tirto.id - Shalat Tarawih menjadi salah satu ibadah yang dianjurkan dikerjakan umat Islam sepanjang malam di bulan Ramadan. Hukumnya adalah sunnah muakadah. Lantas, berapa rakaat shalat tarawih versi Nahdlatul Ulama (NU) dan apakah boleh witir setelah tahajud?
Dalam suatu riwayat dari jalur Aisyah ra. diceritakan bahwa Rasulullah saw. pada suatu malam Ramadan menuju masjid melaksanakan salat. Lalu, beberapa sahabat mengikut Rasulullah saw. Namun, pada malam berikutnya, Rasulullah saw. kembali mendirikan salat, dan sahabat yang mengikuti semakin banyak.
Akan tetapi di malam ketiga dan keempat Rasulullah saw. tidak lagi datang padahal para sahabat sudah berkumpul dan menunggu. Pada pagi harinya Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir [shalat tarawih itu] akan diwajibkan atas kalian,” (HR. Muslim).
Salah satu keistimewaan pelaksanaan Tarawih adalah menghapus dosa-dosa yang telah lalu. Hal ini termuat dalam hadis dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Barangsiapa yang menunaikan shalat pada malam bulan Ramadhan [shalat Tarawih] dengan penuh keimanan dan mengharap [pahala dari Allah], maka dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni,” (HR. Muslim).
Waktu pelaksanaan Salat Tarawih mulai dari setelah Salat Isya hingga sebelum Salat Subuh. Jumlah rakaat pengerjaan Salat Tarawih yang kerap digunakan di Indonesia ada 2 formasi yakni 8 rakaat dan 20 rakaat.
Berapa Rakaat Shalat Tarawih NU
Kalangan NU biasanya mengerjakan Salat Tarawih sebanyak 20 rakaat, dengan rincian pada masing-masing salat adalah 2 rakaat dan 1 salam. Pelaksanaan Salat Tarawih 20 rakaat NU merujuk pada kebiasaan umat Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Tidak hanya itu, Salat Tarawih masa Umar bin Khattab juga dilaksanakan berjemaah.
Pelaksanaan Tarawih berjemaah merupakan inisiatif para sahabat, karena para kaum muslim tidak menjalankan ibadah tersebut dengan kompak seperti menunaikan sendiri (munfarid) atau berjemaah. Perihal peristiwa ini disampaikan dalam riwayat Abdurrahman bin ‘Abdul Qari’ sebagai berikut:
“Dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qari’, beliau berkata, 'Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khattab RA ke masjid pada bulan Ramadan. [Didapati dalam masjid tersebut] orang yang salat tarawih berbeda-beda. Ada yang salat sendiri-sendiri dan ada juga yang salat berjemaah.
Lalu Sayyidina Umar berkata, 'Saya punya pendapat, andai mereka aku kumpulkan dalam jemaah satu imam, niscaya itu lebih bagus.' Lalu, beliau mengumpulkan kepada mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan salat tarawih dengan berjemaah di belakang satu imam. Umar berkata, ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini [salat tarawih dengan berjemaah],” (H.R. Bukhari).
Salat Tarawih semenjak itu kemudian dilaksanakan berjemaah teratur setiap malam Ramadan. Pelaksanaan Salat Tarawih 20 rakaat masa Umar bin Khattab juga diceritakan dalam riwayat Imam Malik sebagai berikut:
“Dari Yazid bin Ruman telah berkata, ‘Orang-orang senantiasa melaksanakan salat pada masa Umar RA pada Ramadan sebanyak 23 rakaat [20 rakaat tarawih, disambung 3 rakaat witir],” (H.R. Malik).
Apa Boleh Witir Usai Tahajud?
Salat witir merupakan ibadah salat yang kerap digabungkan bersama pelaksanaan Tarawih ketika Ramadan. Lalu, bagaimana jika seorang muslim menjalankan Salat Witir setelah salat tahajud?
Hukum pengerjaan salat witir menurut riwayat yang paling umum digunakan mayoritas ulama adalah sunah muakadah, begitu dianjurkan untuk dikerjakan umat Islam. Waktu pengerjaan salat witir dimulai setelah salat isya hingga sebelum salat subuh. Berikut ini salah satu dalil yang menyebutkan keistimewaan salat witir:
“Sesungguhnya Allah telah menganugerahi kepada kalian shalat yang dia lebih baik dari unta merah, yaitu shalat witir, Allah telah jadikan waktunya bagi kalian antara shalat isya' sampai terbit fajar.” (Hadits Jami' At-Tirmidzi No. 414).
Kendati dapat dikerjakan di sepanjang malam, waktu utama pelaksanaan Salat Witir adalah pada akhir malam. Waktu utama ini secara sederhana menempatkan Salat Witir sebagai salat penutup setelah mengerjakan Tahajud, sebagaimana riwayat Nafi dan Ibnu Umar sebagai berikut:
“Jadikanlah shalat witir sebagai akhir shalatmu di malam hari,” (HR. Muslim).
Apabila seseorang telah mengerjakan Salat Witir bersamaan Salat Tarawih, kemudian terjaga di malamnya. Ia tetap dibolehkan mendirikan Salat Tahajud, namun tidak perlu mendirikan Salat Witir kedua kalinya sebagai penutup qiyamulail.
Diriwayatkan dari jalur Jabir, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang khawatir tidak bisa bangun pada akhir malam, hendaklah ia melakukan witir pada awal malam. Dan siapa yang berharap mampu bangun di akhir malam, hendaklah ia witir pada akhir malam, karena salat pada akhir malam disaksikan [oleh para malaikat] dan hal itu lebih utama,” (HR. Muslim).
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fadli Nasrudin