Menuju konten utama

Lockdown India Sebabkan Kekacauan, Apa yang Terjadi?

Lockdown total di India menyebabkan eksodus ribuan pekerja imigran, ancaman kelaparan massal, kekerasan, dan kematian.

Lockdown India Sebabkan Kekacauan, Apa yang Terjadi?
Polisi berpatroli di sebuah jalan setelah kerusuhan meletus antara dua kelompok di New Delhi, India, Senin (24/2/2020). (AP Photo/Dinesh Joshi)

tirto.id - Perdana Menteri India Narendra Modi, menerapkan kebijakan lockdown untuk menangani pandemi Corona COVID-19, mulai Selasa pekan lalu, 24 Maret 2020. Aturan itu membuat pemerintah negara-negara bagian langsung menutup perbatasan. Banyak transportasi umum berhenti beroperasi, sementara di jalan-jalan aparat bersiaga dan sigap menghentikan kendaraan pribadi.

Di India, COVID-19 tercatat mencapai 1024 kasus dengan 27 kematian sampai kemarin lusa.

Tak sampai seminggu setelah diterapkan, kebijakan lockdown menyebabkan kerusuhan luar biasa. Dua kasus paling mencolok adalah kelaparan massal dan kematian orang-orang kota yang mencoba pulang kampung.

#ModiMadeDisaster bahkan sempat jadi trending topic di Twitter pada Minggu 29 Maret kemarin.

Politikus oposisi Rahul Gandhi lantas melontarkan kritik pedas. Ia menilai kerusuhan terjadi--yang sebagian besar korbannya adalah warga miskin--karena Modi tidak memikirkan lockdown masak-masak.

“Ini sangat memalukan. Kita telah membiarkan warga India diperlakukan begini. Pemerintah tidak punya rencana darurat untuk eksodus ini,” kata Gandhi di Twitter, sambil mengunggah video ribuan pekerja berjalan kaki pulang ke kampung.

Sundaraman dari Gerakan Kesehatan Masyarakat juga mengecam keputusan lockdown, yang menurutnya terlalu tiba-tiba. Ia mengatakan kepanikan akan lockdown lebih mengerikan ketimbang kepanikan karena COVID-19 sendiri.

“Kalian (pemerintah) tidak bisa menyetop transportasi publik seperti itu. Lockdown harusnya dilakukan bertahap. Masyarakat tidak boleh ditelantarkan tanpa pendapatan, tanpa pekerjaan. Bahkan di negara otoriter, mereka akan tahu bahwa ini adalah kewajiban negara,” kata Sundarman kepada Aljazeera.

Kritik juga disampaikan politikus Dipankar Bhattacharya dalam opininya di National Herald. Menurutnya kebijakan lockdown Modi minim perencanaan. Pemerintah juga tak punya rencana jelas tentang apa yang mesti didahulukan dan apa yang tidak.

“Pemerintah menghabiskan 20 ribu lakh rupe untuk merenovasi gedung parlemen dan pusat pemandangan, delapan ribu lakh rupe untuk membeli senapan senjata ringan, dan hanya 15 ribu lakh rupe untuk infrastruktur kesehatan,” tulis Bhattacharya.

Pemerintahan Modi juga dianggap lamban dalam menghadapi penyebaran COVID-19. Satu contoh kecil: tak ada pemantauan atau karantina penumpang yang datang dari negara-negara terinfeksi sampai awal Maret ini. Bahkan, “kita semua tahu, pada akhir Februari kemarin India sibuk dengan kunjungan [Presiden AS Donald] Trump.”

Lockdown itu mungkin penting, tapi cara pemerintah yang mengumumkannya tanpa waktu telah menyebabkan kepanikan massal,” tambahnya.

Selepas Modi mengumumkan lockdown ketat selama 21 hari untuk mengunci 80 kota dan distrik, ratusan ribu orang di kota-kota besar memutuskan pulang kampung. Ini terjadi karena semua bisnis di luar pangan, farmasi, serta layanan komunikasi dan finansial terpaksa tutup. Padahal, lebih dari 90 persen tenaga kerja di India bekerja di sektor informal: dari mulai wiraswasta seperti pedagang kaki lima hingga buruh harian lepas yang tak mengenal jaminan sosial dan cuti berbayar.

Bahkan hampir 40 persen pekerja di kota-kota India buta huruf, dan kebanyakan tak punya dokumen resmi.

Salah satu yang memutuskan pulang kampung adalah Parma Bandhari, buruh asal Pune, India bagian barat. Ia dan 60 orang lain sudah memesan tiket bus reyot setara Rp34 jutaan untuk mengantarkan mereka ke kampung di daerah perbukitan Mangalsen, Nepal. Sayangnya, sehari sebelum berangkat, perbatasan ditutup.

Kini ia terjebak di India, padahal sudah berjanji akan menghadapi virus COVID-19 bersama keluarga, apa pun yang terjadi.

“Sekarang sudah tak ada jalan pulang. Apa pun itu, kami harus menghadapinya di sini,” kata Padam Bandhari (32), buruh migran, teman sekampung dan teman sekamar Parma Bandhari di Pune kepada Aljazeera.

Tak semuanya menyerah seperti dua Bandhari. Ribuan migran dikabarkan tetap berusaha pulang dengan berbagai cara, yang tak jarang berujung duka. Ranveer Singh (39), petugas antar makanan di sebuah restoran di Tughlakabad, New Delhi, misalnya, tewas setelah kelelahan berjalan 200 kilometer saat pulang ke kampung Badra, Madhya Padresh, untuk bertemu istri dan tiga anaknya.

“Kami adalah petani miskin, tak tahu cara menghidupi anak-anak tanpa nafkah dari bapak mereka,” kata Sonu Singh, adik Ranveer, saat dihubungi Times of India.

Tak hanya Ranveer, sejumlah media lokal mengabarkan kematian lain akibat lockdown: kakek 62 tahun meninggal setelah berjalan delapan kilometer karena tak menemukan angkutan, empat migran tewas ditabrak truk saat berjalan pulang ke kampung halaman, sampai kakek 60 tahun yang kena serangan jantung tewas karena ambulansnya tak boleh melewati perbatasan daerah yang sedang lockdown.

Polisi Brutal dan Ancaman Krisis Pangan

Masalah lain akibat kebijakan lockdown dadakan itu datang dari polisi. Di Twitter, tersebar video polisi New Delhi memukuli penjual susu di tokonya. Satu orang di Benggala Barat bahkan dikabarkan meninggal karena dipukuli polisi yang menjadikan lockdown sebagai alasan melakukan kekerasan.

Reetika Khera, dosen di Indian Institute of Management, Ahmedabad, mengklaim pidato Modi jadi pemicu kepanikan masal di kalangan migran.

“Sekarang, polisi adalah masalah terbesar. Mereka menyalahgunakan aturan pemerintah. Polisi malah jadi pelanggar [aturan] terbesar. Saya tak yakin dengan strategi komunikasi pemerintah,” kata Khera.

Kebrutalan polisi ini juga telah memicu keresahan warga. Video polisi dan aparat yang memukuli penduduk karena tidak mematuhi imbauan untuk berada di rumah jadi sumber kemarahan warga Goa, yang suplai pangannya menipis.

“Sistem pengiriman dari pemerintah bergantung kepada relawan. Namun, mereka yang kebagian jatah hanya yang mendapat rekomendasi. Ini menyulitkan kami jika ada kebutuhan yang mendesak. Pemerintah sudah memberi nomor telepon darurat untuk kami jika membutuhkan pasokan, tetapi mereka juga tidak bekerja baik. Ini kacau,” kata Sapna Shahani, salah seorang warga Goa.

Lockdown ini juga menyebabkan penutupan layanan kesehatan. Leena Megahney, ahli hukum khusus kesehatan publik, mengklaim orang-orang dengan penyakit tertentu kini terlantar tanpa perawatan kesehatan.

“Saya tahu sejumlah orang dengan HIV (ODHA) yang terlantar. Sama seperti beberapa pasien kanker yang kepayahan mencari layanan kesehatan dasar. Ini harus segera diatasi karena salah satu dampak paling buruk dari COVID-19 adalah orang-orang dengan penyakit ini yang akan jadi tumbalnya,” tambahnya.

Atas semua yang terjadi, Perdana Menteri Narendra Modi akhirnya meminta maaf ke publik, Minggu, 29 Maret kemarin. Ia menyadari kalau keputusan lockdown yang dibikinnya demi melawan pandemi telah berdampak buruk.

“Saya memohon maaf karena mengambil langkah-langkah ini sehingga menyebabkan kesulitan hidup Anda, terutama para warga miskin. Aku tahu beberapa dari kalian marah kepada saya, tapi ini keputusan sulit untuk memenangi perang [melawan COVID-19],” kata Modi dalam pidato yang disiarkan radio pemerintah.

Masyarakat miskin “pasti akan berpikir perdana menteri seperti apa, yang telah menempatkan kita dalam banyak masalah begini,” tambah Modi, yang berharap masyarakat dapat memahami keputusannya.

Namun, ia juga mengeluarkan pernyataan defensif yang bilang, “langkah-langkah yang diambil sejauh ini akan memberikan kemenangan pada India dalam melawan Corona.”

Baca juga artikel terkait LOCKDOWN DI INDIA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Hukum
Penulis: Aulia Adam
Editor: Rio Apinino