tirto.id - Seorang pria berfigur bapak-bapak memaparkan alasan ikut demonstrasi anti-lockdown di Kassel, kota di Jerman bagian tengah, 20 Maret silam. Kepada reporter Der Spiegel, dia berkata, “Karena saya takut dengan demokrasi dan kebebasan kita; karena saat ini saya hidup di negara yang memperlakukan saya dengan kurang benar dibandingkan dengan Korea Utara.”
“[Kurang benar] dalam hal apa? Anda bisa demonstrasi di sini, kok,” pancing reporter. “Ya, tunggu saja dan kita lihat nanti siapa yang sudah mempersatukan kami hari ini,” pria yang memakai topi khas Rusia ushanka tersebut menjawab ringan.
Tapi tidak semua mendapatkan jawaban. Pada kesempatan lain seorang demonstran dengan gusar menghalau kamera dan mengusir reporter. “Kami punya aturan sendiri—kami tidak bicara pada media,” katanya. Perlakuan tidak mengenakkan dialami juga oleh para reporter dari tabloid besar Bild. Mereka mengaku “diteriaki, dibentak, ditindas dengan penuh kebencian dan dipersekusi.”
Lebih dari 20 ribu orang hadir dalam protes tersebut, yang membuatnya menjadi aksi massa paling ramai di Jerman sepanjang paruh pertama 2021. Mengutip laman berita Zeit, para demonstran yang protes terhadap kebijakan lockdown tersebut mengusung motto “warga Kassel bebas—hak-hak fundamental dan demokrasi.”
Menjelang berakhirnya musim dingin lalu, Jerman kembali menghadapi kenaikan kasus Covid-19 karena munculnya varian baru sehingga pemerintah bergegas menarik rem darurat dengan memperpanjang lockdown. Berbagai kegiatan dibatasi. Pengadilan regional juga telah melarang demonstrasi di Dresden dan kota lama Bavaria, Kempten, yang sebelumnya telah direncanakan jadi tempat protes.
Protes anti-lockdown menyeruak sejak musim panas lalu, tepatnya di ibu kota negara, Berlin. Pada 1 Agustus, sekitar 20 ribu orang turun ke jalan mengusung tema “Akhir Pandemi: Hari Kebebasan”—mengingatkan pada judul film propaganda Nazi karya Leni Riefenstahl pada 1935. Pada 29 Agustus, 38 ribu orang kembali berdemo di sana. Ratusan di antaranya berusaha menggeruduk Reichstag, gedung parlemen (Bundestag). Polisi sempat menahan 300 orang karena tidak mematuhi aturan pakai masker dan jaga jarak.
Lalu, dari mana semua ingar bingar anti-lockdown di Jerman ini berasal?
Querdenken
Muaranya bisa ditelusuri pada satu gerakan bernama Querdenken, yang diartikan secara bebas menjadi 'pemikir lateral' atau 'pemikir out-of-the-box' atau mereka yang ide dan pandangannya sering tidak dipahami atau diterima.
Pergerakan Querdenken dimulai pada 2020 di Stuttgart oleh wirausahawan teknologi bernama Michael Ballweg. Di sanalah cabang utama Querdenken didirikan, Querdenken-711. Mereka merupakan aktor utama yang mengoordinasikan sejumlah protes anti-lockdown selama ini. Di profil Twitter, mereka mendaku sebagai gerakan yang bertujuan merestorasi hak-hak fundamental warga, bukan menolak eksistensi virus penyebab Covid-19. Dari kacamata mereka, kebebasan sudah digerus oleh aturan-aturan mengekang dari pemerintah selama pandemi.
Oliver Nachtwey, sosiolog dari Universität Basel, Swiss, mengatakan kepada Deutsche Welle bahwa Querdenken dibingkai sebagai “gerakan akademik.” Desember silam, berdasarkan survei terhadap 1.100 demonstran Querdenken dalam rangka studi terkait demonstran anti-Covid-19 di Swiss dan Jerman, Nachtwey dkk. menemukan dua per tiga dari mereka lulus SMA (separuh di antaranya punya gelar dari universitas). Hampir 70 persen responden juga mengidentifikasi diri sebagai kelas menengah.
Demonstran Querdenken tampaknya tidak berambisi mengejar agenda-agenda politis yang condong pada visi ideologis partai tertentu. Hal ini berdasarkan riwayat preferensi partai dalam pemilu 2017 yang cukup beragam. 23 persen dari mereka memilih partai hijau Die Grünen, partai sayap kiri Die Linke (18 persen), dan partai sayap kanan anti-imigran Alternative for Germany atau AfD (15 persen).
Meski di antara tiga partai itu paling kecil, pada pemilu 2021 nanti survei menunjukkan dukungan dari pengikut Querdenken untuk AfD bisa meningkat sampai 27 persen. Hal ini dapat dipahami karena keduanya terkait dengan hal-hal beraroma konspiratif. Gerakan anti-lockdown (atau anti-vaksin atau apa pun yang terkait) dekat dengan gagasan konspirasional. Pemilih AfD juga pernah diasosiasikan dengan hal-hal beraroma konspiratif. Menurut survei Konrad Adenauer Foundation yang dilaksanakan sebelum pandemi (Oktober 2019-Februari 2020), sepertiga dari 3.250 responden Jerman percaya bahwa “kekuataan-kekuatan rahasia” menguasai dunia. Di kalangan pemilih suara AfD, persentase yang meyakininya mencapai 56 persen.
Pada pemilu mendatang mayoritas pengikut Querdenken juga berniat memilih partai-partai yang tak terlalu populer, seperti partai baru Die Basis (Basic Democratic Party of Germany). Alasannya semata karena tertarik dengan jargonnya yang menjunjung tinggi kebebasan individu.
Singkatnya, seperti disampaikan Nachtwey dkk, karakteristik utama gerakan Querdenken berkaitan dengan 'alienasi' atau keterasingan para pendukungnya dari institusi-institusi politik, media yang sudah mapan, dan parpol-parpol lama.
Ditunggangi Banyak Kepentingan
Kaum Querdenken sah-sah saja menyerukan idealisme sebagai gerakan yang independen dari kepentingan faksi-faksi politik mapan. Namun, kenyataannya, gerakan mereka tetap dimanfaatkan oleh elite politik AfD, oposisi di parlemen yang tiada henti merongrong kebijakan-kebijakan pembatasan dengan mengeksploitasi rasa frustrasi masyarakat selama pandemi. Sejumlah politisi AfD pun diketahui pernah ikut aksi Querdenken.
Selain itu, seperti bisa dengan mudah diprediksi, Querdenken senantiasa memberikan angin segar kepada—sekaligus mendulang dukungan dari—komunitas yang menyepelekan bahaya pandemi, yakni para pemuja teori konspirasi, kalangan antimasker, dan antivaksin.
Simpatisan Querdenken juga membandingkan pergerakannya dengan perlawanan anti-Nazi. Dalam aksi demo awal tahun ini, sejumlah demonstran antivaksin mengenakan lencana bintang kuning, penanda yang dipaksakan Nazi kepada Yahudi selama Perang Dunia II. Hanya saja mereka mengubah kata 'Jude' (Yahudi) dengan 'ungeimpft' (tidak divaksin). Mereka “menyamakan pembatasan Covid-19 dengan penganiayaan terhadap populasi Yahudi Eropa,” tulisBBC.
Pada aksi November 2020, seorang perempuan berusia 22 tahun menyamakan dirinya dengan seorang aktivis anti-Nazi, Sophie Scholl, karena merasa sudah gencar melawan kebijakan pembatasan dengan “berpidato, protes ke jalanan, dan membagikan pamflet.” Seorang petugas keamanan yang berjaga di sekitar lokasi muak dan menyuruhnya berhenti bicara “omong kosong” karena sudah “menyepelekan Holocaust.”
Respons si petugas juga serupa dengan organisasi Yahudi berpengaruh, International Holocaust Remembrance Alliance, yang tak lama kemudian mengeluarkan pernyataan untuk mengutuk distorsi tentang Holocaust yang diserukan dalam aksi-aksi.
Tapi figur-figur pemimpin Querdenken juga diidentifikasi aktif di jaringan sayap kanan Reichsbürger atau Warga Negara Reich (Kekaisaran Jerman). Gerakan ini menolak Jerman modern dan menyerukan kembalinya Kekaisaran Jerman (Deutsche Reich)—yang diproklamasikan Nazi. Timo Schmitz di Forward mengatakan gerakan Reichsbürger percaya Republik Federal Jerman itu tak pernah ada; yang eksis adalah segelintir elite yang menguasai masyarakat dalam perseroan terbatas (PT). Reichsbürger dan pemuja konspirasi QAnon sama-sama meyakini bahwa orang-orang Yahudi ingin membangun tatanan dunia baru.
Bukan hanya itu, demo Querdenken juga sempat dibuat rusuh oleh hooligan yang berafiliasi dengan gerakan neo-Nazi.
Pada waktu sama, gerakan Querdenken menarik perhatian “mantan aktivis perdamaian dan orang tua yang khawatir dengan penutupan taman kanak-kanak”, ujar peneliti gerakan protes dari Berlin Social Science Center (WZB), Edgar Grande, kepada DPA International.
Pada akhirnya Querdenken jadi mirip gado-gado: Dikampanyekan sebagai aksi damai namun juga diwarnai aura permusuhan dan kebencian; diisi oleh berbagai keyakinan politik yang bertolak belakang seperti neo-Nazi tapi juga mereka yang menganggap pembatasan itu kebijakan yang mirip seperti Nazi; juga disinformasi dan kebebalan terhadap keberadaan virus.
Tepatlah apabila Grande menilai gerakan Querdenken sifatnya “sangat menyebar, heterogen, dan mudah berubah.”
Sementara bagi William Callison dan Quinn Slobodian, Querdenken tidak cukup dimaknai sebagai gerakan pemikir kreatif atau out-of-the-box, melainkan juga merepresentasikan pemikiran yang disebut 'diagonalisme'. Dalam studi berjudul “Coronapolitics from the Reichstag to the Capitol” (2021) di Boston Review, Callison dan Slobodian menulis, “Kaum diagonalis cenderung menentang julukan konvensional kiri dan kanan (umumnya memang condong pada kepercayaan sayap kanan jauh), mengekspresikan ambivalensi atau sinisme terhadap politik parlementer, dan memadukan keyakinan tentang holisme dan bahkan spiritualitas dengan wacana gigih tentang kebebasan individu.”
Di samping itu, gerakan mereka lahir tatkala terjadi transformasi besar-besaran di bidang teknologi dan komunikasi. Callison dan Slobodian mengamati bagaimana diagonalisme digerakkan oleh kalangan freelancer, pekerja mandiri, dan pengusaha kelas kecil-menengah yang meyakini bahwa semua hal yang berhubungan dengan kekuasaan adalah konspirasi. Mereka tidak menganggap sah kekuasaan karena yakin proses pemilihan sudah dikontrol elite berkuasa.
Kehadiran mereka, menurut Callison dan Slobodian, mengingatkan betapa akses internet yang mendunia, kekuataan platform media sosial, dan dinamika 'kapitalisme hasutan' sudah memberikan ruang bagi gerakan yang penuh gagasan permusuhan.
Kategorisasi Gerakan Ekstremis Baru
Pada April silam, Kementerian Dalam Negeri memerintahkan badan intelijen Jerman, Kantor Federal untuk Perlindungan Konstitusi (BfV), agar mengawasi pergerakan tokoh-tokoh Querdenken. Dengan ini BfV punya legalitas untuk mengumpulkan data para aktivis, memata-matai, sampai menyadap komunikasi mereka.
BfV bahkan membuat kategori baru untuk Querdenken karena mereka tidak bisa dimasukkan dalam spektrum ekstremis kanan atau kiri. Querdenken kini masuk kategori grup yang 'anti-demokratis dan/atau mendelegitimasi negara dengan cara yang membahayakan keamanan'.
Menurut Kemendagri Jerman, agenda Querdenken tidak sekadar memobilisasi massa untuk menentang aturan pemerintah terkait pembatasan selama pandemi, namun juga untuk “menggerus kepercayaan terhadap lembaga negara dan perwakilannya secara permanen.” Kemendragi juga mengungkit grup-grup sayap kanan yang berasosiasi dengan mereka, terutama Reichsbürger, yang mempertanyakan legitimasi negara Jerman, menyebarkan pandangan anti-Semit, dan konspirasi QAnon.
Kategorisasi ini merefleksikan realitas politik baru, demikian Elizaveta Firsova dan Teresa Eder di American Institute of Contemporary German Studies (2021). Untuk pertama kalinya BfV mengklasifikasikan aktor-aktor ekstremis tidak berdasarkan ideologi politik mereka. Berkaca pada Querdenken, ternyata gerakan antipemerintah bisa ditemui di lingkaran ekstremis sayap kanan dan kiri pada waktu bersamaan.
Firsova dan Eder menyimpulkan keputusan mengawasi tokoh-tokoh Quedenken merupakan langkah yang patut diapresiasi, namun tetap harus dilaksanakan secara transparan dan bertanggung jawab sesuai prinsip-prinsip demokrasi.
Editor: Rio Apinino