tirto.id - Generasi Z dan penerusnya, atau mereka yang lahir setelah tahun 1995, disebut-sebut sebagai digital native. Macam-macam hal dalam kehidupan mereka banyak dipengaruhi oleh informasi yang didapatkan dari dunia digital, mulai dari cara berpikir, selera, sampai cara berinteraksi dengan sesama pengguna internet.
Akan tetapi, pada saat mereka begitu lekat dengan internet, tidak serta merta setiap anak muda generasi ini sadar belantara macam apa yang sedang mereka jelajahi.
Salah satu bahaya yang telah menanti anak-anak dan remaja ketika memasuki “hutan virtual” adalah pelanggaran privasi. Tanpa bekal literasi digital dan kesadaran akan pentingnya menjaga privasi, mereka akan mudah terserang risiko-risiko mulai dari penyalahgunaan informasi pribadi hingga cyberbullying.
Pada 2014 silam, McAfee membuat studi Teens and the Screen study: Exploring Online Privacy, Social Networking and Cyberbullying. Terkait isu privasi di internet, temuan McAfee menunjukkan, 50 persen remaja dan pra-remaja membagikan alamat e-mailnya, 30 persen membagikan nomor teleponnya, 14 persen membagikan alamat rumahnya, 39 persen tidak mengaktifkan setelan privasi pada akun media sosialnya, dan 52 persen mengaktifkan fitur GPSnya sehingga mempermudah orang-orang asing menemukan mereka.
Sekalipun 77 persen dari mereka mengetahui bahwa apa yang telah dipublikasikan secara online tidak dapat terhapus dan 80 persen dari mereka pernah memperbincangkan tentang keamanan dalam menggunakan internet dengan orangtuanya, hal ini tidak serta merta mengerem perilaku menyebarkan informasi privat mereka di dunia digital.
Penyebaran informasi pribadi di internet oleh anak-anak dan remaja ini dapat bermula dari kebutuhan mereka untuk mengekspresikan diri. Menurut Dhyta Caturani, aktivis hak-hak digital dan pelatih keamanan digital, di ruang digital, terutama media sosial, anak dan remaja merasakan keleluasaan lebih untuk menampilkan diri mereka dibandingkan di kehidupan nyata.
Macam-macam cara mengekspresikan diri—dalam rangka mendapatkan afirmasi berupa likes dan komentar yang memompa penilaian diri—bisa mereka lakukan di media sosial, salah satunya adalah membagikan sebanyak mungkin detail tentang diri dan pengalaman mereka. Sayangnya, ketika melakukan hal ini, anak dan remaja kerap tidak paham bahwa tindakan mereka dapat berdampak buruk di masa depan.
“Ketidaktahuan anak dan remaja tentang bagaimana data dan informasi mereka bisa digunakan oleh pihak lain untuk kepentingan tertentu sering kali membahayakan keselamatan mereka,” ungkap Dhyta.
Pada Juli 2017 silam, seorang remaja putri berinisial UE asal Palembang sempat memublikasikan foto alat kelaminnya secara eksplisit di Facebook. Sekitar 1.600 orang telah membagikannya ketika itu, seiring dengan lebih dari 9.000 komentar berisi cemooh, olok-olok, dan menggoda si pengunggah.
Dari banyaknya komentar untuk foto UE saja dapat tertangkap adanya perundungan online terhadap remaja tersebut setelah ia mengumbar bagian privatnya di media sosial. Celakanya, kendati post UE telah dihapus lantaran beberapa pihak membuat laporan ke Facebook, bukan berarti jejak informasi pribadi yang pernah diunggahnya lenyap begitu saja di dunia digital.
Ancaman munculnya kembali foto tersebut dapat muncul tanpa diduga di kemudian hari. Tidak hanya bagi diri UE, risiko pun mesti siap ditanggung oleh keluarga atau pihak lain yang terkait dengannya.
Baca juga:Memandang Remaja Pengunggah Konten Porno dari Sisi Lain
Untuk tetap dapat mengekspresikan diri tanpa mencederai privasinya, anak dan remaja perlu mengenal literasi digital. Di sini, orangtua atau orang-orang dewasa di sekitar mereka dapat mengambil peran untuk memberikan edukasi tentang sisi negatif ruang digital, termasuk berbagai risiko dan bahaya yang mungkin mereka hadapi.
“Bahaya dan risiko [pelanggaran privasi] bisa datang dari mana saja dan dari aspek apa saja. Aktor pelakunya pun beragam, bisa korporasi, negara, kelompok, maupun individu,” imbuh Dhyta.
Baca juga:Agar Anak Tidak Terpapar Bahaya Konten Internet
Edukasi Butuh Strategi
Pada saat orangtua hendak turun tangan menjaga privasi anaknya, tidak berarti mereka dapat sepenuhnya mengintervensi aktivitas mereka di dunia digital. Ada kalanya tindakan orangtua saat mengawasi kegiatan online anaknya justru merupakan bentuk pelanggaran privasi.
“Memeriksa gawai anak seperti HP dan komputer secara diam-diam adalah bentuk pelanggaran privasi yang dapat dilakukan orangtua. Akibatnya akan buruk bila si anak akhirnya mengetahui tindakan orangtua seperti ini. Mereka justru tidak akan pernah belajar menghargai privasi bila pelanggaran privasi dinormalisasi dalam kehidupan sehari-hari,” jabar Dhyta.
Sebagian orangtua yang terlalu khawatir akan penyalahgunaan informasi pribadi anaknya bisa saja memilih membatasi total kegiatan online si anak. Namun, menurut Dhyta, pelarangan aktivitas online tertentu malah akan mendorong anak-anak untuk melakukannya.
Pendekatan edukasi tentang privasi digital perlu disesuaikan pula dengan usia anak. Orangtua bisa mengaktifkan fitur parental control serta mendampingi anak di bawah usia remaja ketika berselancar di dunia digital. Jika anak telah memasuki tahap usia remaja, orangtua dapat memilih pendekatan komunikasi yang berbeda, misalnya dengan mengajak mereka berbincang tentang konten-konten yang diakses di internet serta data personal apa yang boleh diunggah di sana.
“Pendekatan seperti ini memang membutuhkan waktu lebih, tetapi efektivitasnya bagi remaja akan lebih long lasting,” kata Dhyta.
Selain mengajarkan anak tentang pentingnya menjaga privasi sendiri, orangtua perlu pula menyampaikan kepada mereka untuk tidak sembarangan mengunggah informasi pribadi orang lain tanpa persetujuan yang bersangkutan. Informasi pribadi itu dapat berupa foto, video, atau cerita personal yang bila terkuak, dapat mencederai citra orang lain atau bahkan membahayakan keselamatannya.
Orangtua Juga Harus Belajar
Rentannya privasi anak di dunia digital, ironisnya, dapat pula disokong oleh tindakan orangtua sendiri. Di era media sosial seperti saat ini, sharenting—tindakan membagikan foto dan informasi tentang anak oleh orangtua—adalah hal yang jamak ditemukan. Bagi sebagian orangtua, hal ini dianggap sebagai suatu kewajaran, tidak ubahnya dengan menyimpan dokumentasi momen-momen berharga di album foto keluarga.
Namun, yang sering kali luput diperhatikan, sekalipun akun media sosial yang orangtua miliki adalah akun pribadi, hal-hal yang mereka unggah di sana adalah konsumsi publik luas, apalagi bila akun mereka tidak terkunci.
Stacey Steinberg, profesor hukum dari Levin College of Law, University of Florida memberi perhatian khusus terhadap fenomena sharenting ini. Dalam tulisannya yang dimuat di Emory Law Journal (2017) ia mengisahkan tentang pengalaman seorang blogger yang memublikasikan online foto anak kembarnya saat belajar buang air. Malang, foto tersebut disalahgunakan orang asing sampai akhirnya tersebar di situs yang biasa diakses pedofil.
Contoh dari Steinberg ini merupakan salah satu contoh dampak terburuk dari memublikasikan hal privat terkait anak. Efek lain yang bisa dirasakan langsung oleh anak ketika tumbuh dewasa adalah saat menemukan foto memalukannya ketika bayi yang dipublikasikan orangtua di media sosial. Bisa saja hal ini menjadi bahan tertawaan orangtua dan teman-teman orangtuanya kala itu.
Namun, jejak di media sosial itu yang terus membekas sampai si anak tumbuh remaja dan dewasa ini bisa jadi bahan ejekan atau bahkan perundungan di kalangan teman-teman si anak saat mereka mendapati momen memalukannya saat kecil di internet.
Baca juga:Hobi Posting Foto Anak di Medsos: Baik atau Tidak?
Seiring dengan hal ini, Dhyta menyampaikan, “Di saat kita berfokus pada bagaimana mengajarkan anak dan remaja untuk mampu menghargai dan menjaga privasi mereka, kita tidak boleh melupakan pentingnya literasi digital bagi orangtua atau orang dewasa. Sering kali pelanggaran privasi terjadi ketika orangtua mengunggah foto atau video anak tanpa berpikir risiko yang bisa terjadi.”
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani