tirto.id - Wiranto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI, adalah satu dari sekian banyak pensiunan TNI yang terindikasi terlibat pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia. Salah satunya pelanggaran HAM di Timor Timur (kini Republik Demokratik Timor-Leste).
Arsip-arsip yang dideklasifikasi—dibuka setelah sebelumnya berstatus 'rahasia'—oleh National Security Archive Amerika Serikat yang bermarkas di George Washington University hari ini (30/8/2019) mempertegas itu semua.
Arsip ini dikumpulkan dan diberi pengantar oleh Brad Simpson, pendiri dan direktur National Security Archive's Indonesia and East Timor Documentation Project, sekaligus Associate Professor of History and Asian Studies dari Universitas Connecticut. (Arsip-arsip yang dideklasifikasi bisa diakses di sini).
Trial International, organisasi non-pemerintah yang memerangi impunitas untuk kejahatan internasional, mencatat pada 25 Februari 2003, Wiranto pernah didakwa oleh Serious Crimes Unit, badan yang dibentuk oleh United Nations Transitional Administration of East Timor (UNTAET), karena terlibat dalam "pembunuhan, deportasi, dan penyiksaan" di Timor Timur terutama sepanjang 1999.
Wiranto didakwa demikian karena otoritas Indonesia, termasuk dia sebagai Panglima Angkatan Bersenjata saat itu (16 Februari 1998–26 Oktober 1999), "memegang kendali efektif atas milisi-milisi yang melakukan kejahatan kemanusiaan" di Timor Timur.
Serious Crimes Unit bahkan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Wiranto pada 10 Mei 2004. Tapi, otoritas Indonesia, yang saat itu dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri, menolak bekerja sama dengan pengadilan Timor Timur selaku eksekutor.
Dua bulan setelah surat keluar, Wiranto bahkan resmi jadi kandidat Presiden RI dengan wakil Salahuddin Wahid. Dia diusung Golkar, satu dari tiga mesin utama Soeharto menjalankan Orde Baru selama 32 tahun selain militer dan birokrasi.
Komnas HAM juga menyimpulkan serupa: Wiranto adalah pemegang tanggung jawab tertinggi atas situasi di Timor Timur saat itu.
Wiranto mengelak semua tuduhan.
Dalam konferensi pers di Jakarta, satu hari setelah didakwa (26/2/2003), dia mengklarifikasi panjang lebar: "Saya berani bersumpah di hadapan seluruh rakyat Indonesia bahwa saya selaku Menhankam/Pangab sewaktu proses jajak pendapat di Timor Timur itu berlangsung tidak pernah terpikir merencanakan, apalagi memerintahkan... suatu kejahatan terhadap kemanusiaan."
Dia bahkan mengatakan tuduhan-tuduhan itu adalah konspirasi untuk merusak reputasinya sebagai capres.
Tuduhan itu melekat kepada Wiranto bertahun-tahun kemudian—karena memang tidak pernah ada pengadilan HAM di Indonesia, 21 tahun setelah Soeharto turun, termasuk terhadap Wiranto. Pertengahan Agustus 2017, Wiranto menegaskan tugasnya pada 1999 hanya "mengamankan jajak pendapat."
"700 TPS aman... berhasil aman, tidak ada gejolak," katanya, seperti dikutip dari CNN Indonesia. "Satunya (yang kalah) protes. Ngamuk sendiri. Kok dituduh ke kami? Katanya pembiaran, tapi enggak apa-apa. Namanya nasib sial."
Kini Wiranto sibuk meredam aksi-aksi penentuan nasib sendiri bangsa Papua. Dan pendekatan kekerasan ternyata masih setia dia lakukan.
Selasa pekan lalu (20/8/2019), tatkala orang Papua protes besar-besaran mengecam rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Wiranto memutuskan akan menambah pasukan "untuk lebih meyakinkan pengamanan objek-objek vital yang ada di Papua dan Papua Barat."
Apa Saja Peran Wiranto?
Pada 30 Agustus 1999, tepat hari ini dua puluh tahun lalu, terjadi peristiwa bersejarah di Timor Timur: 78,5 persen orang Timor Timur menolak otonomi khusus yang diberikan Jakarta dan lebih memilih merdeka dari Indonesia.
Untuk mengawal proses menuju referendum, PBB membentuk United Nations Mission in East Timor (UNAMET).
Ini adalah akhir dari pendudukan Indonesia terhadap bekas jajahan Portugis itu sejak 1975.
José Manuel Ramos-Horta, mantan presiden Timor Leste sekaligus penerima hadiah Nobel Perdamaian tahun 1996, mengatakan kepada DW saat ini Timor Leste masih punya banyak pekerjaan rumah, dari mulai mengatasi kemiskinan hingga kekurangan gizi.
Tapi, pencapaian mereka setelah jadi negara merdeka pun tidak main-main. "Timor Leste kini," klaim Ramos-Horta, "sangat damai dan tidak ada kekerasan politik. Sama sekali nol."
Situasi itu sangat berbeda sebelum referendum 1999.
Tiga minggu sebelum referendum, kelompok paramiliter—sipil bersenjata—yang didukung pasukan keamanan Indonesia (ABRI), meningkatkan teror terhadap penduduk demi mencegah mereka memilih opsi merdeka.
Dampaknya: rumah-rumah dibumihanguskan; 2.600 orang tewas; hampir 30 ribu terlantar; dan setidak-tidaknya 250 ribu dikeluarkan paksa dari tempat tinggalnya menjadi pengungsi internal.
Dalam dokumen penilaian kedutaan AS atas situasi di Timor Timur: "Wiranto telah menyatakan... secara terbuka... bahwa militer akan dengan patuh mendukung keputusan pemerintah [menyelenggarakan referendum], tetapi banyak yang curiga bahwa dukungan militer paling tidak suam-suam kuku (setengah-setengah)."
Lewat 200 dokumen yang dihasilkan Kedutaan Besar AS di Jakarta, Kementerian Luar Negeri AS, Badan Intelijen Pertahanan, Badan Intelijen Pusat (CIA), Komando Pasifik AS, dan Kementerian Pertahanan AS, penyangkalan Wiranto bahwa dia "tidak pernah terpikir merencanakan, apalagi memerintahkan... suatu kejahatan terhadap kemanusiaan" bualan belaka; atau setidak-tidaknya, bertolak belakang dengan apa yang ditemukan para pejabat AS saat itu.
Pada 26 Februari 1999, intelijen departemen luar negeri AS, mengutip para pejabat kedutaan, mengatakan militer Indonesia "mempersenjatai kelompok paramiliter Timor dan berkeliling untuk membuat keresahan dan menggambarkan situasi keamanan sebagai 'perang saudara yang baru dimulai.'"
Dokumen itu menulis: "ABRI berpakaian preman berpartisipasi langsung dalam kelompok-kelompok tersebut."
Catatan serupa dalam dokumen yang terbit Maret 1999 menyebut "hubungan dekat" antara militer dan milisi lokal yang "diciptakan oleh Pasukan Khusus Indonesia (Kopassus) dan intelijen." KODAM disebut "memberikan amunisi, logistik, dan saran kepada milisi."
Bahkan secara khusus pada awal 1999, "Wiranto menyediakan ratusan senjata api kepada kelompok milisi."
Sepanjang April 1999, serangkaian peristiwa berdarah terjadi di Timor Timur, termasuk pembantaian di Gereja Liquica pada 6 April yang menewaskan 25 orang.
Pada 16 April, milisi pro-integrasi yang didukung aparat Indonesia bahkan mengambil alih Dili, ibu kota Timor. Situasi memburuk drastis.
Menanggapi eskalasi kekerasan ini, Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk urusan Asia Timur dan Pasifik Stanley Roth "mendesak pemerintah Indonesia untuk melucuti milisi sipil."
Roth mencatat: "Banyak senjata ditemukan dari militer ke kelompok paramiliter."
Roth tidak mengatakan Wiranto terlibat langsung dalam aksi kekerasan. Tapi, dia menekankan, "ABRI sama sekali tidak bertindak untuk mengadang kekerasan di daerah-daerah kerusuhan."
Sementara pada awal Mei 1999, CIA mencatat, "Wiranto... tidak melakukan tindakan apa pun terhadap milisi pro-integrasi atau mendisiplinkan unit militer."
"Wiranto berulang kali berjanji bahwa militer netral," kata Roth, "tapi komandan setempat meminta setidaknya persetujuan diam-diam dari markas besar di Jakarta" untuk membunuh, mengusir, atau mengintimidasi para aktivis kemerdekaan Timor Timur.
Roth akhirnya bertemu Wiranto antara 12-14 Juli 1999. Dalam dokumen, "Meeting with General Wiranto", Roth berkata pemerintahan Bill Clinton (Presiden AS 20 Januari 1993-20 Januari 2001) percaya Indonesia akan mendisiplinkan militernya supaya netral atas sikap terhadap referendum, meski AS memliki segudang bukti soal keterlibatan militer Indonesia mengorganisir para milisi pro-integrasi.
Roth juga berkata, "Sekarang bukan masalah menyalahkan, tetapi hasil yang harus dicapai."
Kekerasan terus berlanjut bahkan ketika sepertiga warga Timor Timur memilih merdeka. Dili dibumihanguskan; paramiliter masih berkeliaran, meneror di sana sini.
Saat bertemu Wiranto pada 9 September 1999, Dennis C. Blair, mantan Direktur Intelijen Nasional AS, mendesak Wiranto untuk menerima pasukan multinasional di Timor Timur.
"Saya mengimbau Anda membiarkan komunitas internasional membantu Indonesia membantu dirinya sendiri," kata Blair.
Tapi, pejabat militer AS menentang upaya lebih keras buat mendesak ABRI, selain cuma protes-protes lisan.
Menurut Brad Simpson, "Militer AS meyakini ABRI tetap menjadi kekuatan penting bagi stabilitas politik dan militer di Indonesia selama transisi demokrasi."
INTERFET, Pasukan Internasional untuk Timor Timur, yang dibentuk PBB untuk mengakhiri krisis kemanusiaan, mulai berdatangan pada akhir September. ABRI perlahan keluar dari daerah yang bukan lagi wilayah kekuasaannya itu dengan kepala tertunduk.
Di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, hari ini (30/8), Wiranto kembali merespons kabar lama tapi baru ini. Wiranto tidak lagi seantusias saat muda dulu.
Dia cuma bilang, dengan sikap enggan: "Ya... ya... Enggak usah direspons."
Penulis: Rio Apinino
Editor: Fahri Salam