tirto.id - Jumat (28/7), seorang remaja putri berinisial UE yang berdomisili di daerah Palembang menyita perhatian pengguna Facebook lantaran memublikasikan foto genitalianya secara gamblang. Saat berita ini ditulis, lebih dari 18.000 orang telah memberikan reaksi terhadap foto UE, sekitar 1.600 orang membagikannya, dan lebih dari 9.000 komentar ada di publikasi UE. Cemooh, olok-olok, hingga komentar menggoda langsung muncul di unggahan tersebut. Sebagian orang kemudian melaporkan foto yang diunggah UE kepada Facebook, dan selanjutnya tak lagi dapat diakses karena diblokir.
Penyebaran gambar yang dilakukan UE di halaman Facebook-nya merupakan satu dari sekian banyak perilaku pendek akal yang ditemukan dalam media-media sosial para remaja. Banyak spekulasi mengapa remaja tak segan memublikasikan foto telanjang atau secara eksplisit menunjukkan genitalianya melalui media sosial, situs-situs pornografi, maupun melalui aplikasi pesan kepada orang-orang yang dikenalnya. Di Nova Scotia , Kanada, dilaporkan seorang remaja putri mau tak mau mengirimkan gambar bugil ke salah satu teman sekolahnya setelah merasa ditekan olehnya dan sekelompok teman lainnya. Gadis ini merasa, semakin ia menolak permintaan mengirimkan gambar bugilnya, semakin intens rumor yang disebarkan kelompok tersebut.
Banyak remaja berpikir bahwa mengirim gambar telanjang tanpa memperlihatkan wajah seutuhnya tidak akan membawa efek buruk apa pun, demikian ditulis Dr. Megan Maas, peneliti seksualitas dan teknologi dari Michigan State University, di Huffingtonpost . Ia menambahkan, remaja yang mengirim dan menerima gambar telanjang cenderung lebih populer. Hal ini mengafirmasi temuan di Kanada tadi yang menunjukkan betapa signifikannya tekanan kelompok pergaulan terhadap perilaku pornografis remaja.
Beberapa remaja putri juga mengirimkan gambar dirinya yang hanya mengenakan bra atau celana dalam dengan alasan hal tersebut membuat mereka merasa senang dan terlihat menarik.
“Sebenarnya, ekspresi seksualitas bukanlah hal yang abnormal ditemukan dalam diri remaja,” demikian ujar Catharine Lumby, profesor bidang media dari Macquarie University yang sejak 2012 meneliti soal seks, cinta, relasi, dan media sosial dalam diri remaja 13017 tahun.
Lumby menjelaskan, ponsel pintar dan media sosial memberikan kontribusi terhadap bagaimana remaja-remaja membentuk relasi dan identitas, salah satunya lewat foto telanjang. Begitu dekatnya media sosial dan pornografi, hampir tiap pengguna pernah melihat konten seksual yang eksplisit ketika mengaksesnya, papar Nancy Jo Sales yang menulis buku American Girls: Social Media and the Secret Lives of Teenagers.
Dalam survei tahun 2014 dari La Trobe University, Australia, yang dikutip oleh Lumby, dinyatakan bahwa 54% siswa menyatakan pernah menerima pesan teks berkonten seksual yang eksplisit, sementara 26% menerimanya dalam bentuk gambar. Separuh dari sekitar 25% siswa kelas 10, 30% siswa kelas 11, dan 50% siswa kelas 12 yang aktif secara seksual mengatakan mereka pernah mengirim foto atau video telanjangnya sendiri. Sementara, 70% dari siswa-siswa ini melaporkan sempat menerima gambar telanjang dari orang lain.
Memang, angka-angka ini merepresentasikan konteks budaya yang berbeda dengan Indonesia. Meski demikian, fenomena-fenomena gambar atau video porno yang diunggah para remaja menunjukkan bahwa hal ini telah merambah ke mana-mana, bahkan di negara yang wacana seksualitasnya dipinggirkan, terutama bagi kaum perempuan. Namun, alih-alih tergesa-gesa mengecam pengaruh internet, globalisasi, dan mengaitkannya dengan kerusakan moral, ada baiknya memandang para remaja yang mengunggah dari perspektif lain. Jamak ditemukan orang-orang yang mengecam dan memperolok mereka, tetapi bisa jadi cuma segelintir yang mencermati akar fenomena ini.
Jika asumsi remaja mengirim gambar telanjang lantaran ingin diterima teman sepergaulan, maka orang sekitarnya perlu memahami mengapa ia memiliki penilaian diri yang bergantung pada penilaian orang terhadapnya. Apakah ada cara lain untuk memompa penilaian dirinya selain dengan mengirim gambar telanjang?
Lantas, bila permasalahannya adalah tak terkendalinya arus informasi, termasuk paparan pornografi dari internet terhadap remaja, memutus koneksi seketika tentunya jadi pilihan konyol. Benar, orang-orang dewasa di sekitar para remaja perlu mengawasi mereka saat mengakses internet. Namun, perlu dipahami, pada saat beranjak remaja, mereka semakin membutuhkan ruang privat yang tak terintervensi orangtua atau kakak-kakak mereka.
Di samping itu, menurut psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo, dilihat dari tahapan usianya, remaja sedang bergelut dalam masa pubertas di mana terjadi perubahan secara fisik maupun emosi pada diri mereka. "Hal ini didorong oleh faktor hormonal, termasuk timbulnya dorongan seksual. Dorongan ini membuat mereka jadi ingin lebih tahu dan terdorong untuk menggali hal-hal yang berbau seksualitas," papar Vera kepada Tirto.
Pada masa-masa puber, nyaris mustahil untuk melarang remaja mengakses pornografi secara langsung. Semakin dilarang, makin tinggi rasa penasaran mereka. Yang mungkin dilakukan, membangun kesadaran mereka akan efek konten-konten yang mereka konsumsi. Mereka yang tak ragu membeberkan foto atau video telanjangnya sebenarnya merupakan "korban-korban" dari rendahnya sosialisasi mengenai literasi media.
Terkait kasus UE,Vera mengungkapkan pendapatnya, "Perilaku UE sangat mungkin dipicu oleh kurangnya pendidikan seks yang tepat tentang bagaimana semestinya dia menjaga area pribadinya. Selain itu, hal lain yang memicu UE bertindak demikian adalah kurangnya pengetahuan tentang bagaimana menggunakan media sosial dengan baik serta apa risiko/konsekuensi dari kontennya. Banyak remaja tidak menyadari bahwa media sosial merupakan ranah publik di mana semua konten dapat dilihat dan disikapi oleh siapa pun. Kebanyakan remaja lalai akan hal ini karena merasa menggunakan gawai milik pribadi mereka sehingga merasa postingan-nya juga pribadi."
Lebih lanjut, Vera menjelaskan, pendidikan seks bisa diberikan kepada anak usia dini karena tak melulu hal ini berkaitan langsung dengan hubungan badan. "Pendidikan seks sebenarnya mencakup banyak hal, mulai dari mengajarkan nama anggota tubuh, bagaimana buang air besar dan kecil, bagaimana menjaga kebersihan tubuh, dan bagaimana menjaga area pribadi," imbuhnya.
Predikat korban kian lekat dengan remaja pengunggah konten pornografis seiring aksi-aksi tak sensitif sebagian orang yang membagikan fotonya melalui media sosial. Alih-alih melaporkan supaya foto bugil yang kadung menyita perhatian publik cepat-cepat dihapus oleh platform media sosial, mereka justru dengan sengaja menyebarkannya. Ada yang beralasan untuk lelucon, ada pula yang ingin mengungkapkan keprihatinannya. Apa pun itu, begitu foto sudah menyebar di media sosial atau aplikasi pesan, berarti orang-orang tersebut telah berkontribusi menjadi perundung si remaja pengunggah konten eksplisit seksual. Belum lagi yang gatal untuk menuliskan hinaan untuknya di kolom komentar. Padahal, sama seperti hinaan yang diterima di kehidupan nyata dari orang-orang dikenal, hinaan di dunia virtual pun membawa dampak signifikan bagi kondisi mental si korban.Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti