tirto.id - Penanganan demonstrasi di berbagai daerah yang dilakukan Polri menunjukkan slogan “humanisme” dalam pengamanan massa tidak diindahkan anggota di lapangan. Situasi demonstrasi imbas tuntutan evaluasi dan kenaikan tunjangan DPR di pekan terakhir Agustus 2025 ini terus memanas.
Sayangnya, janji pendekatan humanis dari Polri sebelumnya untuk mengamankan demonstrasi, justru terjadi sebaliknya. Tindakan represif dalam menghadapi massa aksi justru terlihat terang-terangan dan membabi buta.
Insiden yang merenggut nyawa Affan Kurniawan (21) menjadi salah satu bukti nyata bahwa reformasi institusi Polri perlu dilakukan mendesak agar membenahi Korps Bhayangkara dari kultur kekerasan.
Kematian Affan kemudian memicu kemarahan publik di seantero negeri. Affan tewas setelah dilindas oleh kendaraan taktis (Rantis) milik satuan Brigade Mobil (Brimob) Polda Metro Jaya di kawasan Bendungan Hilir (Benhil), Jakarta Pusat, Kamis (28/8/2025) malam.
Pantauan wartawan Tirto, pada Kamis malam sekira pukul 19.27 WIB, ratusan massa aksi yang berada di Jalan Penjernihan I langsung lari berhamburan ketika sebuah rantis Brimob melaju dengan kecepatan kencang ke arah mereka.
Tak jauh dari Apartemen The Archies Sudirman, tubuh Affan digilas oleh roda kanan mobil itu. Teriakan histeris terdengar dari video yang direkam oleh warga di sekitar lokasi. Puluhan warga pun langsung mengejar mobil itu dengan sepeda motor untuk menuntut pertanggungjawaban sang sopir.
"[Mobilnya berjalan] lurus, ditubruk langsung, dia enggak lihat-lihat. Langsung dilindas, ditabrak aja," tutur Rian, salah seorang saksi mata di lokasi kepada reporter Tirto, tragedi Kamis malam itu.
Setelah insiden itu, massa tetap bertahan di kawasan Benhil. Batu, kayu, hingga petasan tetap dilemparkan massa ke arah polisi. Pada pukul 20.33 WIB, massa dan polisi sempat menyetop bentrokan.
Mereka saling bersalaman, bernyanyi, dan berfoto bersama. Massa dan polisi lalu mundur secara perlahan menuju perempatan Benhil. Namun, di sana bentrokan kembali pecah setelah massa dari Jalan Penjernihan II kembali melancarkan serangan ke arah polisi.
Setelah insiden itu, polisi menjadi semakin beringas. Gas air mata ditembakkan ke segala sisi Jalan Penjernihan I. Langit dipenuhi oleh asap putih yang menyesakkan pernapasan. Massa melarikan diri ke gang-gang.
Ratusan massa yang panik bersembunyi di sebuah taman yang ada di jalan itu. Beberapa sepeda motor milik warga berjatuhan, karena tertabrak massa yang lari tak beraturan.
Motor-motor Brimob juga menyisir massa hingga ke Jalan Administrasi II. Di sana, mereka berkali-kali menembakkan gas air mata. Padahal, jalan itu merupakan kawasan padat penduduk yang banyak aktivitas warga di dalamnya.
Sejumlah warga yang tinggal di rumah susun (rusun) Flat Benhil juga terdampak serangan gas air mata polisi. Salah seorang warga menuturkan, ia melihat tetangganya yang sudah lansia mengalami sesak nafas akibat menghirup asap gas air mata.
“Itu orang-orang tua sampai sesak, kasihan,” kata seorang pria yang tinggal di Flat Benhil kepada reporter Tirto.
Represi Polisi di DPR
Sejak Kamis siang, aparat kepolisian sudah menyerang massa yang berada di sejumlah titik aksi. Di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senayan, Jakarta Pusat, polisi sudah menembakkan meriam air (water cannon) ke arah massa sejak pukul 15.30 WIB.
Kawasan depan Gedung DPR yang semula dipadati massa dari kelompok buruh, mulai berganti dengan massa dari kelompok mahasiswa pada sekira pukul 14.00 WIB. Mereka mulai melemparkan berbagai barang hingga petasan ke arah Gedung DPR. Polisi pun membalas dengan menembakkan gas air mata.
Di area belakang Gedung DPR, atau tepatnya di Gerbang Pancasila, bentrokan antara massa dan polisi juga tak terhindarkan. Hingga pukul 17.30, bentrokan terus melebar hingga ke Jalan Asia Afrika.
Selain menggempur massa dengan gas air mata, wartawan Tirto menyaksikan polisi menangkap tiga orang di Jalan Asia Afrika. Setelah ditangkap, mereka lalu digiring ke barisan belakang barikade polisi. Tak hanya menangkap, polisi juga memukuli massa dengan pentungan.

Di seberang Pintu 1 Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) misalnya, seorang pria tampak dipukuli oleh sejumlah polisi. Salah satu polisi mengenakan seragam lengkap dengan tamengnya, sementara polisi-polisi lainnya berpakaian sipil. Pria itu dipukul dengan pentungan, helm, sampai ditendang dengan sepatu.
Masih di kawasan yang sama, wartawan Tirto juga menemukan sebuah bungkus gas air mata milik polisi yang sudah kedaluwarsa. Pada bungkus yang berserakan di jalan itu, tertulis keterangan tear gas shell atau gas air mata. Pada bungkus itu juga tertulis, "exp." atau kerap disebut expired date pada April 2023.
Reporter Tirto telah berupaya mengonfirmasi terkait penggunaan gas air mata kedaluwarsa itu kepada Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, maupun Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho, namun masih belum ada respons.
Kemarahan Warga Memuncak di Hari Jumat
Serangkaian kekerasan yang dilakukan oleh polisi kepada massa aksi bukan hanya terjadi pada hari Kamis. Sejak aksi demonstrasi pada Senin (25/8/2025), polisi juga kerap menggunakan cara-cara kekerasan dalam memukul mundur massa. Polisi bahkan menahan 351 massa yang terlibat pada aksi hari Senin di Mapolda Metro Jaya. Dari 351 massa, 196 di antaranya masih anak-anak.
Penahanan ratusan massa aksi itu dinilai cacat hukum oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Polda Metro Jaya mengeklaim bahwa penahanan itu ditujukan untuk proses pendataan. Meski begitu, Asisten Pengabdi Bantuan Hukum Lembaga Badan Hukum (LBH) Jakarta, Daniel Winarta, menyebut bahwa proses pendataan itu sebenarnya tidak termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Terdapat berbagai kecacatan proses hukum di dalamnya [saat penangkapan para massa aksi]. KUHAP tidak mengenal istilah pendataan,” kata Daniel saat dihubungi reporter Tirto.
Akibatnya, kemarahan publik atas tindakan represif aparat kepolisian semakin memuncak pada Kamis malam hingga Jumat (29/8/2025) dini hari. Pada Kamis malam, sekira pukul 22.00 WIB, ratusan pengemudi ojol memadati area sekitar Markas Komando (Mako) Brimob Polda Metro Jaya yang terletak di kawasan Kwitang, Senen, Jakarta Pusat.
Mereka datang ke sana untuk meluapkan kemarahan atas tewasnya rekan mereka, Affan, beberapa jam sebelumnya. Ironisnya, polisi kembali menembakkan gas air mata ke arah massa ojol. Akibatnya, bentrokan pun tak terelakkan.
Massa melemparkan berbagai barang ke arah Mako Brimob. Situasi di Jalan Kramat Kwitang semakin mencekam. Bentrokan terus berlangsung hingga Jumat pagi. Pada Jumat pagi, wartawan Tirto memantau ada 10 mobil polisi yang dibakar massa di depan Mako Brimob.

Bentrokan sempat mereda setelah sejumlah personel TNI mengajak massa untuk berdialog dan menghentikan pelemparan kepada petugas di Mako Brimob.
Namun, eskalasi bentrokan kembali meningkat di depan Mako Brimob setelah ibadah salat Jumat. Massa ojol mulai kembali berdatangan dari arah Jalan Habib Ali Kwitang pada sekira pukul 13.38 WIB untuk mengepung Mako Brimob.
“Pembunuh! Pembunuh! Pembunuh!” begitu bunyi yel-yel yang terus diteriakkan massa ojol.
Situasi kembali kaos setelah para anggota Brimob menembakkan gas air mata secara membabi buta ke arah massa dari dalam Mako pada pukul 14.47. Selain menembakkan gas air mata, mereka juga melempari massa ojol menggunakan batu. Tak hanya massa ojol, puluhan personel TNI yang mendampingi massa juga terdampak serangan gas air mata Brimob. Beberapa dari mereka tampak memiliki mata merah dan terbatuk-batuk.
Pukul 16.20, sebuah gedung berwarna putih di Jalan Habib Ali Kwitang juga terbakar. Asap hitam membumbung tinggi dari dalam gedung tersebut. Satu pria sempat terjebak di lantai dua gedung, sebelum akhirnya berhasil keluar setelah aparat TNI memotong teralis besi.
Hingga Jumat malam, massa masih bertahan di kawasan Kwitang dan Senen. Pukul 21.30 WIB, sekelompok orang membakar Halte Senen Toyota Rangga. Meski halte telah terbakar, massa tetap merusak halte tersebut dengan melempar batu. Sekitar pukul 21.40, ada orang tak dikenal yang melempar pintu bangunan Halte Senen dengan molotov.
Di Jakarta, situasi kaos tak hanya terjadi di Kwitang dan Senen. Hingga Sabtu (30/8/2025) dini hari, titik api masih tersebar di penjuru Ibu Kota. Pos Polisi Kalibata, Pos Polisi Sudirman, Pos Polisi Slipi, hingga tujuh Halte Transjakarta, menjadi beberapa objek fasilitas umum yang dibakar massa pada hari Jumat.

Eskalasi kemarahan publik pada Kamis hingga Jumat menunjukkan bahwa kematian Affan bukan hanya sekadar kecelakaan belaka. Insiden pelindasan Affan oleh rantis Brimob itu menjadi akumulasi kemuakan publik atas kekerasan aparat kepolisian yang terus terjadi berulang kali.
Sebelumnya, Kapolri, Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, memastikan proses penegakan hukum terhadap tujuh anggota Brimob yang terlibat insiden meninggalnya Affan Kurniawan, akan dilakukan secara transparan dan rampung dalam sepekan.
Menurut Kapolri, penyelesaian kasus ini menjadi prioritas agar masyarakat mendapat kepastian hukum sekaligus menjawab keresahan publik. Selain sidang etik, jenderal polisi bintang empat ini menegaskan, tidak menutup kemungkinan langkah hukum lain ditempuh jika ditemukan kesalahan yang harus diproses secara tegas.
“Proses penanganan oleh Propam sudah berlangsung dan saya sudah perintahkan dilaksanakan secara maraton. Kemarin sudah disampaikan, dalam waktu satu minggu sidang etik harus siap digelar,” kata Kapolri didampingi Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto, di Bojongkoneng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, setelah keduanya pulang dari kediaman Presiden Prabowo, Sabtu (30/8/2025)
Kendati begitu, Kapolri justru menyatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto memerintahkan dirinya dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto untuk mengambil langkah tegas menghadapi aksi anarkistis yang terjadi di sejumlah daerah.
Sigit berpendapat, aksi unjuk rasa yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia dalam dua hari terakhir berubah menjadi kerusuhan dengan pembakaran gedung, fasilitas umum, hingga penyerangan markas kepolisian.
“Arahan Presiden jelas, khusus untuk tindakan-tindakan anarkis, TNI dan Polri diminta mengambil langkah tegas sesuai dengan undang-undang,” tegas Listyo.
Evaluasi Institusi, Tagih Reformasi Polri
Perintah presiden Prabowo yang meminta Polri dan TNI bertindak tegas di lapangan, agaknya menjadi rawan diterjemahkan aparat pengamanan sebagai legitimasi kekerasan terhadap demonstran. Alih-alih meredakan eskalasi bentrokan, langkah ini amat jauh dari janji penanganan yang humanis dan terukur.
Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menilai seharusnya demonstran dijamin kebebasannya dalam menyampaikan pendapat, bukan dianggap sebagai musuh Pemerintah.
Kekerasan yang terjadi merupakan imbas tindakan yang berlebihan oleh aparat kepolisian sehingga harus dimintai kejelasan pertanggungjawabannya. Proses hukum terhadap pelaku kekerasan khususnya yang mengakibatkan korban meninggal dunia harus dilakukan secara holistik dan transparan.
Menurut Julius, kekerasan yang terjadi adalah preseden buruk yang merusak nilai-nilai demokrasi dan negara hukum. Dalam negara hukum sudah semestinya penanganan aksi massa dilakukan sesuai prosedur dan aturan hukum yang berlaku. Termasuk tahapan penanganan berbasis eskalasi.
Sementara itu, Komnas HAM mencatat, pada aksi unjuk rasa tertanggal 25 Agustus 2025 dan 28 Agustus 2025, pihak kepolisian diperkirakan sudah menangkap setidaknya 900 orang. Polisi menangkap 351 orang pada aksi 25 Agustus, yang kebanyakan adalah anak-anak. Sementara pada aksi unjuk rasa tertanggal 28 Agustus, pihak kepolisian diduga menangkap 600 orang.
Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menilai terdapat dugaan kuat tindakan penangkapan secara sewenang-wenang dengan dalih pengamanan oleh kepolisian yang merupakan pembatasan kebebasan bergerak (deprivation of liberty).
Anis menduga kuat juga dilakukan penggunaan kekuatan yang berlebih (excessive use of force) oleh aparat dalam penanganan aksi unjuk rasa. Itu juga yang menyebabkan Affan Kurniawan meninggal dunia, karena ditabrak dan dilindas oleh rantis Brimob.

Karenanya, Komnas HAM meminta agar Polri dan TNI bekerja secara efektif, profesional dan mengedepankan keselamatan warga sipil serta mengoordinasikan situasi dengan jajaran pemerintahan terkait. Selain itu, pemerintah, DPR dan semua pihak perlu membuka ruang partisipasi, kritik, dialog dan aspirasi dari masyarakat serta menghindari pernyataan dan tindakan yang berpotensi menimbulkan keresahan publik.
“Diduga kuat terdapat ratusan korban mengalami luka-luka akibat kekerasan dalam upaya pengendalian massa oleh aparat kepolisian, dan adanya penangkapan dan atau penahanan sewenang-wenang terhadap para pengunjuk rasa,” kata Anis dalam keterangannya, Jumat (29/8).
Polri Habiskan Rp1,93 Triliun untuk Beli Rantis
Di sisi lain, Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama dengan Trend Asia dan KontraS melakukan penelusuran terhadap pembelian kendaraan khusus dan kendaraan taktis yang dibeli oleh Kepolisian RI untuk pengamanan massa aksi. Penelusuran ini dilakukan untuk melihat bagaimana Polri mengelola keuangannya, khususnya kendaraan taktis dan khusus.
Penelusuran ini juga dilakukan untuk melihat berapa jumlah uang pajak yang digunakan oleh Kepolisian untuk melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil.
Dari tahun 2020 hingga 2024, setidaknya Polri mengeluarkan Rp1,93 triliun untuk pembelian kendaraan taktis dan kendaraan khusus dengan total 98 unit. Harga per unit dari masing-masing kendaraan taktis dan khusus ini ada dalam rentang Rp3 miliar hingga Rp75 miliar.
Sementara kendaraan rantis milik Polri yang digunakan untuk melindas Affan dalam peristiwa 28 Agustus 2025 malam diduga diimpor dari Korea Selatan. Produsen rantis itu adalah Daeji Precision & Industries Co Ltd (Daeji P&I) dengan model Tambora.
Model ini banyak digunakan polisi di Indonesia. Rantis lain dari Daeji P&I yang digunakan Polri adalah Armored Water Cannon (AWC) serta model DAPC-2.

Berdasarkan pelacakan melalui data perdagangan global, produk dari Daeji juga termasuk sparepart kendaraan rantis tersebut. Total nilai impor kendaraan dan sparepart dari Daeji ke Indonesia mencapai US$63,8 juta setara Rp1,05 triliun dalam periode 2019-2023.
Transaksi tersebut mencakup 154 unit kendaraan taktis dan sparepart. Ini tidak termasuk transaksi lain yang terjadi pada periode sebelumnya. Nilai ini setidaknya 50 persen dari nilai pengadaan rantis Polri pada periode 2020-2024 di atas.
Menurut Peneliti ICW, Erma Nuzulia, pada 7 Juli 2025 Polri meminta tambahan anggaran sebesar Rp63,7 triliun. Total rencana anggaran ini disetujui oleh Komisi III DPR pada 15 Agustus 2025, sehingga total anggaran Kepolisian RI pada 2026 sebesar Rp173,47 triliun.
Aturan pengamanan aksi massa secara proporsional dan profesional sebenarnya sudah jelas dalam Peraturan Kepala Kepolisian No.1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Problemnya, selama ini implementasi aturan tersebut masih jauh dari ketentuan.
Peneliti bidang kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai pelanggaran terus terjadi karena tidak adanya sistem yang memastikan peraturan dijalankan dengan disiplin dan benar.
Selama ini bahkan Polri cenderung permisif pada pelanggaran. “Ada pembiaran tanpa adanya punishment yang berarti bagi personel yang melanggar atau atasannya sesuai Peraturan Kapolri tentang Waskat,” ucap Bambang kepada wartawan Tirto, Sabtu (30/8).
Permintaan maaf atau santunan terhadap korban kekerasan Polri saja tidak cukup, bila tidak disertai dengan perbaikan sistem. Menurut Bambang, negara harus melakukan evaluasi secara total terhadap Polri. Termasuk kepada Kapolri sebagai pihak yang diberi mandat oleh negara.
Pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat seharusnya menjadi pokok pikiran semua anggota Polri di atas kamtibmas maupun penegakan hukum. Karenanya hakikat Polri adalah alat negara, bukan alat kekuasaan.
Penekanan pada paradigma tersebut harus menjadi pedoman dalam pengamanan aksi maupun tindakan kepolisian yang lain. Sehingga muncul kesadaran bahwa posisi Polri harus bersama rakyat, bukan menggebuk dan memperlebar jarak dengan rakyat.
“Kepada tugas pemerintahan, Polri seharusnya memposisikan sebagai pendukung, bukan sebagai alat utama,” ujar Bambang.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































