tirto.id - Banjir yang melanda Jerman pada pertengahan Juli silam tampaknya akan berdampak terhadap politik. Pertama, akan semakin mendorong perubahan iklim sebagai isu arus utama. Elite politik Jerman, yang disokong kalangan ilmuwan, mengaitkan banjir tak terduga ini dengan iklim yang menghangat. Kedua, barangkali memengaruhi hasil pemilu federal yang diselenggarakan pada 26 September nanti.
Jerman tidak imun dari bencana banjir meskipun tentu saja frekuensinya tidak sesering negara dengan iklim tropis dan musim penghujan seperti Indonesia, India, Bangladesh, atau sebagian wilayah Cina.
Kerusakan yang ditimbulkan tergolong parah bahkan jika dibandingkan dengan riwayat banjir di Jerman selama 100 tahun terakhir. Otoritas Jerman masih menghitung total kerugian material, namun operator kereta nasional Deutsche Bahn telah memperkirakan kerusakan dari infrastruktur jalur kereta saja sudah mencapai 1,3 miliar euro (Rp22 triliun). Sebagai langkah awal, pemerintah federal telah mengesahkan pencairan anggaran 400 juta euro (hampir Rp7 triliun) untuk bantuan langsung korban.
Setidaknya 180 orang meninggal dan 150 lain hilang sampai akhir Juli—selisih tipis dari banjir besar di Hamburg pada 1962 yang menelan sedikitnya 315 korban jiwa.
Masyarakat tentu sulit menerima kenyataan ini, sampai-sampai seorang korban dari desa Arloff, Monica Decker, berkata, “Kalian tidak akan mengira orang meninggal di Jerman karena banjir. Kalian pikir ini mungkin terjadi di negara-negara miskin, namun tidak di sini.”
Bencana sebagai Katalis Politik
Sejarah menunjukkan bahwa banjir di Jerman dapat memperkuat kedudukan partai politik tertentu. Jika para elite sigap merespons bencana, maka partainya akan mendulang simpati pemilih ketika pemilu.
Sebagai catatan, di Jerman rakyat hanya memberikan suara untuk partai dan anggota parlemen. Kanselir atau kepala pemerintahan ditentukan oleh anggota dewan dan partai-partai pemenang yang biasanya membentuk koalisi.
Salah satu contohnya terjadi pada pertengahan Agustus 2002 atau sekitar lima pekan menjelang pemilu federal. Ketika itu banjir besar menerjang Dresden, ibu kota negara bagian Saxony yang merupakan bekas wilayah Jerman Timur. Warga yang dievakuasi diperkirakan mencapai 43 ribu, sementara 21 orang meninggal.
Ketika itu Jerman dipimpin Kanselir Gerhard Schröder, seorang politikus dari faksi tengah-kiri Partai Sosial Demokrat (SPD). Sebelum banjir, popularitas SPD yang berkoalisi dengan Partai Hijau (Bündnis 90/Die Grünen) merosot. Salah satunya karena Schröder gagal memenuhi janji politik untuk mengurangi angka pengangguran sampai di bawah 3,5 juta.
Namun, sikap tanggap bencana Schröder yang mendapatkan lampu sorot media dapat membangkitkan kembali kepercayaan publik terhadap koalisi partainya. Satu pekan menuju pemilu 22 September, popularitas SPD/Partai Hijau merangkak jadi 53 persen dari 44 persen pada awal Agustus. Mereka akhirnya menang pemilu dengan perolehan 47,1 persen suara, sementara sang rival, koalisi konservatif tengah-kanan Kristen Demokrat (CDU/CSU) dan partai liberal FDP, mendapat 45,9 persen suara.
Pencapaian ini bermula dari kunjungan Schröder ke lokasi bencana. Kamera media mengabadikan Schröder yang terlihat prihatin dalam balutan mantel hujan dan bot. Jaringan radio SWR2 menggambarkan aksinya kala itu sebagai “kampanye pemilu banjir”. Bersamaan dengan hari kunjungan, pemerintah federal menggelontorkan anggaran 100 juta euro untuk para korban.
Melansir studi berjudul “Flood response and political survival: Gerhard Schröder and the 2002 Elbe flood in Germany” (2008) oleh Evelyn Bytzek, krisis menjelang pemilu yang justru menambah dukungan untuk partai Schröder hanya berlaku apabila terdapat komunikasi simbolis antara pemerintah dan “wajah” publik yang dijembatani oleh media massa.
Politisi SPD lain, Helmut Schmidt, juga mendapati karier dan popularitas partai meroket setelah menangani banjir di kota Hamburg pada 1962—salah satu bencana alam paling parah yang pernah melanda Jerman. Anggota senat di Hamburg ini nekat melanggar hukum dengan melibatkan Bundeswehr atau tentara nasional untuk mengevakuasi warga menggunakan helikopter dan perahu. Menurut undang-undang kala itu, militer dilarang dilibatkan dalam urusan domestik—dengan pertimbangan tak mau mengulang pengalaman era Nazi.
“Kami tidak mematuhi hukum dan aturan, kami bahkan mungkin sudah menyalahi Konstitusi Hamburg, jelas-jelas beroperasi melangkahi hukum dasar. [Tapi] itu adalah darurat konstitusional,” kenang Schmidt dalam wawancara pada 1982.
Kesigapan Schmidt membuatnya populer di seantero negeri sebagai manajer krisis yang hebat. Popularitasnya melejit sebagai pemimpin SPD di parlemen nasional Bundestag (1967-69) dan sebagai Kanselir Jerman Barat (1974-82).
Bukan hanya bencana di dalam negeri saja yang bisa meningkatkan dukungan partai-partai Jerman. Rafael Loss dari European Council on Foreign Relations di Berlin mencontohkan, insiden nuklir di Fukushima, Jepang pada 2011 turut mengatrol popularitas Partai Hijau di tingkat federal sampai nyaris 30 persen. Dua minggu pascatragedi Fukushima, faksi environmentalis dan antinuklir ini memenangkan pemilu di negara bagian dengan ekonomi mapan, Baden-Württemberg.
Salah satu figur top Partai Hijau, Winfried Kretschmann, terpilih sebagai gubernurnya dan masih memimpin di sana sampai hari ini.
Isu iklim dan Pemilu Mendatang
Perubahan iklim merupakan isu yang tergolong baru diangkat dalam politik, tepatnya setelah bencana kekeringan menyapu 90 persen lahan Jerman pada 2018. Semenjak itu, seperti ditunjukkan Economist melalui survei, isu lingkungan, iklim, dan energi terbarukan mulai dianggap penting oleh para pemilih.
Apa yang terjadi baru-baru ini berpotensi mendongkrak popularitas Partai Hijau, yang sejak pemilu pertama pascareunifikasi 1990 sudah riuh menggaungkan slogan: “Semua orang bicara tentang Jerman. Kami bicara tentang cuaca.” Hanya saja pendekatan mereka melalui regulasi lingkungan yang ketat tampaknya tidak terlalu diminati pemilih. Masih melansir Economist, kandidat kanselir dari Partai Hijau, Annalena Baerbock (40), sempat mengusulkan kenaikan tarif bahan bakar demi menekan emisi karbon. Rencananya dicemooh koalisi pemerintahan CDU/CSU dan SPD karena dipandang mengorbankan orang miskin yang bergantung pada kendaraan bermotor setiap hari.
Aliansi CDU/CSU dan SPD juga menawarkan kebijakan tentang iklim meskipun tidak seambisius Partai Hijau. Keduanya sama-sama ingin menekan emisi karbon sampai 65 persen pada 2030 atau 5 persen lebih rendah dari target Partai Hijau dan mempercepat pembangunan infrastruktur energi terbarukan. CDU/CSU tidak sepakat dengan Partai Hijau yang ingin menghentikan operasional kendaraan berbahan diesel pada 2030 dan membatasi kecepatan maksimum berkendara. Mereka juga tidak mau membatasi jumlah penerbangan untuk mengurangi emisi dari pesawat. Sementara SPD setuju membatasi kecepatan maksimum berkendara dan menargetkan peningkatan jumlah kendaraan listrik tapi tidak memberikan kepastian terkait pengurangan emisi karbon dari sektor penerbangan.
Dalam kampanye, Partai Hijau mengangkat narasi yang lebih positif dan heroik, misalnya mengaitkan isu iklim dengan kesempatan kerja yang luas dan ekonomi yang sehat. Manifesto utama mereka adalah menekan produksi emisi gas sampai 70 persen pada 2030. Program tunjangan “dana energi” pun diusung sebagai salah satu andalan. Caranya dengan mendistribusikan kembali pemasukan dari pajak karbon kepada masyarakat bawah dalam bentuk insentif, misalnya pembelian mobil listrik.
Partai Hijau juga berniat menganggarkan tambahan 50 miliar euro per tahun untuk pemerataan saran infrastruktur bus ramah lingkungan dan stasiun pengisian baterai bagi kendaraan listrik. Terkait kesejahteraan pekerja, sama seperti SPD, mereka berjanji menaikkan upah minimum jadi 12 euro per jam dari awalnya sekitar 10 euro. Mereka juga mengklaim serius memperkuat program tunjangan anak dan fasilitas penitipan anak.
Akan tetapi kampanye tersebut tampaknya belum membuahkan hasil. Menurut survei terbaru Politico pada 27 Juli, popularitas Partai Hijau masih berkisar 19 persen, jauh di bawah koalisi CDU/CSU (28 persen) dan sedikit di atas SPD (16 persen).
Sebenarnya, ketika Baerbock dinominasikan sebagai kandidat kanselir, popularitas Partai Hijau sempat meningkat bahkan pernah menyamai CDU/CSU (masing-masing di kisaran 24-25 persen) pada awal Mei. Namun angkanya turun seiring Baerbock dihantam berbagai skandal, dari mulai data diri yang tidak akurat, keterlambatan pelaporan pajak, sampai plagiarisme dalam penyusunan autobiografi. Partai membela Baerbock dengan menyebut serangan-serangan pribadi tersebut tak lebih sebagai “usaha pembunuhan karakter.”
Bagaimana dalam konteks banjir baru-baru ini? Partai Hijau tampaknya cukup berhati-hati. Baerbock, yang sekarang tidak memegang jabatan apa pun di pemerintahan, memutuskan berkunjung ke lokasi banjir tanpa mengundang kru media. Pada kesempatan lain, ketika diwawancarai Der Spiegel, Baerbock juga tidak serta merta membatasi fokusnya pada kebijakan-kebijakan perlindungan iklim yang ambisius. Baerbock menekankan bahwa perlindungan iklim perlu dibarengi dengan sistem manajemen bencana yang terpusat dan pembangunan infrastruktur tahan bencana.
Sementara tokoh pemimpin Partai Hijau lain, Robert Habeck, menegaskan pentingnya memberikan panggung bagi tim evakuasi alih-alih politisi seperti mereka. Melansir The Guardian, elite politik Partai Hijau merasa tidak perlu eksplisit mengaitkan banjir dengan kebijakan lingkungan pemerintah. Selain khawatir bakal dituding memolitisasi tragedi, mereka juga berusaha menghindari citra selama ini sebagai Besserwisserpartei atau 'partai sok tahu'.
Menurut survei Forsa yang rilis 21 Juli, Partai Hijau tetap menjadi pujaan di kalangan usia 18-29 tahun. Dukungan mereka terhadap Partai Hijau mencapai 36 persen, diikuti partai liberal tengah-kanan FDP (17 persen) dan CDU/CSU (16 persen). Sementara di kalangan 60 tahun ke atas, CDU/CSU paling diminati (36 persen), diikuti SPD (19 persen) kemudian baru Partai Hijau (14 persen).
Setelah Merkel Pergi
Meskipun aliansi konservatif CDU/CSU posisinya relatif mapan dibandingkan partai-partai lain, masih belum bisa dipastikan apakah pemimpin mereka kelak mempunyai karakter sekuat Angela Merkel. Merkel, yang menjabat kanselir sejak 2005, memutuskan tidak akan maju lagi untuk periode kelima. Penggantinya dari CDU/CSU adalah Armin Laschet (60). Sejak 2017, Laschet menjabat gubernur negara bagian Nordrhein-Westfalen, daerah terdampak banjir parah yang kebetulan perekonomiannya disokong kuat oleh industri tradisional termasuk batu bara.
Laschet tampaknya diuntungkan dengan kemapanan partai penyokongnya, namun ia dipandang tidak memiliki kemampuan manajerial krisis yang baik, demikian amatan Matthew Karnitschnig untuk Politico. Pemerintahannya dinilai kurang tanggap dalam merespons peringatan banjir maupun mengerahkan evakuasi di Nordrhein-Westfalen.
Selain itu, masih melansir pandangan Karnitschnig, posisi Laschet di mata publik sudah lemah bahkan sebelum terjadi banjir. Kebanyakan pemilih suara lebih menghendaki gubernur Bavaria, Markus Söder, untuk mewakili CDU/CSU sebagai kandidat kanselir.
Citra Laschet juga sempat dinodai oleh sikapnya sendiri ketika berkunjung ke lokasi bencana bersama Presiden Frank-Walter Steinmeier. Saat Presiden Steinmeier berpidato serius di hadapan para korban banjir, Laschet sempat tertawa dan bersenda gurau—momen yang dengan cepat diabadikan oleh wartawan. Ia tak butuh waktu lama mengundang amarah dari publik dan politikus lain.
Pandangannya terkait kebijakan iklim yang setengah hati pun dikritik. Ketika mengunjungi lokasi banjir, Laschet mengakui bencana alam memang berkaitan dengan perubahan iklim. Namun pada saat yang sama sama ia memandang banjir bukanlah alasan untuk mengubah haluan industri tradisional Jerman. “Kalian tidak mengganti kebijakan hanya karena mengalami hari [bencana] seperti ini,” katanya saat diwawancara stasiun televisi.
Pandangan Laschet juga disokong oleh politisi dari koalisi junior Partai Sosial Demokrat (SPD), Olaf Scholz (63), sekarang menjabat Menteri Keuangan sekaligus Wakil Kanselir Merkel. Scholz, yang juga kandidat kanselir dari SPD untuk pemilu mendatang, berpandangan bahwa perlindungan iklim tidak perlu sampai mengorbankan kepentingan orang banyak, terutama kalangan miskin. Kesejahteraan, di mata Scholz, bisa berjalan beriringan dengan perlindungan iklim. Menurutnya kendaraan berbahan bakar fosil tidak perlu dilarang karena produsen mobil akan mengakhiri produksi suatu saat nanti.
Pada akhirnya topik tentang banjir dan perubahan iklim diprediksi masih akan terus diungkit sampai hari pemilu, dan mungkin bisa membantu mempopulerkan Partai Hijau. Namun demikian, seperti disampaikan ahli ilmu politik Gero Neugebauer dan Ursula Münch kepada Deutsche Welle, semua itu tampaknya tidak akan memberikan pengaruh signifikan terhadap hasil pemilu. Di samping masih ada dua bulan sebelum warga menuju bilik suara, masyarakat sendiri pada dasarnya mudah lupa dengan isu dan berita yang datang silih berganti.
Editor: Rio Apinino