tirto.id - Pada 2006, usia Vincentia Yonna masih 19 tahun. Ia menikah dengan seorang polisi. Saat itu, Yonna menunda untuk punya anak lantaran harus menyelesaikan kuliah di Semarang. Empat tahun kemudian, ia tak kunjung hamil dan memutuskan untuk memulai program memiliki anak.
Rumah sakit pertama yang dituju ialah Sam Marie, rumah sakit ibu dan anak di Jakarta. Di sana, ia dinyatakan memiliki miom dan kista. Dokter menyarankan untuk operasi, tapi Yonna tidak mengindahkan kata dokter. Ia memilih untuk melakukan cara-cara yang lebih “alami” seperti akupunktur, refleksi, dan minum jamu.
Setahun kemudian, kista dan miom itu semakin membesar. Ia harus menjalani operasi laparotomi. Namun, setahun setelah operasi, belum juga ada tanda-tanda kehamilan. Ia memutuskan untuk berobat ke rumah sakit yang bisa mendeteksi Antisperm Antibody Test. Ia lalu datang ke Brawijaya Women and Children Hospital.
Hasil tes menunjukkan Yonna memiliki tingkat antibodi tinggi yang mematikan sperma suami. Ia harus menurunkan level antibodinya. Cara yang ditempuh ialah menyuntikkan sel darah putih suami setiap tiga minggu.
Yonna harus berusaha keras untuk melakukan perawatan tersebut, karena ia tidak tinggal di Jakarta. Saat itu suami tengah dinas di Pekanbaru, Riau. Selama ada di Pekanbaru, Yonna enggan tinggal diam. Ia menemui dokter lain sambil meyakini bahwa semakin banyak cara yang dilakukan, semakin terbuka peluang untuk hamil.
Dokter di sana memberi saran yang berbeda. Ia meminta Yonna untuk berhubungan seks dengan suami setiap hari di hari ke-10 pasca-menstruasi.
“Di sini sebenarnya yang kasihan suami saya. Sudah capek kerja tetapi masih harus berhubungan [seks],” kata Yonna. Ternyata, ketika mereka melakukan itu, Yonna berhasil hamil.
Saat itu, ia harus terbang lagi ke Jakarta untuk perawatan menguatkan Rahim. Dokter di Pekanbaru melarangnya untuk terbang. Dua minggu kemudian, Yonna keguguran. Ia menangis, tapi belum putus asa.
“Yang paling menguatkan saat itu adalah kata-kata orangtua. Mereka bilang, berarti saya bisa hamil alami.”
Setahun kemudian, Yonna kembali ke Brawijaya dan mengunjungi dokter yang berbeda. Dokter memberi sang suami vitamin untuk menguatkan sperma. Yonna tetap berulang kali suntik untuk menstabilkan antibodi. Ia juga melakukan inseminasi tetapi belum berhasil.
“Saya capek,” katanya.
Ia kemudian berhenti melakukan segala perawatan dan fokus pada kegiatan sehari-hari sebagai pengurus Bhayangkari (perkumpulan isteri polisi). Pertanyaan- pertanyaan dari rekan sepaguyuban kerap ia dengar.
“Untungnya tidak mengganggu. Justru memberi perhatian dengan meminta saya cuti dari kegiatan Bhayangkari dan membagi waktu dengan program punya anak.”
Di 2015, Yonna ingin mencoba untuk punya anak lagi. Ia ingin mencoba bayi tabung di RSIA Bunda Jakarta. Saat itu, dokter meminta Yonna untuk menyuntik perutnya setiap hari.
“Saya tidak berani menyuntik sendiri jadi saya memanggil perawat ke rumah atau saya pergi ke rumah sakit untuk minta tolong disuntik. Kadang ibu saya juga jadi ‘perawat’,” katanya.
Cara itu masih belum membuahkan hasil. Yonna memutuskan untuk istirahat lagi dari program yang ada.
Tahun ini, tepat 12 tahun pasca-pernikahan, ia kembali punya semangat untuk berusaha, meski suaminya mewanti-wanti agar tak terlalu keras berusaha.
“Tidak usah ngoyo,” Yonna menirukan ucapan suaminya.
Ia datang lagi ke rumah sakit pertama tempat ia berobat dulu. Lalu, Yonna menjalani program sambil mendengar dan membaca usaha dari para ibu untuk hamil, salah satunya Andra Alodita.
“Beautiful outside, dying inside”
Andra Alodita ialah seorang blogger gaya hidup. Sebelum menjadi blogger ia berprofesi sebagai fotografer lepas. Karya fotonya kerap tayang di sejumlah majalah gaya hidup di Indonesia. Pada Juni 2012, ia menikah dengan seniman Abenk Alter.
Setelah menikah, Andra tetap menjalani hari-hari sebagai fotografer dan Abenk memulai karier solo setelah lepas dari grup band Soulvibe. Mereka menjalani hari dengan santai, termasuk ketika Andra harus operasi organ tuba falopi di Rumah Sakit YPK Mandiri.
“Kata dokter terjadi pelengketan dan infeksi pada organ tuba falopi yang menghambat kehamilan,” kata Andra.
Waktu itu tahun 2013. Operasi terkesan berjalan lancar. Namun, kelainan terjadi satu bulan setelah operasi: Andra selalu merasa sakit hebat di hari kedua menstruasi.
“Saya sampai tidak bisa jalan dan sempat masuk UGD. Seminggu kemudian, saya datang untuk konsultasi dengan dokter yang lebih senior, tetapi dia minta saya datang saat sedang sakit. Menurut saya, hal ini tidak masuk akal,” kata Andra.
Delapan bulan setelah operasi tuba falopi, ia tidak hamil.
Pernyataan-pernyataan “Kamu sibuk banget, sih,” atau “Enggak usah terlalu mentingin karier. Uang kan bisa dicari,” semakin sering Andra dengar. Ini membuat emosinya meluap. Ia marah dan kecewa. Hampir setiap hari ia menangis.
“Saya marah sekali dengan [dokter] obgyn yang sudah mengoperasi tetapi tidak bertanggung jawab dengan pertanyaan-pertanyaan saya,” katanya.
Satu kali, ia pergi untuk menemani sang ibu berobat ke Penang. Di waktu luang, Andra tak sengaja melewati Loh Guan Lye Specialist Center. Ia iseng mendatangi rumah sakit tersebut. Tak disangka, ia langsung mendapat nomor antrean. Ia diminta datang beberapa jam kemudian untuk bertemu dengan Dr. Devindran. Andra mengambil catatan medisnya yang kemudian ia bawa ke Penang.
Ia lemas mendengar penjelasan dokter yang menyatakan bahwa infeksi pada tuba falopi telah menyebar dan ada polip di rahim.
“Dokter di RS YPK Mandiri tidak membahas soal hal ini. Soal alat-alat yang dipakai untuk operasi, memang harganya mahal sekali. Tapi alat-alat tersebut bukan berarti alat yang terbaik. Selain itu, ada satu obat yang ditaruh di tuba falopi saya saat operasi laparoscopy. Ternyata obat itu tidak diperlukan. Saya dan suami membayar obat tersebut senilai Rp8 juta for nothing!”
Rasa pesimistis itu berlipat ganda saat dokter mengatakan kemungkinan Andra untuk bisa hamil secara normal hanya 5 persen saja.
“Umur saya masih 27 tahun dan kasus ini jarang terjadi. Saat itu, saya merasa sendiri. Tidak ada teman seperjuangan yang merasakan hal yang sama. Waktu itu saya belum menemukan kelompok sharing ibu-ibu tentang ini. Saya meraung-raung di pelukan Abenk. Curhat ke orangtua dan beberapa teman dekat. Tapi tetap saja, saya depresi,” Andra meluapkan perasaannya.
Suatu kali, dokter pernah mengucap kalimat: “You are beautiful outside but dying inside, karena ragam operasi yang harus dijalani."
Setelah bertemu dokter, Andra kembali ke Jakarta. Ia bercerita kepada Abenk bahwa operasi harus dilakukan secepatnya sebelum infeksi semakin menyebar. Abenk, yang saat itu tengah dalam proses merampungkan album pertama, meninggalkan pekerjaan untuk menemani Andra berobat.
Andra memberi pengumuman ke sejumlah rekan bahwa ia cuti untuk fokus pada program ini. “Kami mengorbankan banyak hal. Waktu, pekerjaan, karier, finansial,” tutur Andra.
Setelah operasi, Andra dan Abenk memutuskan untuk menjalani program bayi tabung. Untuk hal ini, mereka harus pulang-pergi Jakarta-Penang selama 3 bulan. “Abenk sangat sabar. Ia membuat saya tenang. Penang juga lokasi yang membuat pikiran relaks, tidak seperti Jakarta.”
Program bayi tabung Andra berhasil. Ada 13 sel telur yang dihasilkan dari program tersebut. Ini melampaui ekspektasi dokter. Dua minggu setelah transfer embrio, Andra dinyatakan hamil. Ia merayakan hal itu dengan makan bersama keluarga inti dari dokter yang menanganinya.
“Perjuangan saya untuk hamil ini panjang dan sangat melelahkan,” ucapnya.
Ada kerabat dekat yang memintanya untuk membuat blog berisi kisah perjuangan. Andra menolak. Pertama, ia belum begitu siap membagi pengalaman yang sangat pribadi. Kedua, ia tidak ingin dicap sebagai tukang curhat di media sosial. Ketiga, belum tentu orang lain bisa memahami apa yang dia rasakan.
Dorongan untuk membuat blog tetap kuat. Akhirnya, Andra mulai menulis ceritanya. Beberapa waktu setelah ia mengunggah kisah, followers di akun media sosial Andra dan Abenk bertambah sekitar 6.000 orang dalam waktu satu minggu. Muncul teman-teman virtual yang mengontak Andra untuk berterima kasih karena berbagi kisah dan bertanya lebih lanjut.
Kini anak perempuan Andra, Aura Suri Mariteya, akan menginjak usia ketiga. Andra dan Abenk tidak menutup kemungkinan untuk memiliki anak lagi. “Kisah ini ternyata menginspirasi. Saya berinteraksi dengan ibu-ibu luar biasa yang punya pengalaman yang saya pikir lebih berat dari saya.”
Hamil Bareng Sahabat
Andra menyebut nama Dhea, seorang guru musik. Di tahun kelima pernikahan, yakni 2014, Dhea membaca kisah Andra. Setelahnya, ia pergi ke Penang untuk melakukan bayi tabung dengan dokter yang sama. Seperti Andra, program bayi tabung Dhea berhasil.
Namun, selama masa kehamilan, ia harus menyuntik perutnya setiap hari. “Ketika perut sudah membesar, rasanya sakit sekali apalagi kalau bayi tiba-tiba menendang ketika saya hendak suntik. Rasanya seperti digebuk,” kata Dhea. Saat itu, satu kali suntik membutuhkan biaya sekitar Rp200.000.
Ia menjalani program bayi tabung dalam kondisi pasrah. Sebelumnya, Dhea sudah mulai melakukan program untuk memiliki anak sejak 2012. Saat itu usianya 25 tahun. Ia mendatangi Sam Marie karena mendengar rumah sakit itu punya pelayanan yang baik. Selagi menunggu panggilan dokter, ia berbincang dengan sesama pasien. Dhea sempat heran, mengapa sebagian besar pasien yang dia tanya memiliki diagnosis yang sama.
Saat itu, Dhea didiagnosa mengidap alergi sperma. Ia lantas berkonsultasi dengan sejumlah dokter lain di tempat berbeda. Sang suami yang punya kecenderungan “anti-dokter” menurunkan egonya untuk menemani Dhea berobat ke sana-sini. Setiap dokter punya diagnosis masing-masing. Diagnosis lain: sel telur Dhea terlalu kecil. Ia lantas menempuh cara seperti akupunktur dan inseminasi. Keduanya tidak berhasil.
“Tahun pertama program punya anak rasanya berat. Setiap pulang dari dokter, saya nangis. Saya malas kumpul-kumpul dengan teman. Saya merasa kesal karena belum kunjung menemukan titik terang. Keluarga pun sudah kerap menanyakan,” katanya.
Satu diagnosis yang pasti ialah Dhea mengidap kista di dalam rahim. Ia bercerita bahwa dulu dirinya kerap merasakan sakit saat sedang mens dan harus dilarikan ke UGD. Dokter tidak menyarankan Dhea untuk operasi karena terlalu riskan. Selain kista, Dhea memiliki masalah kekentalan darah. Hal ini yang membuat ia harus suntik setiap hari selama hamil. Bila tidak, pasokan makanan untuk bayi akan terhambat.
“Saat awal kehamilan, bayi saya tidak terlihat karena darah kental dan juga ada kista. Selama di kandungan, berat tubuhnya sulit sampai di angka normal walau saya sudah suntik. Dokter sempat berkata bahwa ia [janin] akan sulit untuk bertahan karena ada banyak kista di rahim saya dan ia juga sempat terlilit usus,” cerita Dhea.
Akhirnya, bayi itu lahir selamat, bersamaan dengan kelahiran anak dari sahabat Dhea. Mereka berdua memutuskan untuk menjalani program bayi tabung bersama-sama.
“Selama pengobatan di Penang kami tinggal bersama. Agenda berobat lebih terasa seperti agenda liburan. Rasanya menyenangkan, apalagi kami sama-sama berhasil,” kenang Dhea dengan nada suara ceria.
Ia mengatakan banyak kisah lain yang lebih berat darinya. Ada kawannya yang "disidang" oleh anggota keluarga karena tak kunjung punya anak. Cerita serupa ia dapatkan dari komunitas bayi tabung, platform berbagi yang dilakukan para ibu via Facebook.
Di sana, ada cerita seorang ibu yang telah 5 kali menjalani program bayi tabung di sejumlah negara seperti Australia, Kuala Lumpur, Singapura. Tindakan sujud syukur saat mendengar berhasil hamil bukanlah hal langka.
Bagi mereka, kehamilan adalah keajaiban. Untuk Dhea khususnya, anak ialah pengingat untuk selalu menjadi manusia yang lebih baik, karena hal itu layak diperjuangkan.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Maulida Sri Handayani