tirto.id - Tubuh itu terbungkus plastik terpal, dalam keadaan bengkak dan dikerubungi lalat. Rosangelys Valdiviezo mengenalnya sebagai tetangga yang selalu ia lewati sepulang bekerja kendati mereka tidak pernah bertegur sapa.
Sekarang tetangganya itu terbaring di depan rumahnya, salah satu dari jumlah mayat yang terabaikan di jalan-jalan Guayaquil, Ekuador.
Valdiviezo merupakan seorang imigran Venezuela yang bekerja di industri makanan laut di Guayaquil. “Saya sangat takut,” cerita Valdiviezo kepada Washington Post lewat sambungan telepon.
“Saya tidak mau sekarat saat jauh dari rumah seperti ini,” katanya lagi.
Dalam beberapa minggu terakhir, situasi di Guayaquil sama sekali tak pernah terbayangkan oleh para penduduknya. Ratusan jenazah tergeletak di jalan, diabaikan selama berhari-hari lantaran diduga terjangkit COVID-19.
Pihak kerabat tidak ada yang berani menyentuhnya sementara bantuan medis dari otoritas setempat tak kunjung datang.
“Sepupuku sudah empat hari meninggal. Tapi tidak ada bantuan yang datang. Kami sudah menelepon. Sementara ada juga yang sakit di sini,” demikian kesaksian seorang warga Guayaquil kepada Washington Post.
Guayaquil merupakan kota pelabuhan terbesar di Ekuador. Kota ini terletak di provinsi Guaya, ibu kota Ekuador, salah satu daerah padat penduduk dan kumuh di wilayah itu. Sekarang, kota ini mencekam dengan jasad-jasad terabaikan di jalanan.
Banyak penduduknya kerap melanggar perintah lockdown yang diberlakukan pemerintah Ekuador sejak 17 Maret saat kasus positif COVID-19 di negara ini masih 53 kasus.
Akibatnya, kapasitas rumah sakit, kamar dan kantung mayat, hingga tempat pemakaman tak mampu menampung mereka yang meninggal. Guayaquil menjelma menjadi “kota mayat”.
France 24 melaporkan sekitar 800 jenazah dikeluarkan dari rumah-rumah oleh kepolisian yang ditugaskan oleh satgas yang dikhususkan mengurus kematian oleh pemerintah.
Meningkatnya jumlah kematian ini mengakibatkan krisis kantung mayat dan peti jenazah, sehingga beberapa di antaranya harus menggunakan kardus sebagai pengganti peti jenazah.
Jumlah Kematian Riil Lebih Banyak
Ekuador mencatat kasus pertama COVID-19 pada 29 Februari 2020. Keesokan hari jumlah itu bertambah enam orang di Kota Guayaquil. Pada minggu pertama Maret, situasi memburuk cukup tajam.
Pemerintah Ekuador akhirnya memutuskan meliburkan sekolah, meningkatkan pengecekan terhadap pendatang luar negeri, dan membatasi pertemuan maksimum 250 orang pada 12 Maret. Satu hari setelahnya, Ekuador melaporkan kematian pertama akibat COVID-19. Pada saat itu pula, pemerintah langsung memberlakukan karantina terhadap seluruh pendatang luar negeri dan empat hari kemudian mengeluarkan kebijakan pembatasan kerumunan hanya untuk 30 orang dan membatalkan seluruh penerbangan internasional.
Pada 18 Maret, Gubernur Guaya mulai memberlakukan swakarantina kepada seluruh warga. Namun, kebijakan ini menjadi problematik mengingat ratusan ribu penduduk di provinsi itu mengandalkan pemasukan harian untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sementara pemerintah belum menjamin kebutuhan pokok untuk mereka.
Grafik kasus positif di Ekuador dilaporkan masih fluktuatif. Hingga pada 10 April, jumlah itu melonjak drastis menjadi 7.161 kasus dari 4.965 kasus pada 9 April. Artinya, ada lonjakan 2.196 kasus dalam sehari.
Per 20 April 2020, kasus COVID-19 di Ekuador mencapai 10.128 kasus dengan jumlah kematian mencapai 520 orang atau tingkat kematiannya 5,1 persen.
Jika dibandingkan Indonesia, tingkat kematian akibat COVID-19 di Ekuador masih lebih rendah. Saat ini Indonesia mencatat tingkat kematian 8,6 persen. Namun, mengapa Ekuador bisa sampai kewalahan menangani para korban meninggal?
Salah satu dugaannya: jumlah kematian sesungguhnya jauh lebih banyak dari yang dilaporkan otoritas Ekuador. Hal ini disampaikan salah seorang pejabat Ekuador kepada npr.org.
Ketua Gugus Tugas penanganan COVID-19 Ekuador Jorge Wated pada 16 April melaporkan ada 6.703 kematian dalam 15 hari pertama di bulan April, baik yang terkait COVID-19 maupun sebab kematian lain. Jika dibandingkan saat sebelum pandemi menyebar, angka kematian di kota itu rerata sekitar 1.000 hingga 2.000 kematian setiap bulan.
Hal tersebut dibenarkan Menteri Dalam Negeri Ekuador Maria Paula Romo bahwa angka kematian riil memang lebih tinggi lantaran kurangnya tes swab di negara itu. Bahkan, Presiden Lenin Morena mengakui hal tersebut.
“Kami harus mengatakan yang sejujurnya,” kata Moreno, masih melansir npr.org. “Kami tahu jumlah kasus positif maupun kematian masih rendah. Kami tidak punya cukup test kit.”
Wated bahkan memprediksi korban meninggal akibat COVID-19 bisa mencapai 2.500-3.500 di Provinsi Guaya saja.
Dari sisi ketersediaan tenaga medis, Ekuador pun kewalahan. Dokter Eduardo Herdocia yang baru 18 bulan lulus dari sekolah kedokteran mengaku saat ini menangani 200 pasien yang ia yakini terjangkit COVID-19. Namun, karena kurangnya pengujian swab, hanya dua lusin yang terkonfirmasi positif. Herdocia bahkan sampai membuka praktik di rumah karena seluruh rumah sakit di Guayaquil penuh dengan pasien COVID-19.
“Banyak dari mereka membutuhkan perawatan rumah sakit. Mereka berkeliling kota untuk mendapat perawatan. Tapi semua fasilitas kesehatan di kota ini sudah penuh,” ujar Herdocia.
Herdocia mengaku banyak panggilan darurat yang diterima ponselnya. Namun, sayangnya, ia tak bisa memenuhi semua panggilan tersebut. “Begitu saya sampai ke rumah mereka, beberapa sudah meninggal. Saya merasa tidak berdaya,” imbuhnya.
Menkes Ekuador Mengundurkan Diri
Pada 21 Maret, secara mengejutkan Menteri Kesehatan Ekuador Catalina Andramuno mengundurkan diri. Padahal pagi harinya ia masih sempat mengumumkan akan mendatangkan dua juta test kit yang akan segera tiba. Namun, penggantinya menyatakan tidak ada bukti pembelian dua juta alat test kit tersebut dan hanya 200 ribu yang sedang dalam perjalanan.
Dalam surat pengunduran dirinya, Andramuno mengeluh pemerintah tak cukup mengalokasikan anggaran untuk kementeriannya untuk menghadapi kondisi darurat COVID-19. Merespons hal itu, Kementerian Keuangan Ekuador mengatakan Kemenkes memiliki cukup anggaran yang tak terpakai dan seharusnya bisa digunakan pada tahun anggaran 2020.
Faktanya, anggaran yang sudah disetujui sebelumnya bahkan sulit untuk dicairkan, terlebih dalam situasi tak terduga dan jumlah besar seperti yang dibutuhkan dalam krisis COVID-19.
Betatapun demikian, pemerintah Ekuador membantah mentah-mentah pemberitaan yang ditampilkan media global terkait situasi COVID-19 di negara tersebut. Seluruh kementerian dan perwakilan luar negeri diminta untuk menyatakan situasi-situasi yang digambarkan media itu sebagai hoaks.
Duta besar Ekuador di Spanyol bahkan menyebut pemberitaan mengenai “mayat-mayat bergelimpangan di trotoar” adalah propaganda yang dibuat Rafael Correa—mantan presiden Ekuador—dan pendukungnya untuk menjatuhkan pemerintah.
Namun, pernyataan itu justru menjadi bumerang. Media global semakin getol untuk menguliti penanganan semrawut COVID-19 di Ekuador.
Editor: Gilang Ramadhan