tirto.id - “Dengan 33 juta kasus terkonfirmasi dan 600 ribu kematian akibat Covid-19, Amerika Serikat berusaha mengkambinghitamkan Cina alih-alih memeriksa perilakunya sendiri. Mereka maunya apa?”
Demikian tanggapan juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Zhao Lijian akhir Mei silam, persis setelah Presiden Joe Biden memerintahkan intelijen AS agar bekerja lebih keras dalam mengungkap asal-usul Covid-19, termasuk menelusuri dugaan kebocoran virus dari laboratorium di Cina.
Menurut Zhao, pemerintah AS ingin memanfaatkan pandemi “untuk memburu stigmatisasi dan manipulasi politik dalam rangka mengalihkan kesalahan”. Zhao juga mempertanyakan misteri yang terselubung di lab militer AS di Fort Detrick dan lebih dari 200 lab biologi milik AS di seluruh penjuru dunia, serta mengungkit wabah penyakit pernapasan yang dilaporkan di Virginia dan Wisconsin pada pertengahan 2019.
Beberapa hari kemudian, Kemenlu Cina malah meminta penjelasan dari pemerintah AS tentang kerjasama penelitian senjata biologis pasca-Perang Dunia II antara lab Fort Detrick dan para ilmuwan Jepang dari Unit 731, yang terkenal atas kebrutalannya menggunakan tawanan warga negara Cina sebagai kelinci percobaan untuk meneliti virus dan bakteri seperti pes, antraks, cacar air.
Pembuatan senjata biologis oleh otoritas AS juga dicurigai Kremlin. Pada bulan Mei, pejabat dari Badan Keamanan Rusia Nikolai Patrushev menyampaikan kepada media pemerintah Sputnik News bahwa beberapa tahun belakangan, AS dan sekutu-sekutu NATO mengembangkan rencana-rencana riset biologi bersama militer di berbagai negara dengan kedok menjaga perdamaian. Patrushev juga khawatir akan potensi kebocoran mikroba berbahaya dari lab-lab milik AS dan NATO yang didirikan di perbatasan Rusia.
AIDS: “made-in-USA”
Seiring ilmuwan berjibaku meneliti asal-usul ilmiah Covid-19, perdebatan tentang negara asal virus tampaknya akan terus diungkit sampai beberapa waktu ke depan. Di satu sisi, aksi saling tuding negara sumber penyakit bukanlah pertunjukan baru di panggung geopolitik dunia. Semasa Perang Dingin, tepatnya sejak pertengahan dekade 1980-an, Uni Soviet berada di balik penyebaran rumor bahwa pemerintah Amerika Serikat sengaja menciptakan HIV/AIDS untuk membinasakan kaum gay dan orang kulit hitam.
Narasi ini mengakar kuat sampai memasuki abad ke-21. Melansir survey yang diungkap di jurnal HIV Crinical Trials (2011), pada 1999, sekitar 27 persen orang Amerika keturunan Afrika percaya bahwa AIDS diciptakan pemerintah untuk membunuh kelompok masyarakat tertentu. Presentasenya meningkat jadi 34 persen pada 2003. Rumor ini juga dipercaya warga Hispanik (sekitar 20 persen) dan orang kulit putih (8 persen). Pada 2005, penyanyi rap Kanye West bahkan menuangkannya dalam lirik laguHeard 'Em Say (“And I know that the government administer AIDS—dan aku tahu pemerintah memberikan AIDS”). Yang memprihatinkan, kepercayaan terhadap pandangan ini turut mempengaruhi perilaku penganutnya. Masih pada 2005, berdasarkan hasil penelitian oleh RAND dan Oregon State University terhadap 500 orang Amerika keturunan Afrika, kalangan pria yang percaya teori konspirasi AIDS cenderung tidak konsisten memakai kondom.
Menurut Jacob Heller dalam studi berjudul “Rumors and Realities: Making Sense of HIV/AIDS Conspiracy Narratives and Contemporary Legends” (2015), konspirasi AIDS memang pernah menyebar luas di Amerika, namun kini hanya bertahan di kalangan warga kulit hitam. Masih melansir pandangan Heller, kepercayaan ini berkaitan dengan relasi historis yang suram antara masyarakat kulit hitam dan kulit putih, termasuk pandangan tentang otoritas kesehatan sebagai agen kekuatan orang kulit putih. Awetnya narasi ini sangat disayangkan karena dapat melanggengkan ide bahwa HIV/AIDS berasal dari aktor yang bisa disalahkan setiap saat, alih-alih sebagai masalah sosial dan kesehatan yang bisa diatasi melalui sains dan sistem layanan kesehatan.
Teori konspirasi “AIDS bikinan AS” ini bisa ditelusuri pada satu publikasi artikel koran berbahasa Inggris di New Delhi. Pada tanggal 17 Juli 1983, Patriot Magazine merilis tulisan anonim dari “ilmuwan dan antropolog terkenal Amerika” berjudul “AIDS May Invade India: Mystery Disease Caused by U.S. Experiments—AIDS mungkin menyerbu India: penyakit misterius disebabkan oleh eksperimen AS”.
Artikel ini menjelaskan bahwa AIDS adalah bagian dari eksperimen Pentagon untuk mengembangkan senjata biologis dan mengkaitkannya dengan fasilitas medis milik militer AS di Fort Detrick. Setelah AIDS memorak-porandakan Amerika, menurut si penulis, pemerintahnya bersiap-siap mengirimkan penyakit ini ke luar negeri, terutama negara ekonomi berkembang, supaya mereka mau tunduk pada Washington. Pakistan dipercaya sebagai lahan uji coba selanjutnya. Lokasinya yang berbatasan dengan India dikhawatirkan bakal mengancam penyebaran AIDS ke sana.
Kurang lebih dua tahun kemudian, naskah tersebut dijadikan sumber dalam artikel oleh media Soviet yang cukup berpengaruh, Literaturnaya Gazeta. Sampai akhirnya, cerita ini mendarat di Amerika Serikat. “Publikasi militer Soviet mengklaim bahwa virus penyebab AIDS bocor dari laboratorium militer AS yang melakukan eksperimen tentang senjata biologis,” demikian penyiar kenamaan Dan Rather mewartakan kepada 15 juta pemirsa dalam siaran petang CBS tanggal 30 Maret 1987.
Berdasarkan tabulasi yang diperoleh LA Times edisi Agustus 1987, lebih dari 200 artikel berita, siaran radio dan dokumen palsu tentang konspirasi AIDS sudah bersirkulasi di 74 negara. Sampai pertengahan tahun 1987 saja, terdapat 80 berita konspirasi AIDS—dengan sepertiganya berasal dari media pemerintah Soviet.
Masih melansir LA Times, mata-mata KGB Ilya Dzhirkvelov yang membelot pada 1980, menjelaskan bahwa kantor berita kecil di New Delhi, Patriot, didirikan dengan pendanaan Soviet pada 1962 dan senantiasa disokong dengan iklan-iklan bayaran Soviet. Tujuannya, sebagaimana Dzhirkvelov sampaikan sebagai saksi ahli dalam pengadilan London pada April 1987, tak lain agar Soviet “punya publikasi yang bisa memuat ide-ide kami dan memenuhi tujuan kami dalam usaha melemahkan kebijakan Amerika dan mempublikasikan disinformasi”.
Taktik Disinformasi Soviet
Selama Perang Dingin, baik Blok Barat maupun Timur memakai disinformasi untuk menjelek-jelekkan lawan. Di Soviet, salah satu pakar di bidang disinformasi adalah Ladislav Bittman, eks-agen intelijen Ceko yang pernah bekerjasama dengan KGB untuk memalsukan dokumen Nazi di dasar danau (Operasi Neptune, 1964). Dalam dokumenter pendek New York Times berjudul Meet the KGB Spies Who Invented Fake News (2018), Bittman mendefinisikan disinformasi sebagai “informasi yang sengaja didistorsi, yang dibocorkan secara diam-diam ke dalam proses komunikasi untuk menipu dan memanipulasi”.
Disinformasi, singkatnya, adalah omong kosong, atau sekarang populer dengan istilah berita bohong. Langkah penyebaran disinformasi oleh intelijen Soviet biasanya dimulai dengan menanamkan cerita di media negara-negara berkembang, yang lantas didaur ulang melalui jaringan berita internasional. Dengan demikian, pihak Soviet tidak bisa ditelusuri sebagai narasumbernya. Masih menurut temuan dokumenter The Times, sekiranya 25 persen jam kerja agen KGB dikerahkan untuk menyusun bahan disinformasi. Bahkan, setiap akhir tahun, kinerja mereka dievaluasi: seberapa banyak proposal disinformasi sudah berhasil diajukan.
Seperti diulas oleh penulis sains David Grimes untuk Guardian, disinformasi adalah komponen penting dalam doktrin “active measures”, suatu teknik yang dikenal di kalangan intelijen Soviet. Doktrin ini diwujudkan melalui manipulasi media, pemanfaatan grup atau kelompok tertentu, pemalsuan dokumen, dan kalau memungkinkan, pembunuhan. Grimes mengutip penjelasan dari eks-pemimpin tinggi KGB, Oleg Kalugin, bahwa “active measures” merupakan subversi—usaha menggerogoti sistem kekuasaan yang sudah mapan—dengan tujuan utama “melemahkan Amerika Serikat di mata orang-orang Eropa, Asia, Afrika, Amerika Latin”.
Peran KGB dan Stasi
Christopher Nehring adalah direktur akademik Museum Mata-mata Jerman di Berlin yang berhasil mengungkap aktivitas awal KGB dalam kampanye disinformasi AIDS berdasarkan arsip-arsip sejarah yang didapat di Sofia, Bulgaria. Temuan tersebut dikembangkan dalam studi berjudul “Operation ‘Denver’: KGB and Stasi Disinformation regarding AIDS” (2019) yang Nehring susun bersama peneliti sejarah Humboldt University, Douglas Selvage.
KGB rupanya pernah mengajak intelijen Bulgaria untuk bekerjasama mengampanyekan disinformasi AIDS. Dalam telegram tanggal 7 September 1985, terungkap bahwa KGB tengah menjalankan serangkaian “active measures” terkait AIDS dengan tujuan “menciptakan pandangan yang menguntungkan tentang kami di luar negeri bahwa penyakit ini adalah hasil eksperimen rahasia dengan senjata biologis tipe baru oleh dinas rahasia AS dan Pentagon yang lepas kendali”. Dokumen ini juga menjelaskan bahwa “fakta-fakta” yang mendukung disinformasi AIDS sudah dikutip dari media-media asal negara berkembang, terutama India.
Dokumen lain mengungkap bahwa pada 1986, Stasi (Kementerian Keamanan Dalam Negeri Jerman Timur/ Republik Demokratik Jerman) juga pernah minta bantuan intelijen Bulgaria dalam mengkampanyekan disinformasi AIDS. Dalam misi yang disebut Stasi sebagai “Operasi Denver” ini, Stasi menjalankan tugas “mengusung studi ilmiah dan material-material lain yang membuktikan AIDS berasal dari AS, alih-alih Afrika, dan bahwa AIDS adalah hasil dari penelitian senjata biologis AS”. Sementara itu, intel Bulgaria diminta mendistribusikan materi-materi kampanye ke Eropa Barat, AS, dan negara-negara berkembang.
Studi ilmiah yang dimaksud Stasi di atas merujuk pada penelitian oleh ahli biologi Soviet-Jerman Timur: Jakob Segal dan istrinya, Lilli. Mereka pernah mencoba menjelaskan secara ilmiah bagaimana virus penyebab AIDS direkayasa oleh otoritas AS di Fort Detrick.
Penelitian mereka kelak dipublikasikan dalam format brosur dengan judul provokatif: “AIDS: USA home made evil, NOT imported from Africa—AIDS: kejahatan buatan AS sendiri, BUKAN diimpor dari Afrika”. Brosur ini disebarluaskan pada acara KTT Gerakan Non-Blok ke-8 di Harare, Zimbabwe yang berlangsung bulan September 1986. Meskipun KGB dan Stasi tidak terlibat dalam penelitian atau penyusunan konten, mereka disinyalir berperan besar dalam publikasi dan distribusinya. Segal juga selalu bersikeras bahwa penelitiannya, yang dilakukan pada musim panas 1985, merupakan inisiatif sendiri tanpa dorongan dari KGB atau Stasi.
Terlepas dari kebenarannya, kampanye disinformasi AIDS ini bisa dibilang sukses dan terdengar lebih kredibel dengan sokongan “ilmiah” dari Segal, khususnya di kalangan bangsa-bangsa Afrika. Hal ini bisa jadi karena narasinya sesuai dengan diskursus antikolonial. Menurut Anders Jeppsson di Journal of the International Association of Providers of AIDS Care (2017), tesis bahwa AIDS disebabkan oleh virus dari primata di benua Afrika dipandang rasis baik oleh kalangan penulis sampai dunia perfilman. Di samping itu, narasi disinformasi AIDS juga berfungsi sebagai metafora untuk menjelaskan relasi kekuasaan pada tingkat global dan adanya kekuatan-kekuataan jahat.
Sebenarnya, rumor AIDS buatan pemerintah Amerika sudah bersirkulasi di kalangan aktivis gay di Amerika sebelum intelijen Soviet menanam narasinya di media India dan menyebarkannya lewat jaringan berita internasional. Seperti Douglas Selvage sampaikan di Journal of Cold War Studies (2019), kecurigaan komunitas gay terhadap pemerintah AS berkaitan dengan kurangnya usaha administrasi Ronald Reagan dalam memberantas AIDS, ditambah dengan sikap homofobia yang terang-terangan ditunjukkan elite politik dan para pendukungnya.
Akan tetapi, sebagaimana dibuktikan oleh dokumen-dokumen intelijen di Bulgaria, baik Uni Soviet dan Jerman Timur punya visi lebih jauh dengan agenda konspirasi AIDS, yakni untuk menggerus citra Amerika di mata dunia. Masih dipetik dari studi oleh Selvage, badan intelijen Soviet memegang peranan penting dalam melanggengkan narasi disinformasi ini dengan menyebut lokasi spesifik di mana HIV/AIDS diciptakan sebagai senjata biologis, yakni laboratorium milik Institut Penelitian Penyakit Menular Medis Angkatan Darat AS (USAMRIID) yang terletak di Fort Detrick, Maryland.
Maka tidak mengherankan apabila nama Fort Detrick diungkit lagi bersamaan dengan merebaknya wabah Covid-19. Namun kini, alih-alih disebarkan oleh intelijen secara terselubung melalui jaringan media internasional, narasinya justru disuarakan dengan lantang oleh pemerintah Cina, yang sekian tahun belakangan ini terlibat dalam kompetisi dan konflik ekonomi dengan pemerintah Amerika Serikat. Sampai asal-usul Covid-19 betul-betul dapat dipastikan—yang diperkirakan bakal memakan waktu bertahun-tahun—tampaknya kita masih akan mendengar perdebatan tentang dari lab negara mana Covid-19 berasal.
Editor: Windu Jusuf