tirto.id - Vaksin Kota New York untuk semua: aman, gratis, mudah
Dapatkan 100 dolar ketika Anda divaksin!
Kalimat di atas tercetak jelas pada poster warna-warni yang dirilis oleh pemerintah New York, Amerika Serikat. Siapa pun yang datang dan menerima vaksin dosis pertama di sentra vaksinasi di kawasan padat seperti Brooklyn, Queens, Bronx, Manhattan dan Staten Island akan membawa pulang uang 100 dolar (Rp1,4 juta). Sedikitnya 80 ribu orang sudah menerima insentif tersebut sejak program dibuka dua pekan lalu.
Membayar mereka yang mau divaksin merupakan kebijakan yang didorong oleh pemerintah pusat. Uangnya berasal dari dana penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi senilai 350 miliar dolar (nyaris Rp5.000 triliun).
Bentuk insentif bisa bermacam-macam. Di negara bagian California, 2 juta warga bisa mendapatkan kupon belanja senilai 50 dolar setelah divaksin dan diikutsertakan dalam undian dengan hadiah paket liburan ke Disneyland dan tiket nonton pertandingan tim bisbol Giants. Di Massachusetts, tersedia beasiswa pendidikan masing-masing senilai 300 ribu dolar untuk lima remaja beruntung yang sudah divaksin. Di Hawaii, tiga penerima vaksin berpeluang menang undian makan piza gratis selama satu tahun.
Namun, beragam upaya berbiaya mahal ini tidak lantas sukses menggenjot tingkat vaksinasi. Paman Sam masih terpuruk. Tingkat vaksinasi dosis penuh di sana paling rendah (54 persen) di antara negara kaya raya G7 per 23 September.
Syarat Wajib Vaksin
Di AS, seperti di banyak tempat, juga ada orang-orang yang tidak percaya Covid-19 atau tak mau divaksin atau kombinasi keduanya. Seiring program vaksinasi digencarkan, protes untuk menentangnya pun semakin ramai terutama setelah pemerintah kota atau negara bagian mulai mensyaratkan vaksin untuk berbagai hal—atau disebut dengan kebijakan mandat vaksin (vaccine mandate).
Menurut mereka, mandat vaksin adalah paksaan yang mengekang kebebasan atau hak pribadi untuk memilih. Para penentang biasanya merupakan warga yang mengaku sebagai “penjaga kebebasan”.
Agustus kemarin, ratusan “penjaga kebebasan” berkumpul di depan Rady Children’s Hospital di San Diego, California, untuk memprotes pemda yang mengusulkan syarat vaksin pada tenaga kesehatan. Slogan yang lazim disuarakan aktivis proaborsi, “my body, my choice—tubuhku, pilihanku”, diserukan para demonstran. Dari kacamata kalangan antivaksin, vaksin diyakini sebagai keputusan pribadi sebagaimana keputusan untuk menggugurkan kandungan.
Demonstrasi tersebut diikuti pula oleh segelintir perawat. Mereka merupakan kelompok profesional yang cukup aktif menyuarakan kritik terhadap keamanan vaksin atau syarat wajib vaksin di media sosial. Mereka mendulang dukungan dari kalangan antivaksin di Facebook, Instagram, sampai TikTok.
Perlu dicatat bahwa keputusan Presiden Joe Biden bukanlah aturan yang otomatis mengikat setiap warga di penjuru negeri. Mandat vaksin merupakan wewenang pemerintah negara bagian atau otoritas daerah, menurut Lawrence O. Gostin, profesor hukum kebijakan publik di Georgetown University. Maka tak heran sembilan negara bagian juga mengambil langkah hukum untuk mencegah aturan yang mewajibkan vaksin meskipun vaksinasi tetaplah dianjurkan.
Sikap kalangan antivaksin ini tentu merugikan, termasuk dari segi ekonomi. Sejak Juni sampai Agustus, LSM Kaiser Family Foundation memperkirakan perawatan terhadap pasien yang tidak divaksin di rumah sakit sudah menelan 5,7 miliar dolar atau lebih dari Rp80 triliun—suatu pengeluaran yang sebenarnya bisa dihindari.
Tak heran jika kesabaran Presiden Biden menipis. “Ini bukan tentang kebebasan atau pilihan pribadi,” katanya awal September ini, ketika mewajibkan pegawai pemerintah federal dan pusat divaksin. “Tapi tentang melindungi dirimu sendiri dan semua orang di sekitarmu.”
Keputusan Biden diperkirakan akan berdampak pada sekitar 100 juta pegawai, termasuk tenaga medis di bawah layanan kesehatan nasional Medicare dan Medicaid dan pengajar serta staf pendidikan di beberapa kementerian.
Apa akibatnya jika mereka menolak? Pertama, akan mendapatkan bimbingan konseling. Kedua, apabila masih bersikeras tidak mau divaksin, mereka berpotensi kehilangan pekerjaan.
Perusahaan pun harus siap didenda sampai 14 ribu dolar (Rp 200 juta rupiah) per pelanggaran. Mandat vaksin rencananya memang juga bakal diberlakukan pada sektor swasta yang mempekerjakan lebih dari 100 orang.
Perusahaan besar di AS umumnya sudah mensyaratkan vaksin pada karyawan, seperti maskapai United Airlines, Google, Netflix, Ford, Disney, McDonald’s sampai kantor berita seperti Washington Post dan New York Times. Bahkan, 90 persen lebih karyawan di media konservatif Fox News sudah divaksin, sementara sisanya wajib menunjukkan hasil tes negatif Covid-19 setiap hari.
Fasis dan Nazi; Tuduhan yang Ngawur
Meski sebagian besar pekerja Fox News telah divaksin, sikap politik media ini sendiri menentang mandat vaksin. Mereka menyematkan julukan “otoriter” dan “ketua-pemecah-belah” kepada Biden. Sementara media di spektrum yang sama seperti Breitbart menuding Biden sudah jadi “totalitarian sepenuhnya,” sementara Federalist menyebut mandat vaksin sebagai “langkah fasis.” Istilah-istilah tersebut juga kerap keluar dari mulut sederet politikus Republikan.
Menurut penganut teori konspirasi QAnon sekaligus anggota DPR dari negara bagian Georgia, Marjorie Taylor Greene, syarat vaksin dari Biden tak lebih seperti “mandat gaya-fasis.” Kepada Newsweek, Greene menegaskan bahwa pemerintah seharusnya mempersiapkan layanan pengobatan terbaik alih-alih memandatkan vaksin. “Saya mendukung kebebasan dan hak rakyat untuk mengambil keputusan medis terkait tubuh mereka sendiri,” katanya.
Greene bahkan mengaitkan mandat vaksin dengan pelanggaran Nuremberg Code. Berisi 10 poin aturan dan etika medis, Kode Nuremberg menekankan pentingnya persetujuan (consent) dari individu sebelum menerima eksperimen medis. Kode etik ini merupakan produk turunan dari keputusan pengadilan militer Nuremberg atas kejahatan perang Nazi, yang meliputi beragam praktik kejam berkedok eksperimen ilmiah yang berujung pada mutilasi, disabilitas, sampai kematian para tahanan Yahudi.
Kandidat senator dari Partai Republikan, Josh Mandel, menyerukan pendukungnya untuk membangkang dari “pemerintahan tirani” Biden. Mandel menyamakan administrasi Biden dengan Gestapo, polisi rahasia Nazi yang ditugaskan menghajar musuh-musuh Hitler dan penentang doktrinnya.
Polisi juga cukup keras menolak mandat vaksin. Serikat polisi terbesar AS yang ada di New York menyatakan vaksinasi sebagai “keputusan medis pribadi.” Hubungan mandat vaksin dan Nazi sempat diungkit juga oleh ketua asosiasi polisi Fraternal Order of Police, John Catanzara, saat menanggapi keputusan Wali Kota Chicago Lori Lightfoot yang mewajibkan vaksinasi terhadap para stafnya.
“Kita ini hidup di Amerika, sialan. Kita tak mau dipaksa melakukan apa pun. Titik. Ini bukan Nazi Jerman keparat…” diikuti kata-kata makian lain, Catanzara berkeluh kesah kepada Chicago Suntimes akhir Agustus silam.
Tentu tidak tepat membandingkan upaya pemerintah AS menggencarkan vaksinasi dengan sikap Nazi Jerman. Vaksinasi Covid-19 merupakan kebijakan kesehatan publik berbasis riset ilmiah untuk menyelamatkan nyawa manusia, alih-alih berkaitan dengan fasisme, genosida, dan kejahatan kemanusiaan.
Mengaitkan kedua hal tersebut justru sama saja menghina dan menyepelekan para korban Holocaust, dan tentu saja berangkat dari fakta yang salah kaprah.
Kebijakan kesehatan era Nazi tidaklah seperti yang diimajinasikan oleh politikus semacam Greene atau polisi sebebal Catanzara. Alih-alih memaksakan atau mewajibkan vaksinasi, Nazi justru ikut berperan melonggarkannya. Tujuannya sederhana: supaya tidak perlu menyuntikkan vaksin untuk ras yang mereka anggap rendah, yaitu bangsa Slavia di kawasan Rusia yang rencananya akan mereka koloni.
Branko Marcetic di Jacobin menjabarkan bagaimana Nazi memanfaatkan kebijakan yang longgar tentang vaksinasi untuk memenuhi kepentingan politik mereka.
Kebijakan kesehatan yang kokoh sudah diberlakukan sejak era Kekaisaran Jerman (1871-1918) di bawah kepemimpinan Otto von Bismarck. Sekitar satu setengah abad lalu, wabah cacar air menelan puluhan ribu korban jiwa di Prusia. Oleh karena itu, pada 1874, kekaisaran mulai mewajibkan vaksin bagi balita dan calon tentara serta vaksinasi rutin untuk anak-anak. Kebijakan tersebut berlangsung sampai menjelang naiknya Adolf Hitler ke tampuk kekuasaan.
Pada penghujung era Republik Weimar (1918-1933), mulai muncul sentimen antivaksin yang kerap dikaitkan teori konspirasi anti-Yahudi. Vaksinasi dituding sebagai cara Yahudi untuk menghancurkan rakyat Jerman—narasi yang hari ini masih terdengar familier di media sosial.
Otoritas Weimar akhirnya menangguhkan kebijakan wajib vaksin. Bukan karena tekanan kalangan antivaksin, tapi karena pada 1930 sebanyak 72 balita di kota Lübeck meninggal dunia setelah menerima vaksin tuberkulosis yang terkontaminasi.
Pelonggaran ini diteruskan oleh Nazi yang dimulai pada 1933. Sekitar tiga tahun kemudian, warga Jerman bahkan tak lagi perlu menyertakan bukti sudah menerima vaksin cacar sebelum masuk sekolah menengah.
Hitler dan antek-anteknya menganggap syarat wajib vaksin adalah kebijakan yang menghambat ambisi mereka untuk mengenyahkan orang-orang non-Jerman. Penangguhan mandat vaksin dipandang strategis untuk menekan angka kelahiran orang-orang “inferior” yang mengancam dominasi dan superioritas ras Arya.
Namun tetap ada kelompok yang wajib divaksin. Pada 1942, saat merancang plot untuk menginvasi Rusia, Hitler mengatakan: “Vaksinasi wajib akan diterapkan untuk rakyat Jerman saja.” Ketua Partai Nazi, Martin Bormann, berpandangan serupa. Vaksinasi wajib dan layanan medis Jerman dianggap tidak berguna untuk orang Slavia—yang seharusnya bekerja untuk Jerman. Menurut Bormann, “kesuburan orang Slavia tidak diinginkan.”
Ringkasnya, vaksinasi sebagai pilihan atau atas dasar sukarela justru mempermudah Nazi mengenyahkan orang-orang yang mereka benci agar lebih rentan terserang penyakit, dan kelak tewas karenanya.
Tradisi Mandat Vaksin
Kebijakan mandat vaksin punya akar sejarah yang kuat. Pada saat AS melawan Inggris dalam Perang Revolusi (1775-83), panglima militer yang kelak menjadi Presiden pertama AS George Washington mewajibkan vaksinasi cacar pada tentara. Washington khawatir pasukannya bakal mati karena sakit sebab ketika itu wabah cacar air tengah merajalela. Sedangkan pasukan musuh cenderung lebih kebal karena mayoritas sudah pernah terinfeksi cacar, penyakit yang lebih dulu menjadi endemi di Inggris.
Pada 1777, setelah mengabari Kongres, Washington memerintahkan vaksinasi massal terhadap tentara yang belum pernah terinfeksi cacar. Tekniknya masih tradisional, sekadar menanamkan patogen cacar kepada pasien sehat—disebut inokulasi. Meskipun prosesnya menimbulkan risiko kontaminasi, Washington tak punya alternatif lain. Ia membutuhkan tentara dengan sistem imun kuat.
Pertaruhan sang jenderal berbuah manis. Meskipun segelintir personel masih ada yang terinfeksi, kasus berhasil diisolasi sehingga tak sampai berdampak pada performa resimen. Peperangan pun berlanjut sampai akhirnya dimenangkan oleh pasukan Washington.
Perjanjian Paris (1783) menjadi monumen pengakuan Inggris terhadap kemerdekaan AS, negara yang kelak berbangga karena vaksin Covid-19 buatannya dipuji paling efektif sedunia.
Argumentasi para penolak mandat vaksin selama pandemi Covid-19 pun sebenarnya mirip dengan alasan yang disuarakan sejak akhir abad ke-19, ketika gerakan antivaksin mulai menggeliat di AS. Satu abad silam mereka juga menuntut perlindungan terhadap kebebasan pribadi dan merasa khawatir terhadap efek samping vaksin.
Pada 1902, pastor asal Swedia bernama Henning Jacobson menggugat negara bagian Massachusetts karena mewajibkan vaksin cacar pada anak sekolah sejak 1855. Jacobson menetap di Cambridge, kota yang baru mengalami wabah cacar. Ia menolak divaksin karena pernah mengalami efek samping parah karenanya. Ia juga menolak bayar denda, lantas berargumen bahwa kebijakan kesehatan yang dilayangkan kepadanya sudah melanggar kebebasan pribadi.
Mahkamah Agung AS menolak gugatan Jacobson. Menurut hakim, mandat vaksin tidak melanggar kebebasan individu Jacobson karena keselamatan publik lebih mendesak.
Putusan dari Jacobson vs Massachusetts ini menjadi salah satu dokumen hukum penting tentang kebijakan publik di AS yang masih disinggung di ruang-ruang pengadilan sampai hari ini, ketika gugatan terhadap pemerintah lagi-lagi dilayangkan oleh pihak-pihak yang merasa kebebasannya sudah digerus selama pandemi.
Editor: Rio Apinino