tirto.id - Iqbal Ramadhan seketika terkesiap ketika ‘tamu tak diundang’ tiba-tiba hadir di tengah acara diskusi rutin yang diselenggarakan Blok Politik Pelajar (BPP). Medio September 2022, saat itu tengah hangat gelombang protes penolakan kenaikan harga BBM. Diskusi dengan tema dampak kenaikan BBM yang dilakukan sekumpulan pelajar dan mahasiswa itu tak diduga didatangi seorang aparat.
Iqbal, selaku pegiat dari Blok Politik Pelajar, lantas melabrak pria berbadan tegap tersebut. Kepadanya, pria itu mengaku, tengah menjalankan perintah atasan untuk mengambil foto acara diskusi tersebut. Menurut Iqbal, kejadian seperti ini berulang dan jadi mengintimidasi anak-anak muda yang tengah belajar mendalami isu-isu politik dan kebijakan Negara.
Setelah terjadi negosiasi, Iqbal mengizinkan petugas aparat itu melakukan tugasnya dengan syarat tidak memfoto anak-anak muda yang sedang berdiskusi. Iqbal bahkan mengajak pria itu untuk ikut duduk menyimak jalannya diskusi.
“Diskusinya diperbolehkan, cuma kan diintai juga. Itu kami jadi sedikit kayak ada 'Big Brother watching you', gitu. Kayak ditakut-takuti. Terus yang ngintai aparat lagi,” ujar Iqbal bercerita kepada wartawan Tirto, Kamis (16/10/2025).
Blok Politik Pelajar alias BPP memang menjadi wadah alternatif bagi anak-anak muda untuk belajar dan memahami isu-isu sosial, ekonomi, serta politik dengan pendekatan lebih kritis. Kolektif progresif ini mulai diinisiasi pada 2019 silam oleh sejumlah mahasiswa dan pemuda, hingga resmi terbentuk pada 2020.
Menurut Iqbal, terbentuknya BPP berawal dari keresahan anak-anak muda yang melihat aksi unjuk rasa para pelajar kerap dikerdilkan, bahkan dilarang. Namun, puncaknya di tahun 2019 ketika pecah unjuk rasa besar #ReformasidiKorupsi. Pelajar yang menjadi peserta aksi penolakan revisi undang-undang dan pelemahan KPK itu malah ditangkapi aparat penegak hukum.

BPP percaya, setiap warga negara, termasuk para pelajar, memiliki hak untuk menyuarakan pendapat dan berpartisipasi aktif secara politik, sebagaimana dijamin oleh instrumen hukum nasional maupun internasional.
“Kami resah karena pelajar dianggap belum hijau untuk bersuara. Padahal, mereka punya hak berekspresi,” kata Iqbal.
Alhasil, BPP tak sekadar memposisikan diri sebagai kelompok diskusi politik yang progresif dan tak terkungkung agenda politik praktis, tetapi sebagai ruang belajar kolektif yang melatih kesadaran kritis di luar jalur pendidikan politik formal.
Kegiatannya pun berlangsung cair: dari warung kopi, pinggir jalan, kafe, hingga ruang-ruang publik. Peserta diskursus rutin yang dilakukan BPP diajak membahas isu politik, hukum, ekonomi, hingga gerakan sosial dengan tujuan utama membela kelompok marjinal.
Iqbal mengaku kegiatan diskusi BPP memang berlangsung inklusif dan dapat dihadiri oleh berbagai kelompok publik. Terkadang diskursus mereka dihadiri oleh puluhan orang, bahkan pernah ratusan orang, ada kalanya cuma belasan orang. Meski tidak ada unsur kaderisasi dan pimpinan, Iqbal menilai memang ada beberapa orang yang menjadi anggota tetap BPP.
Menariknya, istilah “pelajar” dalam BPP dimaknai mereka secara luas. Bagi Iqbal, pelajar tak hanya siswa sekolah atau mahasiswa, tetapi siapa saja yang ingin terus belajar dan berniat memperbaiki kondisi masyarakat serta membela orang-orang yang terpinggirkan.
“Kalau seseorang masih belajar hal-hal baik untuk dirinya dan lingkungannya, walau usianya 40 atau 50 tahun, dia tetap pelajar,” ujar Iqbal.
Karena kecairan itu pula, kolektif ini mampu tumbuh organik di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, Makassar, Bogor, dan Kalimantan. Tak hanya sibuk berdiskusi, ditilik rekam jejak mereka, tak jarang aksi-aksi langsung seperti unjuk rasa juga diinisiasi BPP.
Misal, aksi unjuk rasa simbolis ‘pelemparan air seni’ di depan Kantor Kominfo pada Agustus 2022 silam dalam rangka menolak kebijakan pemblokiran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE). Ada juga aksi penolakan kenaikan BBM pada September 2022. Selain itu, BPP turut menginisiasi aksi solidaritas untuk Palestina di Jakarta pada 21 Mei 2021.
Kala itu, belasan aktivisnya ditangkap Polda Metro Jaya ketika hendak membakar bendera Israel di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Demonstrasi tersebut mereka lakukan untuk membela kemerdekaan bangsa Palestina dan mengecam tindakan Israel. Para aktivis tersebut kemudian dilepaskan oleh polisi tanpa proses hukum.
Namun, aktivitas mereka tak lepas dari berbagai tantangan. Iqbal mengaku, diskusi publik BPP kerap mendapat pemantauan aparat, bahkan beberapa kali mengalami peretasan dan doksing.

Terlebih, saat ini, tiga aktivis Blok Politik Pelajar tengah ditahan dan ditetapkan kepolisian sebagai tersangka karena dianggap memprovokasi pelajar untuk melakukan aksi unjuk rasa dalam gelombang demonstrasi besar-besaran pada akhir Agustus 2025 lalu.
Meski tekanan datang dari berbagai arah, antusiasme anak muda untuk terlibat tetap tinggi. Iqbal bercerita banyak yang datang dari luar kota hanya untuk berdiskusi dan menyumbang gagasan. Bagi BPP, keberanian berpikir dan bersuara adalah bagian dari pendidikan politik itu sendiri.
Mereka menilai kesadaran politik sebagai ruang belajar dan alat keberpihakan anak muda untuk membela kelompok yang terpinggirkan. Dalam situasi di mana ruang-ruang akademik dibatasi, kolektif ini serupa simbol kecil perlawanan intelektual anak muda terhadap represi dari pelanggeng status quo.
Kaum Muda Kian Aktif dan Kritis
Kaum muda hari ini memang semakin perhatian dan partisipatif terhadap berbagai isu-isu sosial, ekonomi, dan politik. Laporan Kawula17 berjudul National Benchmark Survey (NBS) yang digagas Yayasan Pelopor Pilihan Tujuhbelas setidaknya menggambarkan kondisi itu.
Survei yang dirilis Kawula17 pada Agustus 2025 lalu itu menunjukkan, semakin tertarik anak muda dengan isu-isu antikorupsi, HAM, gender, dan lingkungan, semakin tinggi pula tingkat aktivisme mereka. Hal ini terlihat jelas dari spektrum politik anak muda hari ini yang semakin progresif.
Kawula17 menemukan, mayoritas anak muda memiliki pandangan politik yang progresif dan sangat progresif secara konsisten sebesar 49 persen. Angka ini sama dengan pengukuran yang sama pada semester kedua 2024 sebelumnya. Artinya, orang muda Indonesia secara konsisten terus menaruh perhatian dan kepedulian pada nilai-nilai kesetaraan serta keadilan sosial.
Laporan Kawula17 menunjukkan semakin tertarik orang muda terhadap suatu isu, semakin progresif pula mereka. Temuan itu menegaskan progresivitas orang muda bukan sekadar berdasar preferensi politik. Hal ini merupakan cerminan keterlibatan aktif anak muda dalam mendorong perubahan sosial yang lebih baik.
Masih survei yang sama, dari sisi skala prioritas isu yang disoroti anak muda, isu kesehatan (82 persen), pendidikan (80 persen) ekonomi (75 persen), dan keamanan (75 persen) masih jadi perhatian utama orang muda, baik di semester kedua 2024 maupun di semester pertama 2025. Namun, isu yang lebih politis justru menjadi pemantik kemarahan terbesar kaum muda.
Laporan Kawula17 menunjukkan isu antikorupsi, kemiskinan dan ekonomi menjadi tiga topik teratas yang paling memicu kemarahan orang muda. Isu antikorupsi bukan hanya meningkat paling signifikan sebagai topik yang dianggap penting oleh anak muda, tetapi juga menjadi yang paling memicu kemarahan mereka.
Temuan dari skala kemarahan dapat menunjukkan seberapa besar peluang amarah dapat ditransformasikan menjadi partisipasi politik, aktivisme, atau solidaritas sosial. Kemarahan orang muda bukan sekadar ekspresi emosional, namun terkait erat dengan kesadaran politik dan kepedulian mereka terhadap isu publik.
Manajer riset dan program dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, menilai anak muda hari ini memang mengalami pergeseran tingkat aktivisme terhadap isu. Hal itu ditandai dengan sikap mereka yang awalnya cuma membaca informasi isu lewat berita atau sosial media (sosmed), menjadi mulai melakukan pergerakan aktif.
“Mereka mulai speak up di sosmed, mereka mulai repost postingan dari teman-teman NGO gitu kan, mereka mulai punya stance,” ujar Felia kepada wartawan Tirto, Rabu (15/10/2025).
Sayangnya, Felia memandang aspirasi dari anak muda belum tersalurkan dan terkanalisasi dengan baik. Dengan kecenderungan lebih banyak anak muda dalam kategori participant di tingkat aktivisme, masih ada tantangan mengonversi kesadaran kolektif anak muda menjadi aksi yang nyata dan tindakan praksis.
Kondisi itu, kata dia, dipersulit dengan respons pemerintah dan DPR yang belum maksimal merangkul dan menyerap aspirasi anak-anak muda. Alih-alih merangkul, pemuda yang kritis justru masih sering dihadapkan dengan ancaman kriminalisasi dan represi saat bersuara.
Di sisi lain, Felia turut menangkap pergeseran metode anak muda dalam mendalami isu-isu publik dan belajar politik. Yakni transformasi dari mengikuti wadah organisasi formal seperti partai politik (parpol) dan organisasi mahasiswa eksternal (Ormek), menuju komunitas atau organis non-pemerintah (NGO).
Hal ini menunjukkan minat anak muda hari ini yang menginginkan cara belajar isu dan politik dengan lebih cair dan inklusif tanpa kungkungan ideologi atau kaderisasi. Felia melihat hal ini menandakan kecenderungan anak muda hari ini menghindari pola organisasi yang terlalu hierarkis menuju gerakan nonformal yang lebih berbasis isu, kolaboratif, dan lintas identitas.
“Saya melihatnya banyak komunitas-komunitas anak muda yang less hirarkis, tapi mereka bukannya enggak ngomongin isu, mereka ngomongin tapi dengan cara mereka. Dengan gaya yang mungkin udah enggak sama dengan zaman kita kuliah,” ujar Felia.
BijakMemilih
Salah satu platform yang muncul bagi anak muda dalam mempelajari pendidikan politik lebih mendalam adalah BijakMemilih. BijakMemilih diinisiasikan oleh NGO Think Policy dan What Is Up Indonesia? (WIUI) secara independen.
Think Policy adalah organisasi yang bertujuan memperbaiki ekosistem pembuatan kebijakan publik di Indonesia, khususnya dalam isu-isu intergenerasional. Sedangkan WIUI adalah media independen yang menyajikan berita sosial politik Indonesia dalam bahasa Inggris.
Head of Media BijakMemilih, Nathaniel Rayestu, menyampaikan bahwa tujuan kehadiran BijakMemilih sebetulnya menginginkan agar anak-anak muda tidak hanya berbicara politik elektoral lima tahunan semata. Namun, juga partispasi politik yang lebih luas seperti dalam mengawal pembentukan kebijakan publik hingga pelaksanaannya.
“Kita pengen memperkuat di sisi demand-nya ini, supaya anak muda urban ini bisa nuntut lebih banyak, bisa berani bersuara, bisa mau ngikutin berita, mau peduli,” ucap Rayestu kepada wartawan Tirto, Rabu (15/10/2025).
Mulanya, platform ini bertujuan membantu pemilih muda memahami kandidat, partai politik, serta visi-misi mereka dengan cara sederhana dan menarik. Setelah Pemilu 2024 rampung, gerakan itu bertransformasi menjadi BijakMemantau, sebuah platform digital yang berfokus pada pelibatan publik dalam pengawasan kebijakan.

Mengacu penjelasan Rayestu, mereka ingin menjadi sarana demand-side strengthening, di mana masyarakat, terutama anak muda, didorong menjadi pihak yang menuntut kebijakan publik yang lebih baik. Selain itu, BijakMemilih rutin menggelar town hall events setiap dua bulan, untuk mempertemukan publik dengan perwakilan anggota DPR lewat dialog.
Ia bercerita, antusiasme anak muda terhadap kegiatan ini cukup tinggi. Bahkan bisa sampai 500 pendaftar dengan 300 peserta hadir secara langsung. Mereka juga diperkuat kegiatan belajar bersama secara daring per dua minggu sekali yang diikuti ratusan peserta sebagai bentuk pendidikan politik berkelanjutan berbasis isu aktual.
Menurut Rayestu, daya tarik utama program-program mereka bagi anak muda adalah rasa bermakna dan kontribusi nyata. BijakMemilih berupaya meningkatkan keinginan anak muda untuk ikut berperan dalam perubahan sosial melalui pemahaman isu kebijakan.
“Demokrasi yang benar itu banyak proses partisipatif dalam proses membuat kebijakannya. Dan gimana bisa partisipatif kalau misalnya nggak banyak masyarakat yang ikutan atau mau ikutan mikirin, untuk bersuara, untuk berpendapat. Bagaimana caranya supaya lebih banyak orang mau ke situ, kita coba match,” ungkap Rayestu.
Keaktifan anak muda dalam jejaring sosial memang terbukti berkaitan erat dengan semakin aktifnya mereka dalam partisipasi politik. Dalam studi Ida dkk (2025) berjudul ‘Politik di Indonesia: demokrasi, jaringan sosial dan partisipasi politik pemuda’, ditemukan bahwa ada hubungan positif antara interaksi sosial dan jejaring sosial, dengan efikasi politik lebih lanjut secara signifikan. Hal ini makin menyoroti persistensi jejaring sosial dalam partisipasi politik di kalangan pemuda Indonesia.
Dalam salah satu hasil survei yang dilakukan para peneliti terhadap 308 responden berusia 18-29 tahun dari enam universitas di Indonesia, ditemukan bahwa responden terlibat dalam penyelenggaraan seminar publik tentang isu-isu sosial, yang menunjukkan partisipasi aktif mereka di masyarakat.

Hasil ini juga menunjukkan frekuensi partisipasi sebagai sukarelawan di lembaga swadaya masyarakat (LSM). Separuh responden (56,8 persen) mengaku bekerja di organisasi-organisasi tersebut sebagai sukarelawan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sukarela bersama LSM.
Kesimpulannya, LSM bisa menyediakan kesempatan bagi kaum muda untuk belajar melalui kegiatan sukarela dan berpartisipasi dalam kegiatan sipil dan politik, serta meningkatkan jaringan sosial individu.
Kendati begitu, bukan berarti minat anak muda terhadap organisasi bercorak ideologis yang menerapkan sistem kaderisasi otomatis sepi. Ormek – sebagai wadah bagi mahasiswa dan pemuda menuju gerbang gelanggang politik praktis – masih ramai diminati.
Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sleman, Naufal A'isy, bercerita dari tahun ke tahun keanggotaan HMI di kalangan mahasiswa justru terus berkembang. Menurutnya, hal ini dikarenakan Ormek seperti HMI semakin menyesuaikan zaman sehingga tak hanya mengedepankan urusan pendidikan politik, namun juga pembekalan kewirausahaan hingga kekaryaan.
Dari pengamatannya, hanya sekitar 30–40 persen anggota yang benar-benar tertarik pada isu politik. Namun, HMI sendiri terus berusaha mempertahankan relevansi lewat pendidikan politik berbasis kaderisasi dan mentoring. Program ini dijalankan secara berjenjang, mulai dari pelatihan dasar, kelas kepemimpinan, hingga pembekalan kader elang masa kampanye senat kemahasiswaan.
Menurut Naufal, para kader dilatih memahami desain program, tata kelola organisasi, hingga cara membaca dinamika pemerintahan.
“Kalau terkait mentoring biasanya dari channel senior, atau dari beberapa tokoh dan aktivis politik di Yogyakarta,” ujar Naufal kepada wartawan Tirto, Rabu (15/10) malam.
Ketika ditanya perbedaan karakter antara HMI dengan gerakan non-formal atau komunitas diskusi politik yang kini marak di kalangan muda, Naufal menegaskan perbedaan utamanya terletak pada ideologi dan sistem kaderisasi. Menurutnya, organisasi ekstra seperti HMI, PMII, atau GMNI memiliki dasar ideologis yang kuat dengan struktur kaderisasi yang jelas.
Mereka juga memiliki jejaring alumni yang sudah banyak berkiprah di arena politik praktis, termasuk menjadi anggota partai atau pejabat pemerintah.
Bagi Naufal, urgensi bergabung dengan organisasi formal dan berbasis ideologi seperti HMI masih besar, terutama bagi mahasiswa baru yang hendak mengasah kapasitas berpikir kritis dan keberanian bersuara. Naufal menilai, di tengah melemahnya idealisme politik kampus, Ormek menjadi penjaga nalar kritis dan semangat kebangsaan mahasiswa.
“Kampus seharusnya jadi ruang bebas berpikir. Kalau ruang itu hilang, maka Ormek harus tetap menjaganya,” pungkasnya.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id





































