tirto.id - Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto yang menyebut penyebar hoaks perlu dijerat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menuai kritik. Wiranto berdalih hoaks sama dengan terorisme karena menimbulkan ketakutan di masyarakat.
"Terorisme itu kan menimbulkan ketakutan di masyarakat. Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk tidak ke TPS, itu sudah terorisme. Maka tentu kita gunakan UU Terorisme. Tadi saya sudah minta agar aparat keamanan waspada ini," kata Wiranto di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Rabu (20/3/2019).
Tafsir Wiranto atas Undang-undang Terorisme tersebut dinilai ngawur dan tidak tepat oleh Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati. Bahkan peringatan bencana alam kepada masyarakat yang menimbulkan ketakutan saja tak serta merta dikategorikan terorisme.
"Menimbulkan ketakutan tidak bisa serta merta jadi terorisme. Karena bencana alam yang hebat, wabah penyakit yang luar biasa, bahkan korupsi pejabat publik juga menimbulkan ketakutan di masyarakat. Apakah dengan ini artinya ada terorisme?," kata Asfin saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (21/3/2019).
Padahal, kata Asfin, definisi terorisme dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 sudah jelas. Sementara hoaks dan ujaran kebencian sudah diatur Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan," begitu bunyi UU 5 Tahun 2018 tentang terorisme.
Hal senada juga dikatakan oleh ahli hukum pidana Universitas Jenderla Soedirman Purwokerto, Hibnu Nugroho. Ia menilai penafsiran Wiranto terhadap UU Terorisme terlalu luas.
"Itu penafsiran terlalu luas. Mengenai hoaks kan di UU ITE sudah jelas definisi dan penanganannya, di KUHP pun sudah ada. Jangan ditarik terlalu luas, nanti yang berbeda sedikit dituduh subversif kaya dulu," kata Hibnu saat dihubungi reporter Tirto.
Hibnu sepakat dengan Asfin jika segala hal yang menakutkan masyarakat dinilai sebagai bentuk terorisme, maka peringatan bencana pun bisa dianggap demikian.
"Sudahlah, harusnya kembali ke spirit UU-nya saja sebagaimana mestinya," ujar Hibnu.
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yati Andriyani justru menduga pernyataan Wiranto menyiratkan kepanikan pemerintah dalam menyikapi hoaks jelang Pemilu 2019.
"Harus proporsional. Penegakan dan penerapan hukum tidak bisa basisnya karena kepanikan penguasa [pemerintah], kemudian penguasa menggunakan subjektivitasnya dalam menggunakan hukum sebagai instrumen memuluskan agenda atau programmya," kata Yati kepada reporter Tirto.
Yati menilai penegakan hukum Indonesia akan bertambah bermasalah jika pemerintah menafsirkan secara sepihak hoaks adalah tindakan terorisme.
Respon Kubu Jokowi dan Prabowo
Pernyataan Wiranto juga dinilai berlebihan oleh Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Hinca Pandjaitan. Sekjen Partai Demokrat itu menilai UU ITE yang ada saat ini sudah cukup untuk menjerat pelaku penyebaran hoaks.
"Berlebihan dan tak masuk akal sehat. UU ITE saja sudah berat," ujar Hinca kepada reporter Tirto.
Namun Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin mengklaim pernyataan Menkopolhukam Wiranto soal penyebar hoaks bisa dijerat dengan UU Terorisme bukan bentuk kepanikan dari kubu petahana. Juru Bicara TKN Jokowi-Mar'ruf, Arya Sinulingga menilai pernyataan Wiranto adalah peringatan keras terhadap para penyebar hoaks yang ingin mengacaukan Pemilu 2019.
"Itu kan [maksudnya] hoaks [berupa] berita enggak benar yang membuat orang golput. Berarti [yang dimaksud] hoaks yang menghalang-halangi pemilu," kata Arya kepada reporter Tirto.
Sementara itu, kepolisian menyatakan tak bisa serta merta menerapkan Undang-undang Terorisme terhadap penyebar hoaks. Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan, penerapan pasal terhadap terduga pelaku tidak pidana perlu melalui gelar perkara yang melibatkan saksi ahli pidana, ahli bahasa dan ahli ITE.
“Perspektif kepolisian berdasarkan fakta hukum yang ditemukan penyidik, proses penegakan hukum bergantung hasil analisis komprehensif. Penyidik melihat itu berdasarkan fakta hukum,” kata Dedi di Mabes Polri, Kamis (21/3/2019).
Namun Dedi tidak menutup kemungkinan pasal dalam Undang-undang Terorisme digunakan untuk penyebar hoaks. Namun, kata dia, unsur-unsur pidana dalam pasal tersebut harus terpenuhi dahulu.
“Sesuai Pasal 1 ada unsur ancaman kekerasan atau menimbulkan suasana teror dan rasa takut secara meluas,” jelasnya.
“Untuk menyebarkan narasi, foto dan video yang bersifat hoaks, maka diterapkan UU ITE Pasal 27 dan Pasal serta bisa diterapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Pasal 14 dan Pasal 15 kalau membuat kegaduhan,” tambah Dedi.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Gilang Ramadhan