Menuju konten utama

Iran dan Kegagapan Pemerintahannya Menghadapi Corona COVID-19

Pemerintah Iran sempat membatasi informasi jumlah penderita corona dan menyebutnya sebagai "propaganda asing".

Iran dan Kegagapan Pemerintahannya Menghadapi Corona COVID-19
Seorang medis merawat seorang pasien yang terinfeksi virus corona, di sebuah rumah sakit di Teheran, Iran, Minggu (1/3/2020). (Ali Shirband/Mizan News Agency via AP)

tirto.id - Iraj Harirchi, Wakil Menteri Kesehatan Iran terus menerus mengelap keringat di dahinya dengan sebuah sapu tangan di tengah konferensi pers pada Senin, 24 Februari 2020. Di sebelahnya, Juru Bicara Pemerintah Iran Ali Rabiei masih terus berbicara kepada pers.

Konferensi pers itu terkait update terkini kondisi di tengah penyebaran virus COVID-19 di Iran. Pemerintah Iran membantah pihaknya menyembunyikan informasi terkait jumlah kasus Corona dan kematian sebenarnya di negara itu. Per Selasa, 25 Februari 2020, pemerintah Iran melaporkan 95 kasus dan 15 kematian.

Sehari setelah konferensi pers, Harirchi dinyatakan positif Corona. Dalam videonya, ia mengaku tengah menjalani karantina.

“Saya ingin menyampaikan bahwa saya juga positif terkena Corona. Saya demam sejak kemarin (24/2/2020) dan hasil tesnya keluar tadi malam. Kondisi saya tidak terlalu buruk. Saya sedikit mengalami radang dan demam. Saya yakin kita bisa hadapi virus ini dalam beberapa minggu ke depan,” ujar Harirchi.

Selang seminggu, Mirmohammadi, anggota dewan penasihat pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei dilaporkan meninggal pada Senin (2/3/2020) akibat virus Corona, menurut laporan kantor berita Iran yang dikutip South China Morning Post.

Ia menjadi pejabat tinggi Iran pertama yang menjadi korban virus Corona, sehingga memengaruhi anggota dewan lainnya di negara tersebut.

Mirmohammadi meninggal di rumah sakit di Teheran utara karena virus itu, kata kantor berita radio pemerintah. Dia berusia 71 tahun. Selain Mirmohammadi, Wakil Presiden Masoumeh Ebtekar, lebih dikenal sebagai ‘Suster Mary’ juga dikonfirmasi terinfeksi virus Corona.

Ebtekar menjadi pejabat ketujuh yang terinfeksi virus Corona di Iran. Hingga saat ini, sudah ada sekitar 20 pejabat yang terinfeksi.

Kematian Tertinggi Setelah Cina

Hanya sekitar dua minggu lalu, otoritas Iran berkeyakinan virus Corona tak akan memengaruhi negara itu. Namun kini Iran menjadi episentrum penyebaran COVID-19 di Timur Tengah.

Hingga Selasa (3/3/2020), kasus virus Corona di Iran mencapai 2.336 dengan total korban meninggal mencapai 77 orang. Iran memiliki jumlah kematian tertinggi di dunia setelah Cina, pusat penyebaran penyakit itu. Sementara jumlah warga yang sembuh sebanyak 435 orang.

Jalanan sepi, sekolah-sekolah diliburkan, bioskop ditutup. Transportasi publik seperti kereta disemprot cairan disinfektan dua sampai tiga kali sehari. Bahkan ibadah salat Jumat pun ditiadakan, pertama kalinya setelah Revolusi Iran 1979.

Dari pola penyebaran yang tercatat oleh BNO News, Iran dilaporkan menjadi negara asal penyebaran virus ke beberapa negara tetangga dan negara lainnya. Pada 1 Maret, satu kasus baru di Armenia dilaporkan baru-baru ini memiliki riwayat perjalanan ke Iran. Begitu pun pada enam kasus baru di Irak dan dua kasus baru di Qatar yang seluruhnya baru saja melakukan perjalanan ke Iran.

Pada 2 Maret, kasus pertama di Arab Saudi dan New York juga dilaporkan tercatat memiliki riwayat perjalanan ke Iran sebelumnya. Beberapa kasus baru di sejumlah negara diketahui juga berasal dari Iran seperti 4 kasus baru di Qatar, dua kasus baru di Bahrain, dua kasus baru di Irak, 10 kasus baru di Kuwait dan satu kasus pertama di Tasmania.

Dikutip dari Guardian, Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan pada sebuah pengarahan di Jenewa bahwa wabah Corona di Iran, Korea Selatan, Italia, dan Jepang adalah yang paling mengkhawatirkan.

"Kami berada di wilayah yang belum dipetakan dengan COVID-19," katanya. “Kami belum pernah melihat patogen pernafasan yang mampu menularkan masyarakat, tetapi juga bisa diatasi dengan tindakan yang tepat.”

Secara global, kasus virus Corona mencapai 92.238 dengan total kematian sebanyak 3.135 orang. Jumlah warga yang pulih mencapai 48.022 orang. Kasus Corona paling banyak terdapat di Cina dengan jumlah 80.151, diikuti Korea Selatan sebanyak 5.186 kasus, Italia 2.036 kasus dan diikuti Iran 2.336 kasus.

Erat dengan Cina, Panas dengan AS

Kasus pertama di Iran pertama kali dilaporkan pada 19 Februari di Kota Suci Qom, sekitar 145 kilometer bagian selatan ibukota Teheran. Diduga virus menyebar melalui warga Iran yang secara intensif mempunyai kerjasama dagang dengan Cina, mengingat Iran masih mendapat sanksi dari Amerika Serikat. Padahal sekitar dua minggu lalu, pemerintah Iran masih begitu percaya diri negaranya tidak akan terdampak virus Corona.

Pada pekan pertamanya, virus ini menyebar dengan cepat dan menyebabkan 26 pasien positif Corona meninggal dunia. Publik mulai bersiaga. Namun, pemerintah Iran justru menanggapi krisis ini dengan mengaitkannya pada hubungan rumit Iran-Amerika Serikat dan menyebutnya sebagai “propaganda asing”.

“Kami tidak boleh membiarkan AS menggunakan virus ini untuk menebar ketakutan dan membatasi aktivitas kita. Apa yang kita lihat sekarang adalah konspirasi dan propaganda luar negeri,” ujar Presiden Hassan Rouhani pada rapat kabinet, seperti yang dilansir South China Morning Post.

Kendati sudah memakan korban banyak warganya, Rouhani bersikeras tidak akan mengkarantina distrik atau kota mana pun. “Hanya karantina individu,” tegas Rouhani seperti dilansir BBC.

Ketika angka pasien meninggal sudah mencapai 77 orang, petugas medis Iran bahkan diminta untuk bungkam. Seorang suster di Hamedan mengirim sebuah pesan singkat kepada keluarganya, yang kemudian dibagikan kepada New York Times.

Isinya mengenai peringatan dari Dinas Keamanan Iran bahwa membagikan informasi mengenai pasien yang terinfeksi Corona merupakan bentuk “ancaman terhadap keamanan nasional” dan “menimbulkan ketakutan publik”. Jika dilanggar, maka petugas medis akan menghadapi komite disipliner.

Pada akhirnya, Iran berniat menerjunkan 300 ribu tentara dan relawan untuk menangani penyebaran virus COVID-19 setelah virus itu menyerang parlemen dan menyebabkan dua pejabat Iran meninggal dunia.

Dengan pendekatan militer yang diambil alih-alih penanganan medis yang komprehensif, pemerintah Iran nampaknya belum cukup mumpuni dalam menangani wabah sebesar COVID-19.

Hal ini ditegaskan Peneliti Senior Middle East Institute at the National University of Singapore (NUS) Asif Shuja. “Iran belum punya pengalaman menangani wabah sebesar ini.” Jika merujuk pada MERS, lanjut Shuja, wabah itu tak berdampak cukup signifikan terhadap Iran.

Kuncinya, ada pada hubungan dagang Iran-Cina yang demikian erat. Warga negara Iran yang meninggal setelah positif Corona memiliki riwayat perjalanan rutin Iran-Cina.

“Wabah Corona menjadi tantangan berat bagi Iran, terutama karena sistem pelayanan kesehatan mereka yang buruk. Belum lagi sanksi dari AS yang menghentikan segala bentuk kerjasama antar-dua negara itu setelah AS menarik diri dari Kesepakatan Nuklir Iran,” pungkas Shuja.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Gilang Ramadhan