Menuju konten utama

'Tidak Ada Corona di Tanzania', Realitas Semu yang Dibuat Magufuli

Warga diminta 'cukup berdoa', tidak laksanakan protokol kesehatan maupun berlakukan lockdown, sementara pemerintah membatasi informasi COVID-19 di Tanzania.

'Tidak Ada Corona di Tanzania', Realitas Semu yang Dibuat Magufuli
Presiden John Pombe Magufu memberi isyarat, saat unjuk rasa di Dar es Salaam, Tanzania. Pada awalnya presiden baru Tanzania tampak tertarik untuk menghancurkan korupsi dan memboroskan pengeluaran pemerintah, menangkap imajinasi banyak orang dengan langkah-langkah penghematan seperti larangan perjalanan resmi yang tidak perlu ke luar negeri. Lalu datanglah dekrit Magufuli yang lebih mengejutkan. Dia melarang semua unjuk rasa oposisi sampai 2020, ketika pemilihan berikutnya jatuh tempo. Dia menyetujui hukum cybercrime baru yang keras di mana beberapa warga Tanzania dituduh menghina dia dalam obrolan WhatsApp. AP Photo / Khalfan Said, File

tirto.id - Tanzania, sebuah negara di pesisir timur Afrika, sebelah selatan Kenya, seperti negara lain pada umumnya, juga tak lupa dihantam pandemi COVID-19. Hanya saja yang menjadi perhatian negara tetangga maupun dunia, Tanzania hingga 28 Januari 2021, melansir laporan WHO, hanya melaporkan 509 kasus konfirmasi positif dengan 21 kematian.

Hal ini kemudian dianggap ‘kesuksesan’ dan diamplifikasi oleh kelompok masyarakat yang meyakini bahwa COVID-19 adalah konspirasi. Namun minimnya angka konfirmasi membuat baik pihak oposisi maupun negara tetangga skeptis bahwa angka tersebut merupakan gambaran riil pandemi di Tanzania.

Adalah Presiden John Magufuli yang pada Maret 2020 saat awal pandemi di Tanzania menggelar doa nasional dan meminta warganya ‘cukup berdoa’ karena menurutnya “Corona adalah setan. Ia tidak akan bertahan hidup di tubuh Kristus. Ia akan terbakar”. Pidato itu sampaikan pada 22 Maret di gereja di ibu kota Tanzania, Dodoma.

Berdasarkan laporan WHO, Tanzania mencatat lima kasus positif pertamanya pada 17 Maret 2020. Puncak kasus harian terjadi pada 30 April 2020 dengan 180 kasus baru. Tanzania terakhir melaporkan kasus konfirmasi pada 8 Mei 2020 dengan 29 kasus. Total menjadi 509 kasus konfirmasi dengan 21 kematian. Sebulan berikutnya, Magufuli mengumumkan Tanzania “bebas Corona”.

Masyarakat diminta kembali beraktivitas normal bahkan tanpa menggunakan masker. Tidak ada pemberlakuan karantina wilayah atau pembatasan aktivitas baik di sekolah, pasar maupun tempat ibadah.

Ia bahkan mengkritik tokoh Muslim yang menutup masjid besar di Dar es Salaam untuk ibadah salat Jumat demi mencegah penyebaran virus Corona.

“Sungguh aneh melarang umat masuk ke dalam masjid yang mereka bangun sendiri. Kalau kalian takut, biarkan yang lain pergi dan tetap beribadah. Lagipula, omong-omong kita masih di tahap awal pandemi,” ujar Magufuli seperti dilansir AFP.

Seiring dengan banyaknya kritik yang dialamatkan pada terkait tudingan menyembunyikan data COVID-19, Magufuli menyebut sempat melakukan percobaan rahasia terhadap pepaya, kambing dan oli kendaraan yang dites COVID-19 dengan hasil positif.

“Itu artinya ada kemungkinan kesalahan teknis atau reagen yang diimpor bermasalah,” ujar Magufuli yang justru meragukan kemampuan laboratorium nasional di bawah pemerintahannya sendiri.

Terakhir, pada 27 Januari 2021 saat vaksin mulai banyak didistribusikan ke berbagai negara dalam upaya menekan penyebaran virus, ia menyebut bahwa “vaksin COVID-19 berbahaya bagi kesehatan.”

“Kita harus hati-hati terhadap vaksin impor ini. Kementerian Kesehatan jangan terburu-buru,” katanya dalam sebuah konferensi pers yang disiarkan televisi, seperti dikutip AFP.

Melansir BBC, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Afrika mendesak keras pemerintah Tanzania untuk merilis data terbaru penyebaran virus di negara itu.

Pada Juni 2020, Presiden Magufuli kemudian memberikan data terbatas tentang pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit dan pusat kesehatan.

Ia mengatakan jumlah pasien di dua rumah sakit besar di Dar es Salaam menurun dari 228 pasien menjadi 18, kendati ia juga tak memberikan detil lebih jelas mengenai periodenya. Ia juga memberikan data pasien di sejumlah rumah sakit lain di seluruh negeri.

Sejak itu, terhitung pemerintah Tanzania sudah tiga kali memberikan data pasien COVID-19 namun dengan cara yang sulit untuk dibuat perbandingan maupun dianalisis.

Tanzania bukanlah sebuah negara yang memiliki pulau sendiri seperti Madagaskar--yang mencatat kasus positif 18.743. Negara-negara tetangganya seperti Kenya mencatat total kasus konfirmasi positif sebanyak 100.193 kasus dengan 1.750 kematian, Uganda total kasus 39.261, kematian 318 dan Zambia yang mencatat total 47.622 kasus dan 672 kematian.

Menjadi kecil kemungkinan penyebaran COVID-19 minim terjadi, mengingat Tanzania juga tidak menutup perbatasan dari negara tetangga. Dalam situs Worldometer saja, kemampuan jumlah tes COVID-19 Tanzania tidak diketahui atau paling tidak, tidak dilaporkan, yang kemudian dibenarkan oleh Direktur Regional Afrika WHO Dr. Matshidiso Moeti.

“Kami tidak menerima data atau informasi apapun terkait COVID-19 dari Tanzania. Kami sudah berupaya untuk mendorong mereka agar membuka data, tidak hanya untuk WHO, paling tidak untuk negara tetangga,” ujar Moeti dilansir dari Devex.

Kentalnya Politik Identitas dan Represi Kebebasan Pers

John Magufuli adalah seorang kristen yang taat. Dengan modal itulah, ia berhasil meraih simpati dan suara masyarakat Tanzania dan memenangkan kursi presiden pada 2015. Dengan pendekatan yang sama, ia menangani krisis pandemi di Tanzania.

Penyangkalan demi penyangkalan soal situasi sebenarnya pandemi COVID-19, ia sampaikan di depan publik, yang ironisnya namun tidak mengejutkan, diterima oleh banyak orang di sana.

“Kita harus mengutamakan Tuhan dalam memerangi virus ini. Namun secara bersamaan kita juga harus melakukan tindakan pencegahan untuk melindungi diri kita,” ujar Magufuli, terkait penolakannya terhadap vaksin COVID-19 yang dianggap berbahaya.

“Kita telah hidup setahun tanpa virus ini. Buktinya adalah sebagian besar dari kalian tidak mengenakan masker,” lanjut Magufuli.

Politik identitas yang kental membuat pernyataan penyangkalan Magufuli soal COVID-19 menjadi banyak diterima masyarakat dan membuatnya terpilih kembali pada pemilu 28 Oktober 2020.

Selain itu, melansir Devex, represi terhadap kebebasan berpendapat dan pers juga tinggi. Media lokal Tanzania dilarang mempublikasi konten soal COVID-19 tanpa izin pejabat yang berwenang. Lantaran hal itu masyarakat Tanzania kesulitan mendapat akses terkait virus yang sudah menewaskan 2 juta orang di dunia.

Oryem Nyeko, peneliti Human Rights Watch, meyakini bahwa COVID-19 digunakan untuk menekan media jelang pemilu.

“Kami menemukan banyak kasus di Tanzania, COVID-19 atau publikasi apapun soal COVID-19 digunakan sebagai alasan untuk menekan media maupun orang yang membicarakan narasi yang bertentangan dengan pemerintah,” ujarnya.

Dua editor yang tak mau disebutkan identitasnya dari suratkabar independen mengatakan pada HRW, “sejumlah pejabat secara informal bilang kepada mereka untuk tidak mempublikasikan apapun yang pemerintah tidak suka, salah satunya mengenai COVID-19.

Dengan menyembunyikan data riil soal COVID-19 secara sistemik melalui kekuasaannya, Magufuli berupaya menciptakan kenyataan semu, yang suka atau tidak, dipercaya banyak orang di negara itu.

“Tidak ada virus Corona di Tanzania,” tandas seorang warga, mengamini klaim-klaim Magufuli.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Dieqy Hasbi Widhana