tirto.id - Puluhan ribu orang berkumpul di Dresden, Jerman, pada Oktober 2015. Mereka datang dengan satu agenda: merayakan hari jadi Pegida, kelompok sayap kanan, yang pertama. Dalam perayaan tersebut, mereka meneriakkan yel-yel yang menyudutkan Muslim dan imigran. Setiap kali yel-yel dilontarkan, kerumunan menyambutnya dengan tepuk tangan dan tawa yang menggelegar.
Sikap Pegida yang membawa semangat anti-Islam dan anti-imigran tak muncul begitu saja. Pegida menuding imigran hanya membawa kesusahan, menambah angka kriminalitas, merebut jatah pekerjaan orang-orang lokal. Ormas ini juga menyebarkan fitnah bahwa imigran dari negeri-negeri berpenduduk muslim bermaksud mengislamkan Jerman.
Aksi pada Oktober itu merupakan yang terbesar sejak Pegida berdiri. Kehadiran Pegida membikin masyarakat Jerman cemas. Pegida dinilai menjadi wajah baru kebangkitan xenofobia di Jerman.
Pegida (Patriotische Europäer gegen die Islamisierung des Abendlandes)─atau bisa diterjemahkan sebagai “Orang Eropa Patriotik Melawan Islamisasi (di) Barat”─merupakan kelompok akar rumput yang didirikan oleh Lutz Bachmann di Dresden pada 2014.
Pendirian Pegida bermula dari akun Facebook. Suatu hari pada Oktober 2014, Bachmann, pemilik studio foto dan mantan kriminal yang pernah dibuang ke Afrika Selatan, mengunggah video dari YouTube yang memperlihatkan demonstrasi mendukung para pejuang Kurdi yang tengah tengah memerangi ISIS.
Bachmann lalu terdorong untuk membikin grup Facebook yang diberi nama "European People Against the Islamization of the West". Grup ini menarik banyak perhatian orang-orang rasis, fasis, dan chauvinis. Dengan modal anggota yang cukup solid, Bachmann pun memutuskan membawa grup Facebook tersebut ke arah yang lebih politis. Maka, dari situlah, lahir Pegida.
Serangan teroris ke majalah satire Charlie Hebdo di Paris pada Januari 2015, yang menewaskan 12 orang, menjadi momentum Pegida untuk tampil di depan publik sekaligus mengubah pandangan politik mereka. Teror di Paris membuat Pegida memfokuskan diri pada tiga isu utama: pengungsi, Islamisasi, dan kegagalan kebijakan pemberian suaka terhadap imigran.
Tak lama usai serangan di Paris, Pegida mengadakan “aksi damai” di Dresden yang dihadiri sekitar 25 ribu orang. Popularitas Pegida langsung meningkat. Di berbagai kota lain di Jerman, muncul cabang Pegida: Bavaria (Bagida), Darmstadt (Dagida), Bonn (Bogida), Dusseldorf (Dugida), Ostfriesland (Ogida), hingga Leipzig (Legida). Masing-masing kota punya punya anggota puluhan ribu.
Kerja-kerja Pegida bertumpu pada aksi massa yang diberi nama "Monday Demonstration". Kegiatan ini rutin diadakan tiap minggu untuk menyampaikan gagasan dan tuntutan mereka kepada otoritas terkait. Selain aksi massa, Pegida juga gencar meluncurkan propaganda yang berisikan ajakan untuk menentang migrasi, Islamisasi, fanatisme agama, dan segala bentuk radikalisme.
Aktivitas Pegida membikin pemerintah Jerman cukup panik. Kanselir Jerman, Angela Merkel, misalnya, menyatakan bahwa jaminan kebebasan berkumpul di Jerman tak boleh disalahgunakan sebagai kesempatan untuk memprovokasi dan menyebarkan kebencian terhadap para imigran yang masuk Jerman. Sementara yang lain beranggapan Pegida adalah wajah baru kelompok neo-Nazi.
Oleh Bachmann, kritik tersebut ditolak mentah-mentah. Ia menegaskan, Pegida bukan kelompok ekstremis sayap kanan dan sejenisnya. Di saat bersamaan, Pegida mengklaim bahwa apa yang mereka tempuh merupakan upaya untuk menciptakan stabilitas di Jerman.
“Masalahnya, mereka tidak menerima dan menghormati hukum Jerman. Mereka ingin hidup dengan hukum Syariah,” kata Bachmann kepada TIME. “Kami melihat apa yang terjadi di Belgia, Belanda, Perancis, dan Inggris di mana orang-orang ini mengacaukan lingkungan sekitar. Kami tak ingin hal itu terjadi di sini.”
Dalih Patriotik
Selama dipimpin Merkel, Jerman menerima lebih dari satu juta imigran sepanjang 2015 saja—tindakan kemanusiaan tanpa maksud terselubung yang, sebagaimana disebut oleh der Spiegel, merupakan sebuah "keindahan politik". Kebijakan Merkel memantik penolakan yang cukup kencang di dalam negeri. Pegida adalah salah satu yang lantang berteriak “tidak” kepada imigran.
Malte Thran dan Lukas Boehnke dalam “The Value-based Nationalism of Pegida” (PDF, 2015) menjelaskan, kelompok Pegida meyakini bahwa ada keterkaitan antara imigran dan kondisi keamanan di Jerman. Penilaian semacam itu lahir, salah satunya, karena mereka menganut ide-ide Eurosentrisme sebagai ideologi pergerakan. Dalam konsep Eurosentrisme, kesamaan etnis sebagai orang kulit putih Eropa─agama, tradisi, dan bahasa─begitu dijunjung tinggi. Mereka menganggap segala sesuatu yang berasal dari luar─dalam hal ini imigran─adalah wujud ancaman.
Setiap pendatang, dalam perspektif Pegida, memiliki identitas nasional yang dimiliki sejak lahir (natural identity). Identitas tersebut, tegas Pegida, seharusnya digunakan sebagai pegangan dalam komunitas di mana ia dilahirkan. Pandangan semacam ini bersumber dari kebudayaan masyarakat Jerman yang ditafsirkan sebagai “nasionalisme Barat” (Abendland). Konsep Abendland tidak hanya didasarkan pada tradisi melainkan juga diakui secara politis.
Perspektif akan Abendland dibangun dari tiga narasi: identitas, nilai dan norma, serta bahasa. Tiga hal ini pula yang membuat banyak dari masyarakat Jerman bergabung dengan Pegida. Kesamaan identitas sebagai “orang Jerman” memunculkan sikap dan perasaan senasib-sepenanggungan atas gelombang besar-besaran pengungsi yang dinilai bakal mengancam keberlangsungan hidup warga Jerman. Kedatangan mereka dipandang mampu mengikis nilai dan norma setempat, khususnya tradisi Kristen-Yahudi.
Sementara bahasa mempunyai peran yang sangat besar dalam pembentukan konstruksi sosial. Dalam menjalankan aksinya, Kelompok Pegida selalu menggunakan kata-kata dan kalimat yang menunjukkan posisi Pegida di Jerman dan siapa yang menjadi lawan mereka. Hubungan antar-masyarakat sangat erat kaitannya dengan nilai yang diciptakan karena adanya prinsip dasar untuk hidup bersama─membentuk konsep “kita” sebagai sebuah komunitas dan “kalian” sebagai orang-orang asing.
Keadaan tersebut lantas menghasilkan kritik yang masif kepada pemerintah. Pegida menganggap pemerintah─atau tepatnya Merkel─telah “menjual” Jerman kepada para imigran Muslim dan melupakan apa yang menjadi kekhawatiran warga negaranya. Tak sebatas ke pemerintah, serangan juga dialamatkan ke media-media lokal. Pegida menyebut media-media di Jerman sebagai “Lügenpresse” (media bohong) sebab dianggap tidak secara proporsional memberitakan tentang pengungsi dari wilayah ISIS dan perang berkepanjangan.
Hubungan Politik dengan AfD
Pegida seringkali menyatakan bahwa eksistensi mereka tak berafiliasi dengan partai politik mana pun. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya: mereka punya relasi kuat dengan AfD (Alternatif untuk Jerman), partai kanan-jauh.
AfD didirikan pada April 2013 dan langsung memperoleh 4,7 persen dalam pemilu tahun 2013. Kesuksesan AfD terjadi pada pemilu 2017 manakala mereka mendapatkan 12,6 persen suara─melonjak 7,9 persen dari pemilu 2013. AfD kini menjadi partai ketiga terbesar di Jerman, berjarak delapan persen saja dari SPD (Partai Demokrat Sosial).
Keberadaan AfD dinilai mewakili kebangkitan populisme sayap kanan di Jerman serta Eropa. AfD terang-terangan menolak imigrasi sejak pembentukan partainya. Bahkan, ada analis yang mengatakan bahwa pembentukan AfD disebabkan oleh banjir imigran di Jerman itu sendiri. Terlepas dari rumor tersebut, AfD jelas-jelas memakai isu imigrasi untuk meraih dukungan sejak 2015, dan kian berkobar hebat pada kampanye pemilu 2017. Salah satu pemimpin inti AfD, Alexander Gauland, ambil contoh, telah bersumpah untuk membendung “invasi dari pendatang” ke Jerman.
Mereka memanfaatkan pula ketakutan dan kemarahan sebagian masyarakat Jerman yang menilai kebijakan Merkel berlebihan. Jerman terlalu ramah, kata mereka. Apesnya, dukungan untuk AfD selain datang dari para pendukungnya, juga datang dari orang-orang yang tidak mendukung mereka sebelumnya dan—ini yang lebih mengejutkan—dari para pendukung CDU, partai Merkel sendiri.
Selain anti-imigran, partai yang dipimpin oleh Frauke Petry dan Jorg Meuthen ini juga anti-Islam. AfD mengadopsi kebijakan anti-Islam secara eksplisit pada bulan Mei 2016 dan dalam manifesto pemilihannya ada sebuah bagian yang menyatakan (dalam bahasa Jerman) tentang mengapa "Islam tidak cocok di Jerman". Dalam bagian lain, salah satu poster yang disebarkan AfD di berbagai penjuru kota-kota kantong pendukungnya berbunyi lebih frontal: "Burka? Kami suka bikini".
Karsten Grabow dalam “Pegida and the Alternative für Deutschland: Two Sides of the Same Coin?” (2016, PDF) menjelaskan baik Pegida maupun AfD berada di satu jalur. Keduanya sama-sama diuntungkan dengan tren politik yang ada, terlebih soal krisis pengungsi. Tuntutan mereka sama dan gaya propagandanya pun juga serupa. Mereka sama-sama menyerang pemerintahan Merkel dengan cara yang begitu ofensif.
Relasi AfD-Pegida pertama kali muncul pada Juni 2015, bertepatan dengan pemilihan walikota di Dresden. Mulanya, kedua kubu ini saling bertarung dengan wakilnya masing-masing. Bagi AfD, hal tersebut jelas merugikan karena Pegida hampir dipastikan menang mengingat Dresden adalah kandang mereka. Setelah melakukan lobi dan pendekatan yang intensif, keduanya akhirnya berada di satu komando.
Semenjak saat itu, AfD dan Pegida kian mesra. Beberapa kali orang-orang penting di kedua kubu saling tukar kedatangan di acara yang diselenggarakan keduanya. Hubungan keduanya bersifat mutualisme. AfD butuh Pegida untuk jadi jembatan sosial partai serta meraih dukungan kelas menengah Saxon (sebutan masyarakat Jerman utara) yang banyak bergabung dengan Pegida. Sedangkan Pegida perlu AfD agar aspirasi mereka terdengar di parlemen.
Di tingkat akar rumput keduanya boleh saja bermesraan, namun, masih mengutip paper Grabow, di tingkat atas, para petinggi kedua organisasi ini enggan untuk bergerak lebih dekat. Lingkaran elite AfD tak mau berhubungan dengan Pegida. Pasalnya, ideologi Pegida yang sering diasosiasikan sebagai “Nazi gaya baru” membikin citra siapapun yang dekat dengannya jadi buruk.
Sementara di kubu Pegida, AfD tak ubahnya partai yang kelewat akomodatif dengan pemerintahan Merkel. Bachmann sendiri pernah menyebut AfD sebagai "partai arus utama tanpa gigi". Relasi kedua kubu menjadi dingin saat Ketua AfD, Frauke Petry, meminta Bachmann melepaskan jabatannya selepas ia mengeluarkan retorika beracun tentang pengungsi dan mem-posting foto selfie dengan pose maupun dandanan layaknya Hitler di media sosial. Bachmann tak kalah keras merespons dengan menyatakan bahwa AfD tak lagi sekutu Pegida.
Sekalipun saling tak suka, toh, pada hakikatnya, kedua kubu tetap berada di jalan yang sama. Anggota-anggota Pegida, ambil contoh, banyak yang menjadi pendongkrak suara AfD di berbagai pemilihan. AfD sendiri, ironisnya, juga kerap dinilai sebagai partai neo-Nazi sebab memiliki kebijakan nasionalistik yang serupa, termasuk menentang gagasan multikulturalisme. Kebangkitan mereka sebagai partai terbesar ketiga di Jerman menjadi perhatian banyak pihak yang alergi dengan kebangkitan fasisme.
Eksistensi Pegida kiranya akan berlangsung panjang selama populisme sayap kanan memiliki tempat di Jerman dan Eropa. Jerman nampaknya harus bertahan dengan aksi-aksi mereka yang senantiasa menggelorakan sikap anti-imigran, anti-Islam, xenofobia, dan rasis.
Editor: Nuran Wibisono