lagi dan keruh. Datang ke lokasi pas waktu yang benar-benar parah. Akan tahu bagaimana langit menguning, jarak pandang tak sampai 100 meter, dan debu-debu beterbangan kayak salju. Jangan menunda-nunda kedatangan," kata Laras lagi.

Moeldoko yang meminta rakyat bersabar terhadap "musibah Allah" juga tak luput dari kritik. Koordinator Desk Politik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Khalisa Khalid mengatakan seharusnya pemerintah mengurangi pernyataan kontroversial dan fokus pada masalah. Faktanya, ada 12 orang yang jadi tersangka kasus karhutla baru-baru ini. Total pelaku yang diduga bersalah dalam karhutla tahun ini mencapai 230 orang.

“Pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab karena titik apinya ditemukan di Indonesia meski ada perusahaan asing jadi tersangka. Fakta itu yang tidak bisa terbantahkan,” kata Khalisa kepada Tirto, Rabu (18/9/2019).

Komunikasi Buruk

Selain masalah karhutla, Wiranto sebelumnya pernah melempar pernyataan kontroversial. Pada saat ricuh di Papua dan Papua Barat, mantan Panglima ABRI itu mengklaim Majelis Rakyat Papua membuat surat imbauan agar mahasiswa Papua tidak kembali ke kampung halaman. Pernyataan Wiranto kemudian dibantah oleh MRP. Namun Wiranto bukannya mengaku telah membuat hoaks, dia malah berkelit.

“Kamu percaya saya atau MRP? Percaya siapa? Percaya siapa?” ujar Wiranto di kawasan Sudirman, Jakarta, Rabu (11/9/2019).

Pada pemilu presiden dan legislatif 2019, Wiranto juga membuat ulah. Dia menyatakan penyebar hoaks bisa dipidana dengan UU pemberantasan tindak pidana terorisme.

"Terorisme itu kan menimbulkan ketakutan di masyarakat. Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk tidak ke TPS, itu sudah terorisme. Maka tentu kita gunakan UU Terorisme. Tadi saya sudah minta agar aparat keamanan waspada ini," kata Wiranto di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (20/3/2019).

Infografik Blunder Menteri Jokowi

Infografik Blunder Menteri Jokowi. tirto.id/Sabit

Menurut Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, pernyataan Wiranto itu ngawur. Apa yang disampaikan Wiranto adalah tafsir yang terlalu luas. Sedangkan menurut Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan, omongan Wiranto "tidak masuk akal sehat."

Sementara itu, seperti dilaporkan Kompas, Moeldoko juga mengeluarkan pernyataan kontroversial dengan menuding Benny Wenda terkait dalang kerusuhan di Papua-Papua Barat. Benny merupakan Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang sekarang eksil ke Inggris.

Pernyataan Moeldoko itu tak didukung dengan bukti kuat. Bahkan polisi juga belum menetapkan Benny sebagai tersangka.

Jauh sebelum ontran-ontran di Papua terjadi sejak bulan lalu, pada 2011 Benny pernah masuk dalam surat perintah penangkapan internasional. Kemudian Fair Trials International mendesak agar red notice itu dihapus dan pada Agustus 2012 Interpol menganggap surat perintah itu sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan.Benny pun dianggap tak bersalah atas tuduhan-tuduhan pemerintah Indonesia.

Menurut Benny, kericuhan di Papua saat ini dipicu oleh orang Indonesia sendiri karena melakukan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.

"Yang provokasi pertama siapa dulu terhadap mahasiswa Papua? Siapa yang menyebutkan 'anjing', 'monyet', 'pulang ke Papua'? Sayakah? Kedua, pembunuhan di Deiyai, siapa pembunuhnya? Siapa yang provokasi? Siapa yang melakukan pembunuhan terhadap rakyat saya, bangsa saya, di Deiyai?" kata Benny.

Dosen Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mengakui bahwa beberapa menteri Jokowi mempunyai komunikasi politik yang buruk, termasuk Wiranto dan Moeldoko.

Seharusnya, mereka tidak perlu mengeluarkan pernyataan jika hanya menambah panas situasi. Apalagi, mereka bukan menteri yang terkait langsung dengan masalah tersebut. Di periode kedua, Adi merasa Jokowi harus membenahi ini. Jika tidak, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bisa makin menurun.

"Banyak mantan militer atau tentara ketika terjun ke militer gagal bertransformasi sebagai sipil. Jadi statement-statement-nya agak kaku. Jadi agak sedikit kurang nyaman [kita] mendengarnya," tegas Adi kepada Tirto, Sabtu (21/9/2019).

Baca juga artikel terkait KABINET JOKOWI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan