Menuju konten utama

Belajar Politik Lewat Komunitas Ala Anak Muda Jogja

Ruang demokrasi di Yogyakarta semakin terbuka, salah satunya ditopang oleh peran komunitas politik anak muda.

Belajar Politik Lewat Komunitas Ala Anak Muda Jogja
Header Decode Komunitas Sekolah Politik Baru Anak Muda. tirto.id/Fuad

tirto.id - Nanik dan Ghani, dua anak muda dari Yogyakarta, menunjukkan bagaimana komunitas seperti GUSDURian dan LKiS menjadi ruang belajar politik yang inklusif, kritis, dan berpihak pada nilai kemanusiaan.

Pagi itu, di ruang rapat sekretariat GUSDURian Jogja, seorang perempuan muda tampak sibuk mengutak-atik laptopnya. Ia adalah Nanik Rahmawati, atau akrab disapa Nanik. Sambil duduk seorang diri, Nanik tengah menyiapkan desain untuk kegiatan English Club yang rencananya digelar pekan depan.

Kegiatan itu akan mempertemukan para penggerak komunitas GUSDURian Jogja untuk belajar bahasa Inggris bersama. Kata "penggerak" di GUSDURian merujuk pada orang-orang yang terlibat aktif dalam kegiatan komunitas. Salah satunya adalah Nanik sendiri.

Ia telah menjadi penggerak GUSDURian sejak pertengahan masa kuliahnya. Alasannya sederhana. Ia butuh ruang belajar yang lebih fleksibel dan merasa tertarik dengan isu-isu yang dibahas setiap pekan.

“Dari situlah mulai datang diskusi dan ternyata menarik gitu, terus kalau punya keresahan sesuatu tentang kondisi sekarang tuh bisa ngomong langsung disitu,” ujar Nanik pada Tirto, Rabu (15/10/2025), sambil tetap fokus ke laptopnya.

Di komunitas ini, Nanik merasa punya kesempatan bertemu dengan banyak orang baru dan memahami beragam sudut pandang. Isu yang dibahas juga luas, mulai dari persoalan kemanusiaan hingga masalah sosial lainnya.

Sambil sesekali menoleh, lalu Nanik mengutip kalimat Gus Dur, Presiden ke-4 RI yang menjadi inspirasinya untuk masuk ke dalam komunitas ini. “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan,” bunyi kutipan yang dilontarkan Nanik.

Menurut Nanik, kalimat itu penting menjadi pegangan, khususnya bagi para pemegang kebijakan. Bahwa kebijakan harus berpihak pada kemanusiaan, bukan semata untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dulu, Nanik mengaku tidak begitu peduli dengan politik. Ia menganggap politik membosankan.

Namun, perasaan itu berubah saat ia menyaksikan langsung praktik money politics yang marak di kampung halamannya setiap pemilu. Transaksi politik yang terjadi membuatnya merasa resah dan kecewa. Ia menilai, praktik itu “mengaburkan esensi dan fokus pada kapasitas si calon demi sebuah uang yang jumlahnya tak seberapa.”

Simulasi pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta 2024

Warga memasukkan surat suara saat mengikuti simulasi pemungutan suara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta 2024 di Gelanggang Remaja Johar Baru, Jakarta, Kamis (24/10/2024).ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/agr

Setelah selesai mendesain poster, Nanik perlahan menutup laptopnya dan bersiap membagikannya ke grup WhatsApp penggerak. Ia melanjutkan cerita, bahwa lewat komunitas ini, ia bisa mendapatkan perspektif baru dan pengetahuan tambahan. Kini, ia lebih paham tentang sejarah pemerintahan Indonesia dari masa Soekarno, Soeharto, hingga pasca reformasi.

Untuk kedua kalinya, lagi ia mengutip pandangan Gus Dur soal tiga tolak ukur demokrasi; yaitu kebebasan berpendapat, kedaulatan hukum, dan kesamaan hak. Ketika ditanya apakah tertarik terjun langsung ke dunia politik, Nanik menjawab dengan jujur bahwa ia belum terpikir ke arah sana.

Pameran lukisan tokoh agama di Surabaya

Pengunjung mengamati lukisan yang dipajang pada pameran lukisan bertema Resonansi di Galeri Merah Putih, Surabaya, Jawa Timur, Senin (3/7/2023). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/aww.

“Sejauh ini belum ada, karena aku percaya bahwa lingkungan itu akan berpengaruh dengan pola pikir dan sikap kita. Kapasitas diri masih kurang, apalagi aku masih belajar soal dinamika pemerintahan di Indonesia yang cukup dinamis dari orde lama sampai pasca reformasi,” pungkasnya.

Kini, Nanik aktif di Divisi Media dan Kampanye GUSDURian Jogja. Ia bertugas membuat materi kampanye dan konten media yang berkaitan dengan kegiatan komunitas.

Sementara itu, di tempat berbeda, Ahmad Ghani, mahasiswa semester tiga jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan di salah satu kampus di Yogyakarta, sedang memilih buku di antara deretan rak. Dahinya berkerut, matanya tajam membaca satu per satu judul buku.

Sepulang kuliah, Ghani biasa menghabiskan waktu dengan membaca dan mengikuti organisasi internal kampus. Ia juga rajin mengunjungi perpustakaan dekat indekosnya. Karena kebiasaan itu, teman-temannya menjulukinya “Ghani, Sang Pencerah”.

Kecintaannya pada dunia literasi dan diskusi membuatnya aktif dalam berbagai ruang obrolan politik di Yogyakarta. Menurutnya, kota ini menawarkan banyak ruang bagi anak muda untuk berkumpul dan berdiskusi.

“Penting karena kita secara tak langsung manusia itu berpolitik. Sehingga kita punya sudut pandang baru terlebih negara kita kan negara demokrasi,” kata Ghani saat diwawancarai Tirto pada Minggu (12/10/2025).

Namun, Ghani tidak ingin asal bergabung dalam komunitas. Baginya, penting memahami ide yang mendasari berdirinya sebuah komunitas. “Penting harus melihat pada background. Komunitas itu besar karena idenya, bukan karena namanya,” jelasnya.

Dari beberapa komunitas yang ada di Yogyakarta, ada dua yang menarik perhatian Ghani: GUSDURian Jogja dan Yayasan LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial). Keduanya dianggap menyediakan ruang bagi anak muda untuk berdiskusi secara kritis dan bertumbuh bersama.

Menjaga Warisan Pemikiran Gus Dur

GUSDURian Jogja adalah bagian dari jaringan nasional yang melanjutkan nilai-nilai dan perjuangan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Komunitas ini aktif di berbagai kota, termasuk luar negeri.

“GUSDRian itu ya kita komunitas atau orang yang ingin melanjutkan perjuangan Gus Dur, ini meneruskan wawasan nilai yang sudah diwariskan oleh Gus Dur,” kata Wiji Nurasih, Presidium GUSDURian Jogja, saat ditemui Tirto pada Selasa (14/10/2025).

Presidium Gusdurian Jogja, Wiji Nurasih

Presidium Gusdurian Jogja, Wiji Nurasih. tirto.id/ Abdul Haris

Menurut Wiji, GUSDURian terbuka untuk siapa saja yang merasa memiliki nilai yang sama. Anggotanya mayoritas anak muda ada yang mahasiswa, ada pula yang sudah bekerja.

Komunitas ini fokus pada isu-isu seperti pendidikan, ekologi, toleransi, dan demokrasi. Setiap Jumat, mereka menggelar diskusi rutin dengan topik yang berganti-ganti.

“Jadi setiap Jumat kita ada diskusi rutinan membedah tulisan Gus Dur, kadang juga Alissa Wahid sendiri, kita diskusikan dan temanya berganti,” ujarnya.

Keunikan GUSDURian terletak pada sifat keanggotaannya yang inklusif dan tidak formal.

"Kita nggak ada keanggotaan formal di Gusdurian, semua orang bisa atau kelompok manapun yang merasa punya nilai yang sama dengan Gusdur bisa menjadi Gusdurian, cuman kita punya penggerak inti yang melaksanakan agenda-agenda Gusdurian di Jogja," terang Wiji.

LKiS: Ruang Kritis untuk Anak Muda

Sementara itu, wadah komunitas politik lain di Yogyakarta adalah Lembaga Kajian Islam dan Sosial atau LKiS, sudah berdiri sejak 1997. Lembaga ini bertujuan memperkuat demokrasi, keadilan sosial, pluralisme, dan kemanusiaan di Indonesia.

Menurut Novi, Program Manager LKiS, lembaga ini menyediakan ruang aman bagi anak muda untuk belajar dan berdiskusi tentang politik secara kritis dan partisipatif. “Yayasan LKiS aktif menciptakan ruang aman bagi anak muda untuk belajar dan berdiskusi tentang politik secara kritis dan partisipatif,” ujar Novi saat ditemui Tirto dalam sebuah acara diskusi.

Program Manager LKiS Novi

Program Manager LKiS, Novi saat diwawancarai pada Selasa, (14/10/2025). tirto.id/ Abdul Haris

Program-program seperti Festival Pemilu, Mimbar Suara Warga, dan kelas literasi politik menjadi ajang anak muda untuk memahami isu-isu politik secara substansial, bukan hanya soal pemilu. “Anak muda belajar memahami politik dari sudut demokrasi partisipatif dan keadilan sosial, sehingga bukan sekadar kontestasi elektoral,” tambah Novi.

Lebih dari 60 persen peserta program sepanjang tahun 2024 adalah anak muda usia 19–25 tahun. Mereka bukan hanya peserta, tapi juga fasilitator, moderator, bahkan perumus agenda politik warga.

Demokrasi di Yogyakarta dan Harapan ke Depan

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) di DIY tahun 2024 tercatat sebesar 89,25. Angka ini menunjukkan tren peningkatan sejak 2021 (81,21), 2022 (85,62), dan 2023 (83,88), menurut laporan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapperida) DIY.

Angka ini menjadi cerminan bagaimana ruang demokrasi di Yogyakarta semakin terbuka, salah satunya ditopang oleh peran komunitas dan anak-anak muda seperti Nanik dan Ghani, yang proaktif mencari ruang belajar, bertumbuh, dan berkontribusi secara kritis.

Mereka tidak sekadar hadir dalam diskusi, tapi juga terlibat sebagai penggerak, kreator, dan penyampai ide. Bagi mereka, belajar politik bukan berarti harus terjun ke partai atau pemilu, tapi tentang menumbuhkan kesadaran dan keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan.

Baca juga artikel terkait KOMUNITAS atau tulisan lainnya dari Abdul Haris

tirto.id - Decode
Kontributor: Abdul Haris
Penulis: Abdul Haris
Editor: Farida Susanty