Menuju konten utama

Berbagai Mitos dan Pantangan Malam 1 Suro serta Sejarahnya

Sejarah Malam 1 Suro dan apa saja mitos atau pantangan dalam memperingati Tahun Baru Jawa?

Berbagai Mitos dan Pantangan Malam 1 Suro serta Sejarahnya
Pameran pusaka di Keraton Yogyakarta. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/pd/16.

tirto.id - Malam 1 Suro dianggap sakral, keramat, bahkan mistis bagi sebagian orang Jawa. Ada berbagai mitos serta pantangan terkait Tahun Baru Jawa yang bertepatan dengan 1 Muharam atau Tahun Baru Islam. Lantas, bagaimana sejarah Malam 1 Suro dan tradisi orang Jawa memperingatinya?

Dikutip dari Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010) karya Muhammad Solikhin, anggapan sakralnya peringatan Malam 1 Suro terkait erat dengan budaya keraton. Pada zaman dahulu, sering diadakan upacara dan ritual untuk memperingati Tahun Baru Jawa yang kemudian diwariskan secara turun-temurun.

Wahyana Giri dalam Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010) mengungkapkan, Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta memaknai Malam 1 Suro sebagai malam yang suci. Bulan Suro atau Muharram pun disebut sebagai bulan penuh rahmat.

Sejarah Malam 1 Suro di Jawa

Sejarah Malam 1 Suro muncul pada 1633 Masehi. Saat itu, pemimpin Kesultanan Mataram Islam yakni Sultan Agung (1593-1645 M) menginginkan persatuan dalam rangka rencana menyerang Batavia yang dikuasai Belanda.

Akan tetapi, masyarakat Mataram terbagi dalam 2 kubu, yakni santri dan abangan. Kelompok santri merupakan masyarakat Jawa muslim yang mempraktikkan syariat agama Islam. Sementara kaum abangan adalah kalangan penduduk yang lebih dekat dengan tradisi.

Dalam hal ini, Sultan Agung membutuhkan cara supaya kelompok santri dan abangan dapat bersatu. Salah satu jalur yang ditempuh adalah membuat Kalender Jawa-Islam.

Penanggalan Jawa-Islam yang disusun Sultan Agung merupakan bentuk akulturasi Kalender Saka (Hindu) dan Hijriah (Islam). Kalender Jawa-Islam ini ditetapkan pada 1633 M, bertepatan dengan 1554 Saka atau 1043 Hijriah.

Dikutip dari Majalah Adiluhung Edisi 24 (2020), sistem Kalender Jawa Islam menyebabkan nama-nama bulan penanggalan Saka menyesuaikan perhitungan Hijriah, seperti Sura atau Suro (Muharam), Sapar (Safar), Mulud (Rabiul Awal), Bakdamulud (Rabiul Akhir), dan seterusnya.

Dari sinilah kemudian muncul istilah Malam 1 Suro, yang dalam penanggalan Hijriah bertepatan dengan 1 Muharam. Malam 1 Suro dianggap masa yang sakral dan mistis bagi masyarakat Jawa.

Berbagai Mitos dan Pantangan pada Malam 1 Suro

Malam 1 Suro biasanya diperingati malam hari setelah waktu Magrib sebelum tanggal pertama di tahun baru. Malam 1 Suro oleh sebagian masyarakat Jawa dianggap khusus dan istimewa dibandingkan malam-malam lainnya.

Berbagai mitos dan pantangan terkait Malam 1 Suro masih diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa hingga saat ini. Berikut ini daftar mitos dan pantangan Malam 1 Suro:

Pantangan Keluar Rumah

Sebagian masyarakat Jawa percaya bahwa pada Malam 1 Suro orang dilarang pergi ke luar rumah. SitusPeta Budaya Kemendikbud menuliskan, masyarakat Jawa boleh keluar rumah pada Malam 1 Suro apabila untuk berdoa atau melakukan ibadah lainnya.

Pantangan Mengadakan Pernikahan atau Membangun Rumah

Dikutip dari Kearifan Lokal dan Multikultural dalam Sastra Lisan di Era Digital (2022) yang disusun Heny Subandiyah dan kawan-kawan, terdapat larangan melakukan sejumlah aktivitas seperti mengadakan pernikahan dan membangun rumah pada bulan Sura atau Suro. Apabila dilanggar, dipercaya dapat mendatangkan kesialan.

Memandikan Benda Pusaka

Bagi sebagian masyarakat Jawa, Malam 1 Suro dianggap sebagai waktu yang paling tepat untuk memandikan benda-benda pusaka beserta rangkaian ritualnya. Tradisi ini dikenal dengan istilah jamasan pusaka.

Keraton Yogyakarta masih melestarikan tradisi jamasan pusaka setiap Malam 1 Suro. Berbagai benda pusaka milik Kraton Yogyakarta akan dibersihkan atau dimandikan, seperti senjata, kereta, alat-alat berkuda, bendera, gamelan, dan lain-lain.

Tirakat Mengelilingi Benteng

Setiap Malam 1 Suro, sebagian masyarakat Yogyakarta melakukan tradisi mubeng beteng atau berjalan dalam diam mengelilingi benteng keraton. Ritual ini dilakukan sebagai bentuk tirakat atau pengendalian diri dan memohon keselamatan kepada Tuhan.

Prosesi mubeng benteng juga dilakukan oleh para abdi dalem keraton dengan mengenakan pakaian khas Jawa dan tidak menggunakan alas kaki. Sebagian masyarakat umum biasanya akan mengikuti dari belakang dengan tidak memakai alas kaki juga.

Berjalan tanpa alas kaki ini dimaksudkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan menunjukkan rasa sayang terhadap alam semesta. Selama perjalanan, semua yang mengikuti prosesi akan berjalan dengan tenang, tanpa suara, sembari memanjatkan doa.

Baca juga artikel terkait MALAM 1 SURO atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Iswara N Raditya