Menuju konten utama

Olaf Scholz, Calon Kuat Pengganti Angela Merkel dari SPD

Olaf Scholz dari SPD jadi calon kuat pengganti Merkel sebagai Kanselir Jerman. Dia memang lebih baik dibanding calon lain.

Olaf Scholz, Calon Kuat Pengganti Angela Merkel dari SPD
Kandidat kanselir Olaf Scholz (SPD) di studio TV di Berlin, Minggu, 12 September 2021. (Michael Kappeler/Pool via AP)

tirto.id - Sozialdemokratische Partei Deutschlands (SPD) sedang optimistis. Sekitar tiga pekan menjelang pemilihan umum Jerman yang diselenggarakan pada 26 September nanti, partai tengah-kiri ini konsisten bertengger di posisi teratas jajak pendapat untuk pertama kalinya dalam 15 tahun.

Beberapa bulan silam faksi konservatif tengah-kanan Christian Democratic Union/Christian Social Union (CDU/CSU) dan Partai Hijau jauh lebih populer. Duo ini diprediksi bakal berkoalisi untuk mengupayakan stabilitas ekonomi yang diwariskan oleh Kanselir Angela Merkel sembari memperkuat agenda perlindungan iklim dan lingkungan.

Angin keberuntungan mulai berembus ke arah SPD, partai tertua Jerman yang pada saat didirikan (1863) terpengaruh kuat oleh gagasan Marxisme, sejak musim panas kemarin. Survei menunjukkan suara untuk mereka berkisar pada angka 25-26 persen, diikuti CDU/CSU (21-22 persen), dan Partai Hijau (16-17 persen).

Pertanyaan pun muncul: apa sebab popularitas SPD meningkat dalam waktu singkat? Jawabannya tidak bisa dipisahkan dari figur yang mereka usung sebagai kandidat kanselir: Olaf Scholz (63).

Mantan Aktivis Kiri Klona Merkel

Scholz adalah anak buruh tekstil yang tumbuh dewasa di Hamburg dan bergabung dengan SPD saat masih berusia 17. Jeremy Cliffe di New Statesman menyebut Scholz aktif di sayap pemuda SPD, Young Socialist, dan kepanitiaan International Union of Socialist Youth. Scholz adalah “pemuda pemarah” yang kritis terhadap ekonomi kapitalis dan “NATO yang agresif dan imperialis,” dilihat dari tulisan-tulisannya sepanjang dekade 1980-an, kata Cliffe. Pandangannya baru melunak pada dekade 1990-an, tatkala meniti karier sebagai pengacara bagi kaum buruh (termasuk serikat buruh di kawasan bekas Jerman Timur) dan mulai mengenal dunia politik.

Scholz bergabung dalam kabinet pertama Merkel pada 2007 sebagai Menteri Buruh dan Urusan Sosial. Namun keterlibatannya di politik tingkat federal harus berakhir karena SPD meninggalkan koalisi CDU/CSU pada periode kedua Merkel (2009-2013). Scholz pun beralih ke politik lokal, kelak terpilih sebagai Wali Kota Hamburg pada 2011. Di sana ia terkenal karena berhasil mengatasi krisis perumahan.

SPD kembali menjadi partner junior CDU/CSU dalam pemerintahan Merkel periode ketiga (2013-2018) dan keempat (2018-2021), namun baru pada 2018-lah SPD kebagian jabatan lagi, tepatnya menteri keuangan. Scholz-lah yang diangkat. Ketika itu ia juga menjabat wakil kanselir.

Sebagai menkeu, Scholz disorot karena ikut mendorong kebijakan paket stimulus besar-besaran senilai 750 miliar euro untuk memulihkan blok Uni Eropa dari pandemi Covid-19. Scholz juga kecipratan pujian karena ikut menyangga stabilitas Jerman selama pandemi dengan menggelontorkan 130 miliar euro atau lebih dari Rp2.000 triliun. Anggaran ini di antaranya dialokasikan untuk subsidi perusahaan agar tetap beroperasi dan tidak memecat para pekerja (program kurzarbeit), tunjangan anak sebesar 300 euro plus bantuan ekstra bagi orang tua tunggal, subsidi pemerintah daerah yang pemasukan pajaknya turun, sampai insentif kendaraan elektrik dan hibrida. Scholz percaya pengeluaran sebesar itu tidak akan terlalu membahayakan Jerman karena kondisi ekonomi mereka selama ini relatif baik. Sejak 2014, Jerman mencatat anggaran berimbang—tidak ada surplus atau defisit.

Kebijakan-kebijakan itulah yang menaikkan namanya dalam kancah politik elektoral.

Tapi rapor Scholz tidak seluruhnya dicatat dengan tinta emas. Namanya ikut tercoreng akibat skandal penipuan perusahaan penyedia jasa keuangan Wirecard. Namun demikian, Scholz mengelak memikul tanggung jawab karena aktivitas kriminal mereka sudah berlangsung sebelum ia menjabat.

Banyak yang menganggap Scholz mirip Merkel, bahkan dalam urusan gerak-gerik selama masa kampanye. Melansir Der Spiegel, Scholz pernah berpose untuk satu majalah dengan gaya tangan khas Merkel (jari-jari dipertemukan membentuk segitiga) dan mencomot slogan kampanye Merkel pada 2013: “Anda tahu saya”.

Scholz bisa dibilang seorang sosial demokrat yang moderat—tidak terlalu “kiri” seperti politikus SPD lain. Ini tampak misalnya dalam kebijakan fiskal. Scholz mempertimbangkan menerapkan lagi “rem utang”, suatu penghematan dengan membatasi defisit struktural negara di bawah 0,35 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Langkah yang diambil Jerman sejak 2016 dan ditangguhkan selama pandemi ini cenderung disukai oleh tokoh-tokoh pengusung Merkel di CDU/CSU, alih-alih kolega Scholz di SPD.

Jika Scholz dianggap tidak terlalu kiri, maka Merkel dinilai tak terlalu kanan untuk seorang politikus yang berasal dari partai konservatif. Masih menurut Der Spiegel, Merkel bisa dibilang memimpin Jerman layaknya seorang sosial demokrat yang tengah-kiri. Maka keduanya tampak selaras lagi dalam hal kebijakan. Apabila nanti jadi kanselir, kebijakan Scholz diprediksi tidak akan berbeda jauh dari Merkel. Merkel memperkenalkan kebijakan tentang batas upah minimum, yang ingin Scholz tingkatkan dalam agenda kerja 100 hari pertamanya jika terpilih. Scholz berencana meningkatkan upah minimum dari 9,6 euro jadi 12 euro per jam, juga memperluas akses hunian terjangkau dan memperkuat ekonomi ramah lingkungan.

Meskipun kandidat kanselir dari partai lain punya program yang mirip, ia relatif lebih dipercaya publik karena dianggap lebih berpengalaman.

Seperti Merkel, Scholz juga bakal menerapkan pendekatan yang lebih pragmatis dan hati-hati. Ia ingin melangkah perlahan; tidak buru-buru—belajar dari kesalahan SPD saat terakhir kali berkuasa (1998-2005). Tahun 2003, di bawah kepemimpinan Kanselir Gerhard Schröder, SPD yang berkoalisi dengan Partai Hijau memperkenalkan reformasi struktural bertajuk Agenda 2010 untuk pemulihan ekonomi. Langkah ini dikritik terlalu propasar dan kurang berpihak pada kaum kerja. Dampaknya adalah serangkaian protes massa, perpecahan dalam SPD (berujung pada lahirnya partai populis kiri Die Linke), dan melemahnya posisi SPD dalam pemilu-pemilu selanjutnya—sampai akhirnya dilirik lagi tahun ini.

Namun politikus SPD Matthias Bartke tak sepakat dengan anggapan bahwa Scholz sekadar klona Merkel. Menurutnya Merkel memang hebat dalam mengatasi krisis, tetapi kurang visioner. Sementara koleganya “punya rencana yang sangat jelas tentang bagaimana segala sesuatunya harus berkembang.”

Kandidat Lain Kurang Meyakinkan

Selain karena memang dari segi kualitas diakui, popularitas Scholz juga ditopang berkat performa kandidat lain yang kurang mantap. Misalnya Armin Laschet (60) dari CDU/CSU. Ia sebenarnya diharapkan menjadi penerus Merkel, hanya saja kepala negara bagian Nordrhein-Westfalen sejak 2017 ini dikritik tidak tanggap dan kurang berempati. Daerah yang Laschet pimpin jadi salah satu pusat penyebaran Covid-19 sekaligus mengalami kerugian besar akibat banjir pada musim panas kemarin.

Upaya pencegahan bencana dan penanggulangannya pun dikritik berantakan. Bahkan kamera wartawan sempat mengabadikannya tertawa di tengah-tengah pidato serius Presiden Jerman kepada warga korban banjir. Agenda perubahan iklim juga absen dari visi Laschet yang masih mementingkan basis industri tradisional Jerman seperti baru bara. Belum lagi ia pernah tersandung kasus plagiarisme terkait buku yang diterbitkan pada 2009 saat menjabat Menteri Dalam Negeri di Nordrhein-Westfalen.

Menurut kolumnis Politico Matthew Karnitschnig, Laschet tidak memiliki kemampuan manajerial krisis sebaik Merkel. Apabila terpilih jadi kanselir, Laschet juga tampaknya tidak punya mandat dan target yang kuat untuk memulai administrasinya. Sementara editor Die Zeit, Heinrich Wefing, sempat menyamakan Scholz dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden karena sama-sama politikus sentris yang tahu caranya membentuk konsensus dan koalisi.

Situasi juga kurang bagus buat Annalena Baerbock (40), satu-satunya kandidat perempuan yang diusung Partai Hijau. Meskipun popularitas partai sempat meroket setelah pengumuman nominasi Baerbock, momentum itu gagal dipertahankan. Terungkap bahwa Baerbock pernah tergelincir juga dalam skandal plagiarisme buku dan menambal biodatanya dengan prestasi yang dipertanyakan.

Mantan atlet pesenam trampolin ini terlihat paling kurang berpengalaman karena belum punya rekam jejak di pemerintahan. Setelah menyelesaikan kuliah politik di Hamburg dan program master hukum di London pada 2005, Baerbock bergabung dengan Partai Hijau dan sempat bekerja untuk aliansi partai-partai hijau di Parlemen Eropa. Kemudian, pada 2013, ia terpilih jadi anggota dewan Bundestag mewakili negara bagian Brandenburg. Barulah pada 2018 ia dipercaya bersama koleganya, sastrawan Robert Habeck, untuk mengepalai Partai Hijau.

Namun Baerbock tetap dipuji karena diyakini mampu mengerahkan kebijakan yang detail dan punya segudang ide baru, demikian amatan Economist. Ambisinya kuat untuk mendorong agenda perubahan iklim dan tegas menyikapi Rusia dan Cina—yang cenderung disayang oleh administrasi Merkel karena kepentingan dagang. Baerbock pun tergolong berani menyerukan pelonggaran kebijakan fiskal demi memberi ruang lebih luas untuk investasi publik, di samping menginginkan kerja sama lebih kuat di lingkaran Uni Eropa.

Debat calon kanselir yang ketiga pada Minggu (19/9/2021) lalu menjadi ajang pamer terakhir sebelum hari pemilihan. Melansir rangkuman debat dari Deutsche Welle, baik Scholz dan Baerbock tampaknya lebih suka apabila partai penyokong Laschet duduk di bangku oposisi. Terlepas dari itu, keduanya tidak menutup kemungkinan berkoalisi dengan CDU/CSU. Hanya partai sayap kanan jauh Alternative for Germany (AfD) saja yang bakal mereka hindari.

Terkait isu penanggulangan kemiskinan, Scholz and Baerbock cenderung kompak—sampai-sampai muncul kesan bahwa SPD dan Partai Hijau sudah jadi partner koalisi. Misalnya, mereka sama-sama ingin upah minimum naik, sedangkan Laschet ingin perkara ini disepakati langsung antara kelompok pemberi kerja dan serikat buruh. Pada waktu sama, Barbock masih garang menyerang kepemimpinan CDU/CSU—sekaligus Scholz sebagai Menkeu dari SPD yang berkoalisi di pemerintahan karena mewariskan jurang lebar ketimpangan sosial-ekonomi.

Hasil survei Forsa menunjukkan bahwa tingkat kepuasan pemirsa terhadap Scholz tetap tinggi seperti pada acara-acara debat sebelumnya, yakni 42 persen, sedangkan Laschet hanya 27 persen suara dan Baerbock 25 persen.

Sebenarnya, apabila rakyat Jerman memilih kanselir seperti orang Indonesia memilih presiden, peluang Scholz untuk menang jauh lebih besar. Menurut survei Politbarometer yang dirilis pertengahan September silam, 67 persen responden yakin bahwa Scholz mampu mengelola pemerintahan, jauh di atas Laschet (29 persen) atau Baerbock (26 persen).

Akan tetapi, rakyat Jerman tidak memilih langsung kanselir. Yang dipilih adalah anggota dewan dan partai. Partai-partai dengan perolehan suara tertinggilah yang nanti harus membentuk mayoritas koalisi di atas 50 persen di parlemen Bundestag, lantas menentukan kanselir. Singkatnya, keputusan untuk mengangkat Scholz, Laschet, atau Baerbock tergantung pada koalisi yang kelak terbentuk.

Koalisi Tiga Warna

Setelah Perang Dunia II berakhir, pemerintahan Jerman (Jerman Barat) mayoritas digerakkan oleh koalisi dua partai. Demikian halnya pascareunifikasi 1990, Republik Jerman masih dipimpin dengan pola yang sama: CDU/CSU dan partai proekonomi liberal FDP (1990-98, 2009-13), SPD dan Partai Hijau (1998-2005), CDU/CSU dan SPD (2005-9, 2013-18, 2018-21).

Jerman pada awal abad ke-21 sudah didominasi oleh “koalisi besar” yang dipimpin CDU/CSU dan diikuti SPD sebagai partner junior. Bisa jadi pada pemilu terbaru ini terbentuk lagi koalisi besar—entah di bawah komando Scholz atau Laschet—meskipun situasi ini dipandang tidak akan membawa perubahan besar pada lanskap politik nasional.

Di sisi lain, koalisi yang terdiri atas tiga partai diprediksi sangat mungkin terbentuk. Terdapat sejumlah kemungkinan, merangkum ulasan dari Reuters dan Economist.

Pertama “Koalisi Lampu Lalu Lintas”—merah untuk SPD, kuning FDP, dan Partai Hijau. Meskipun koalisi ini bisa terwujud, diduga akan terjadi benturan keras terkait kebijakan ekonomi antara SPD-Partai Hijau (yang ingin menarik pajak lebih tinggi) dengan FDP (propajak rendah dan aturan fiskal lebih ketat).

Ada juga “Koalisi Jamaika”, dilambangkan oleh warna hitam CDU/CSU, Partai Hijau, dan kuning FDP. Dalam skenario ini, Partai Hijau mungkin bakal bentrok dengan FDP karena perbedaan terkait kebijakan fiskal dan sikap terhadap Uni Eropa. Partai Hijau ingin memperkuat relasi antarnegara Uni Eropa, sedangkan FDP ingin mengakhiri zona mata uang euro.

Infografik Pemilu Jerman

Infografik Pemilu Jerman. tirto.id/Fuad

Selain itu, apabila CDU/CSU, SPD, dan FDP bersatu, mereka akan menyimbolkan warna bendera Jerman dan bisa disebut “Koalisi Jerman”. Mereka bisa memiliki persentase terbesar di parlemen Bundestag, namun kecil kemungkinan SPD mau merangkul FDP karena sudah lelah meladeni CDU/CSU.

Ada pula “Koalisi Kenya” (CDU/CSU, SPD dan Partai Hijau) yang bisa meraup banyak kursi di parlemen. Ketiganya mungkin bisa sepakat untuk isu perubahan iklim meskipun bakal kesulitan bersatu terkait kebijakan ekonomi terutama pajak.

“Koalisi Kiri”, terdiri atas SPD, Partai Hijau, dan Die Linke (Partai Kiri) jadi alternatif yang menarik juga. Ketiganya bisa mewujudkan “aliansi progresif” yang dipersatukan kebijakan ekonomi domestik seperti penarikan pajak tinggi untuk orang kaya. Hanya saja tetap sulit bagi SPD dan Partai Hijau untuk mengikuti hasrat politik luar negeri Die Linke. Partai yang diprediksi akan kesulitan meraih minimal 5 persen suara di parlemen ini rupanya gencar menolak NATO, ingin kerja sama keamanan lebih dekat dengan Rusia, serta mengurangi anggaran pertahanan dan mengakhiri misi-misi militer pasukan tentara Jerman atau Bundeswehr.

Terlepas dari banyaknya kemungkinan koalisi yang terbentuk, politik sentris masih dipandang akan terus bertahan di Jerman selama beberapa tahun ke depan, demikian Loren Balhorn dari Yayasan Rosa Luxemburg berpendapat di Jacobin. Balhorn menyorot bagaimana kelas menengah Jerman yang makmur bisa dengan mudah berpindah haluan dari CDU/CSU, Partai Hijau, SPD, atau kombinasi ketiganya, akan tetapi tak banyak dari mereka yang berani ambil risiko dengan memberikan ruang bagi perubahan politik yang terlalu cepat.

Singkatnya, mayoritas cenderung menginginkan kestabilan yang sudah Merkel berikan selama ini berlanjut. Dan itulah, ujar Balhorn, yang kelak ditawarkan siapa pun, termasuk seorang sosial demokrat moderat Olaf Scholz ketika memimpin koalisi pemerintahan pasca-Merkel.

Baca juga artikel terkait KANSELIR JERMAN atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino