tirto.id - “Kata dokter karena umur saya tak lagi muda, makanya langsung dianjurkan bayi tabung.”
Arnita Rosiana, seorang humas di salah satu bank swasta nasional Indonesia, menceritakan usahanya menjalani bayi tabung di salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Saat pertama kali berkonsultasi masalah kehamilan, umur Nita memang sudah menginjak kepala tiga.
Nita pun manut pada anjuran sang dokter. Ia ikut program bayi tabung. Ia beruntung karena memiliki dana untuk mengakses terapi ini. Selain mahal, ada kemungkinan terapi ini gagal. Soal ini, Nita lagi-lagi bersyukur: sekali terapi, program bayi tabungnya berhasil.
“Ada mungkin habis Rp100 juta kalau ditotal-total. Karena kan enggak sekali datang langsung jadi, ada beberapa kali konsultasi, lalu disuntik, bolak-baliklah. Bayi mahal ini pokoknya,” ujarnya sambil mengelus perut dan terkekeh.
Bayi tabung merupakan salah satu terapi infertilitas yang paling populer. Padahal, ada beberapa terapi lain yang bisa menjadi pilihan mendapatkan keturunan.
Lalu kapan terapi infertilitas perlu dilakukan?
Kondisi ini dijelaskan oleh dr. Yassin Yanuar, MIB, SpOG. Dokter spesialis obstetri dan ginekologi dari RSPI ini mengatakan kondisi infertilitas terjadi ketika pasangan telah melakukan aktivitas seksual secara rutin dan benar selama setahun, tetapi belum memiliki keturunan. Rutin dan benar berarti dilakukan sebanyak 3-4 kali dalam seminggu, tanpa kontrasepsi, dan ejakulasi di dalam vagina.
Kehamilan dalam satu bulan pertama pernikahan dialami oleh 30 persen pasangan. Sebanyak 75 persen mendapatkan kehamilan pada enam bulan pertama. Dalam sebulan, perempuan memiliki peluang kehamilan sebanyak 30 persen.
“Sebanyak 85 persen pasangan akan hamil pada tahun pertama, 15 persen lainnya infertilitas,” kata Yassin.
Jika mengalami kondisi ini, pasangan bisa langsung memeriksakan dirinya ke dokter spesialis obstetri dan ginekologi. Selanjutnya, dokter akan melakukan analisis sperma pada pria, memeriksa jumlah, kemampuan gerak, dan bentuknya. Pada perempuan, yang diperiksa adalah kondisi rahim dan indung telur akan diperiksa dengan Ultrasonography (USG) dan Histerosalpingografi (HSG).
Inseminasi buatan dapat menjadi salah satu terapi infertilitas yang disarankan. Tindakan ini mempermudah pembuahan dengan memasukkan sperma langsung ke serviks, saluran tuba, atau rahim. Sperma disemprot menggunakan tabung tipis yang disebut kateter. Tujuannya membuat perjalanan menuju sel telur jadi lebih pendek. Pada terapi ini, pembuahan tetap terjadi di dalam tubuh.
Namun, ada beberapa kondisi yang tidak memungkinkan pasangan melakukan inseminasi. Beberapa di antaranya adalah gangguan sperma berat seperti jumlah sperma terlalu sedikit, kemampuan berenang sperma bermasalah, dan cacat morfologi. Pada perempuan, tak boleh ada gangguan saluran telur seperti penyumbatan yang dapat menghalangi jalan sperma.
“Biasanya saya menyarankan terapi ini maksimal dilakukan hingga 4 kali, baru beralih ke [terapi] bayi tabung,” ujar dr. Yassin.
Mekanisme inseminasi dimulai dengan memberikan obat untuk membesarkan sel telur dan menebalkan dinding rahim. Obat ini bisa berbentuk cairan atau oral. Inseminasi dengan injeksi memiliki tingkat keberhasilan mencapai 20 persen, sedangkan dengan obat oral kemungkinannya jadi 8-10 persen. Sementara itu, inseminasi tanpa obat rangsang hanya memberi peluang sebesar 4 persen.
Jamaknya, sel telur mulai matang dan membesar 8-12 hari setelah pemberian obat. Dokter akan melakukan USG setiap dua hari sekali untuk melihat perkembangan sel telur. Baru kemudian memberi obat pematangan final, inseminasi dilakukan setelah 36 jam kemudian.
“Inseminasi pertama punya peluang 15-20 persen, akan bertambah jadi 45-50 persen di tahap keempat tanpa putus siklus.”
Peluang tersebut berlaku ketika inseminasi dilakukan tanpa jeda. Jika terapi gagal pada percobaan pertama, maka bulan berikutnya inseminasi ulang harus dilakukan, begitu seterusnya hingga empat kali percobaan. Perlakuan inseminasi ke-5 dst tak memiliki perubahan peluang signifikan sehingga pasangan bisa langsung beralih ke jenis terapi lain. Di RSPI, terapi inseminasi memakan biaya sekitar Rp3-4 juta.
Siapkan Biaya untuk Terapi Bayi Tabung
Dokter akan menyarankan terapi infertilitas dengan fertilisasi in vitro (IVF) atau bayi tabung ketika inseminasi tak membuahkan hasil. Metode ini menggabungkan telur dan sperma di laboratorium, dan pembuahan berlangsung di luar tubuh. Setelah embrio terbentuk, ia baru ditempatkan di rahim.
Teknik bayi tabung dapat diikuti individu dengan diagnosis endometriosis, rahim, saluran tuba, dan ovulasi bermasalah, atau antibodi yang membahayakan sperma atau telur. Bisa juga menjadi solusi pada pria dengan jumlah sperma rendah atau ketidakmampuan sperma menembus lendir leher rahim, serta masalah kesuburan yang tidak dapat dijelaskan.
Tingkat keberhasilannya dapat mencapai 40 persen, lebih tinggi dibandingkan terapi infertilitas lainnya. Sayang, karena biayanya cukup mahal, berkisar Rp40-60 juta, hanya sekitar 5 persen pasangan dengan infertilitas yang berani menjajal terapi ini.
“Kalau gagal ya diulang, tapi uang enggak kembali,” dr. Yassin berujar sambil tertawa.
Sama seperti inseminasi, mekanisme bayi tabung dimulai dengan memberikan obat pembesar telur dan penebal dinding rahim. Bedanya, pada terapi bayi tabung, obat yang diberikan berupa injeksi. Setelah matang, telur akan diambil menggunakan jarum berongga. Prosedur ini memakan waktu kurang dari 30 menit.
Setelahnya, sel telur akan dicampur dengan sperma di labolatorium dan diawasi pertumbuhannya. Perlu waktu sekitar lima hari sampai embrio mencapai tahap blastokista. Saat embrio siap, jamaknya dokter akan meletakkan lebih dari satu embrio ke dalam rahim dengan kateter. Tujuannya, untuk meningkatkan peluang kehamilan.
Tes kehamilan akan dilakukan dua minggu pasca transfer embrio. Pada terapi infertilitas manapun usia perempuan menjadi faktor paling menentukan. Seorang perempuan berusia di bawah 35 tahun memiliki peluang 40-50 persen kehamilan dengan terapi infertilitas. Peluang ini mengecil menjadi hanya 20-30 persen di atas 35 tahun.
“Semakin tua, peluang mendapatkan telur sehat akan semakin berkurang. Jadi baiknya setelah terdeteksi infertilitas, lakukan terapi sesegera mungkin,” saran dr. Yassin.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani