tirto.id - Belum lama ini, sejumlah negara di dunia mulai mempertimbangkan penggunaan vaksin booster untuk meningkatkan imunitas tubuh terhadap virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19. Namun, sebetulnya, perlukah masyarakat umum mendapatkan vaksin booster pada saat ini?
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), booster adalah tambahan dosis vaksin yang diberikan pada seseorang yang imunnya telah cukup terbangun setelah vaksinasi, tapi kemudian imun tersebut melemah seiring waktu. Namun, rencana pemberian booster sendiri masih menunggu persetujuan dari Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat (FDA) dan rekomendasi dari Komite Penasihat Praktik Imunisasi CDC (ACIP).
Menurut CDC pula, kalaupun vaksin booster ini disetujui FDA dan direkomendasikan ACIP, orang-orang yang akan pertama menerimanya kemungkinan besar adalah yang paling berisiko tinggi dan telah menerima vaksin di awal 2021, yakni tenaga kesehatan, orang-orang yang menerima fasilitas perawatan jangka panjang, dan lansia.
Di Indonesia sendiri, menurut siaran pers Kementerian Kesehatan, berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor: HK.02.01/1/1919/2021, vaksinasi dosis ketiga hanya diperuntukkan bagi tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan, dan tenaga penunjang yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan. Jumlah penerima vaksin dosis ketiga ini ada sekitar 1,5 juta orang, tersebar di seluruh Indonesia.
Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kemenkes sekaligus Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, dr. Siti Nadia Tarmidzi merinci vaksin ketiga yang digunakan untuk tenaga kesehatan saat ini adalah vaksin Moderna. Penyuntikannya dilakukan secara intramuskular dengan dosis 0,5 ml sebanyak 1 dosis.
Namun demikian, pemberian vaksin booster ini tetap akan memperhatikan kondisi kesehatan daripada sasaran. Apabila yang bersangkutan alergi karena memang tidak boleh mendapatkan vaksin dengan platform mRNA, maka bisa menggunakan jenis vaksin yang sama dengan dosis pertama dan kedua (vaksin dari Sinovac atau Oxford-AstraZeneca).
Pada siaran pers tersebut, Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa vaksin booster bukan untuk khalayak umum, mengingat keterbatasan pasokan vaksin dan ada lebih dari 160 juta penduduk sasaran vaksinasi yang belum mendapatkan suntikan.
“Kami memohon agar publik dapat menahan diri untuk tidak memaksakan kepada vaksinator untuk mendapatkan vaksin ketiga. Masih banyak saudara-saudara kita yang belum mendapatkan vaksin,” kata Siti Nadia pada siaran pers tersebut.
Sementara itu, menurut pernyataan WHO yang dipublikasikan pada 10 Agustus 2021, ada beberapa alasan mengapa vaksin booster mungkin diperlukan, di antaranya perlindungan vaksin yang menurun seiring waktu. Kemudian, berkurangnya efektivitas vaksin karena adanya varian baru yang mengkhawatirkan (VOC). Selain itu, vaksin booster juga mungkin saja dibutuhkan jika rangkaian lengkap vaksin yang dianjurkan kurang memadai bagi beberapa kelompok berisiko.
Terkait imunitas, walaupun data imunogenisitas dari beberapa vaksin menunjukkan bahwa antibodi bertahan selama setidaknya 6 bulan, penurunan antibodi penetral juga dilaporkan pada studi yang dipublikasikan di The New England Journal of Medicine. Sebagai informasi, antibodi penetral bekerja dengan cara mengikat virus, dan mencegahnya untuk masuk ke dalam sel.
Namun, perlu diingat bahwa berkurangnya antibodi bukan berarti tingkat perlindungan juga berkurang. Sebab, tubuh kita sudah memiliki memori imun yang tidak tergantung pada kadar antibodi.
Lebih lanjut, WHO menyampaikan, kebijakan terkait booster harus pula mempertimbangkan ketersediaan vaksin secara global. Pemberian vaksin booster di saat sebagian besar populasi belum menerima vaksin dosis pertama/primer dapat merusak prinsip kesetaraan secara nasional dan global. Memprioritaskan booster di atas pemberian vaksin primer juga bisa mengganggu prospek mitigasi pandemi dan berdampak serius di bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi.
“Sejauh ini, lebih dari 4 miliar dosis vaksin telah diberikan secara global. Lebih dari 80 persen telah diberikan pada negara-negara berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas, meskipun jumlah penduduknya kurang dari setengah populasi dunia,” ujar Direktur-Jenderal WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, pada keterangan media tanggal 4 Agustus 2021.
“Kita memerlukan pembalikan darurat, dari mayoritas vaksin yang tadinya diberikan untuk negara-negara berpenghasilan tinggi, menjadi mayoritas vaksin untuk diberikan pada negara-negara berpenghasilan rendah,” tambahnya.
Maka dari itu, WHO menyerukan moratorium vaksinasi booster hingga setidaknya akhir September, untuk memungkinkan setidaknya 10 persen dari populasi setiap negara menerima vaksinasi.
Di Indonesia, berdasarkan data Satgas Penanganan COVID-19 per 16 September 2021, sebanyak 76,15 juta orang sudah menerima vaksinasi dosis pertama (36,56 persen dari total populasi target vaksinasi) dan sebanyak 43,48 juta orang sudah menerima vaksinasi penuh (20,87 persen dari total populasi target vaksinasi).
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan dari WHO di atas, pengadaan vaksin booster perlu didukung oleh bukti-bukti, dan jika dilakukan, maka akan diberikan pada kelompok populasi yang paling membutuhkan. Saat ini, belum ada cukup bukti perlunya vaksin booster untuk masyarakat umum. Dengan terbatasnya suplai vaksin secara global, pengadaan vaksin booster bisa memperparah ketidaksetaraan dan menyebabkan kelangkaan untuk populasi yang belum menerima vaksin.
Fokus utama pemerintah dan WHO saat ini masih meningkatkan sebaran vaksin utama untuk COVID-19 secara global, sebab tidak ada orang yang aman sampai semua orang aman.
Editor: Farida Susanty