Menuju konten utama
22 November 2005

Angela Merkel, Pemimpin Perempuan Pertama Jerman

Angela Merkel menjabat Kanselir Jerman persis 16 tahun lalu, 22 November 2005. Saat ini ia tengah menghabiskan hari-hari terakhirnya sebagai pejabat.

Angela Merkel, Pemimpin Perempuan Pertama Jerman
Ilustrasi Mozaik Angela Dorothea Merkel. tirto.id/Sabit

tirto.id - Sebuah peristiwa penting terjadi di Jerman persis 16 tahun yang lalu. Pada 22 November 2005, Angela Merkel resmi dilantik sebagai Kanselir Jerman. Politikus dari partai tengah-kanan Uni Kristen Demokrat (Christian Democratic Union of Germany/CDU) ini menorehkan sejarah sebagai kanselir perempuan pertama sekaligus satu-satunya yang dibesarkan di bawah rezim komunis GDR (Jerman Timur).

Merkel terpilih ketika ekonomi sedang bergejolak: pengangguran meroket sampai 11,7 persen dan anggaran negara defisit seiring pertumbuhan ekonomi macet pada kisaran nol koma hingga satu persen selama lima tahun terakhir. Sampai pertengahan dekade 2000-an, sebutan “sick man of Europe” kerap disematkan pada Jerman yang masih bertatih-tatih bangkit dari keterpurukan pascareunifikasi.

Semua perlahan membaik setelah Merkel berkuasa. Ia kerap dinilai sebagai manajer yang bisa diandalkan oleh Jerman bahkan Uni Eropa ketika dilanda berbagai krisis, dari mulai keuangan, politik, sampai kesehatan.

Sebelum Merkel Datang

Sebelum Merkel menjabat, tepatnya sejak 1998, Jerman dipimpin oleh Kanselir Gerhard Schröder dari Partai Sosial Demokrat (Sozialdemokratische Partei Deutschlands/SPD) yang berkoalisi dengan Partai Hijau.

Koalisi ini memperkenalkan “Agenda 2010” pada 2003, yaitu serangkaian langkah pemulihan ekonomi mulai dari reformasi pelayanan kesehatan sampai pemotongan pajak. Meski Schröder membanggakannya sebagai paket reformasi struktural “paling besar dalam riwayat Jerman pascaperang,” kebijakan ini berbuah blunder.

Bagian paling kontroversial berkaitan dengan reformasi lapangan kerja. Kebijakan ini dipandang terlalu propasar: perusahaan dipermudah untuk merekrut atau memecat pekerja sementara aturan disederhanakan agar pekerja paruh waktu dan staf kontrak lebih mudah terserap pasar. Tunjangan untuk pengangguran dibatasi dan dibuat sama rata—alih-alih ditentukan dari sekian persen gaji terakhir seperti diatur dalam kebijakan lama. Pembatasan ini diharapkan bisa memaksa orang agar segera mencari kerja—atau barangkali menerima tawaran kerja seberapa pun rendah upahnya.

Dalam ilmu sosial, rangkaian kebijakan seperti ini adalah praktik dari paham neoliberalisme.

Hasilnya mudah ditebak: kebijakan ini tidak disambut baik pada buruh dan sejumlah kolega di SPD, yang merupakan partai berhaluan kiri/sosialis tertua di Jerman.

Posisi SPD pun terancam. Pada pemilu regional Mei 2005, SPD kalah dari CDU di provinsi paling padat yang sebenarnya merupakan basis mereka sejak 1966, Nordrhein-Westfalen. Karena CDU akhirnya mendominasi dewan perwakilan provinsi Bundesrat, SPD khawatir mereka bakal menggagalkan setiap legislasi yang diajukan koalisi “merah-hijau” alias membuat roda pemerintahan mogok.

Potensi kebuntuan politik ini berusaha dihindari Schröder dengan memajukan pemilu federal setahun lebih awal. Dengan begitu ia berharap partainya bisa menang dan tetap bertahan menguasai pemerintahan. Tapi CDU maupun SPD gagal jadi mayoritas di parlemen federal Bundestag. Schröder lantas mengundurkan diri dan pemimpin CDU Angela Merkel diusung sebagai kanselir oleh partainya dan Uni Sosial Kristen (Christian Social Union/CSU).

Setelah negosiasi yang alot, koalisi besar yang terdiri dari CDU/CSU dan SPD terbentuk. Koalisi ini bertahan sampai sekarang kecuali periode 2009-2013, ketika CDU/CSU bekerja sama dengan partai liberal Free Democratic Party (FDP).

Merkel Datang

Merkel lahir di Hamburg, Jerman Barat, 67 tahun yang lalu. Ketika masih bayi, keluarganya pindah ke Jerman Timur untuk mengikuti bapak yang berprofesi sebagai pastor. Di sanalah Merkel tumbuh dewasa, menguasai bahasa Rusia dan Jerman, sampai menyelesaikan studi doktor di bidang kimia kuantum.

Tak lama setelah Merkel bekerja di institut penelitian, tembok pemisah Jerman Barat dan Timur roboh. Saat itulah Merkel memutuskan terjun ke dunia politik. Ia memulainya sebagai anggota dewan Bundestag pada 1990 mewakili CDU, partai yang kental dengan dominasi laki-laki (sampai 2019, representasi politikus perempuan di CDU hanya 26 persen, jauh di bawah Partai Hijau 41 persen, Partai Kiri 36 persen, dan SPD 32 persen).

Kanselir Helmut Kohl (1990-1998) berperan besar dalam mendongkrak karier Merkel dengan mengangkatnya sebagai menteri perempuan kemudian menteri lingkungan. Saking sayangnya Kohl dengan Merkel, ia kerap dipanggil dengan sebutan “Maedchen” (anak perempuan/gadis). Tetapi, ketika politikus senior CDU ini tersandung skandal keuangan, Merkel vokal menyerukannya mundur. Sikap ini bikin Kohl marah dan menuding Merkel sudah main licik untuk menjatuhkannya.

Pada 2000, Merkel akhirnya dipercaya sebagai pemimpin CDU, jabatan yang kelak memudahkannya menjadi pemimpin Jerman.

Elite bisnis Jerman sudah memprediksi Merkel bakal jadi kanselir beberapa tahun setelah memimpin CDU. “Dia sepertinya bakal jadi kanselir selanjutnya,” celetuk seorang CEO kepada Francis Kelly, penasihat risiko politik asal Amerika Serikat, dalam sebuah acara bisnis di Berlin di mana mereka berjumpa Merkel. Namun elite tersebut ragu kemampuan Merkel seandainya ia benar-benar memimpin Jerman. “Aku tak tahu berapa lama ia akan bertahan. Dia tak paham betul tentang pasar dunia atau isu-isu ekonomi besar,” katanya.

Setelah belasan tahun menyaksikan perkembangan Jerman di bawah Merkel, Kelly tak punya komentar selain pujian. Menurutnya Merkel adalah “manajer krisis yang hebat” sebab mampu menyelamatkan ekonomi Jerman yang terdampak krisis keuangan global 2008 sampai mempertahankan persatuan Uni Eropa setelah Inggris Raya hengkang.

Manajer Krisis

Pemerintahan Merkel dipuji sudah membawa “kemakmuran dan stabilitas” untuk ekonomi Jerman meski diguncang badai krisis, ujar profesor ekonomi Clemens Fuest di Ifo Institute. Salah satu indikatornya adalah tingkat pengangguran yang pada 2019 berhasil ditekan sampai 3,14 persen—terendah sejak Jerman Barat dan Timur bersatu. Setelah 1,5 tahun pandemi, angkanya meningkat jadi 3,6 persen, namun tetap tergolong paling rendah di grup Uni Eropa yang rata-ratanya 6,9 persen.

Dalam tulisan di harian bisnis Handelsblatt (2019), Fuest mengatakan kebangkitan ekonomi era Merkel tidak bisa dipisahkan dari kebijakan propasar warisan Schröder, Agenda 2010, selain juga reformasi lain yang diusung koalisi CDU/CSU dan SPD di bawah Merkel seperti mengurangi kontribusi jaminan pengangguran, meningkatkan pajak pertambahan nilai (PPN), dan memberikan potongan pajak pada perusahaan untuk mendorong investasi dan menyerap tenaga kerja.

Ketika terkena dampak krisis global 2008 dan setahun kemudian ekonomi berkontraksi sampai 5 persen, Merkel meyakinkan publik bahwa Jerman bisa menghadapi krisis. Ia juga menjamin keamanan deposito atau simpanan warga di bank. Industri terbesar Jerman, ekspor, akhirnya tetap bertahan. Banyak pabrik juga percaya diri ekonomi bakal pulih sehingga tidak memecat para pekerja.

Merkel juga dipuji karena welas asih dalam menangani krisis kemanusiaan. Saat Eropa menghadapi gelombang pengungsi dari Timur Tengah, ia memerintahkan perbatasan Jerman dibuka. Sampai hari ini, Jerman merupakan negara penampung pengungsi terbanyak di Eropa, yakni 1,2 juta jiwa—mayoritas dari Suriah.

Namun patut dicatat bahwa dalam kebijakan ini pun terdapat hitung-hitungan untung-rugi. Seiring populasi Jerman semakin menua, administrasi Merkel menilai pengungsi dapat memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Tentu tak semua negara dapat melakukan itu dengan alasan yang sama, apalagi jika mereka—termasuk tengah dan timur Eropa—sudah berjibaku dengan angka pengangguran tinggi dan persoalan islamofobia.

Kebijakan Merkel terbukti ampuh. Mulai tampak bahwa pengungsi turut menggerakkan roda ekonomi. Menurut Kantor Federal untuk Migrasi dan Pengungsi, 35 persen pengungsi yang tiba pada 2015 mendapatkan kerja dalam kurun waktu tiga tahun. Kondisi pasar tenaga kerja, kursus bahasa dari pemerintah, sampai program penempatan kerja oleh perusahaan dipandang sudah mempercepat proses integrasi pengungsi ke dalam kehidupan masyarakat Jerman.

Sayangnya Merkel gagal meyakinkan para petinggi Uni Eropa untuk merumuskan kebijakan terpadu tentang pengungsi. Akibatnya, langkah-langkah yang diambil setelah puncak krisis cenderung seperti cuci tangan. Pada 2016, Uni Eropa sepakat membayar Turki sampai 6 miliar euro atau Rp100 triliun untuk menampung pengungsi agar mereka agar tak sampai ke Eropa. Keputusan serupa—membayar negara-negara jiran di kawasan berkonflik—kembali diambil oleh 27 pemimpin negara Uni Eropa pada penghujung Agustus silam sebagai persiapan menghadapi gelombang pengungsi Afganistan.

Bagaimana dengan pera Merkel di tatanan politik Uni Eropa? Merkel gencar menyuarakan persatuan Uni Eropa seiring gelombang populisme menyapu dunia, terutama selama negosiasi Brexit berlangsung. Merkel bahkan dipuji oleh komunitas internasional sebagai “leader of the free world”. Tepat setelah kemenangan Donald J. Trump di AS, Merkel dipandang semakin serius mempertahankan pilar-pilar demokrasi liberal, termasuk mensyaratkan kerja sama dengan AS yang dilandasi kebebasan, hukum, dan nilai-nilai inklusivitas.

Meskipun demikian, di dalam negeri, pujian “pemimpin dunia bebas” dipertanyakan karena pemerintahan Merkel dianggap kurang menawarkan pendekatan strategis untuk menyokong tatanan keamanan global, termasuk tidak punya sumber daya militer yang mumpuni, demikian disampaikan koresponden media Jerman Welt, Clemens Wergin, dalam opini di The New York Times pada 2018 silam. Menurut Wergin, elite politik di negaranya masih terjebak pada narasi tentang Jerman sebagai negara yang mendahulukan “soft power”.

Poin penting lain yang disinggung Wergin adalah posisi Jerman sebagai “republik merkantil” yang menjunjung tinggi kepentingan ekonomi dan membiarkan bangsa lain mengurus isu-isu strategis lain seperti keamanan.

Republik Merkantil

Matthias Matthijs dan R. Daniel Kelemen dalam artikel berjudul “The Other Side of Angela Merkel” memberikan contoh kasus bagaimana pendekatan merkantilis tersebut berlangsung, yaitu ketika Merkel dan CDU mengayomi autokrat sayap kanan Hungaria, Viktor Orban.

CDU dan partainya Orban, Fidesz, sempat lama bersekutu di Parlemen Eropa. Mereka tergabung dalam European People’s Party (EPP), kumpulan partai berhaluan tengah-kanan yang masih jadi kekuatan politik dominan di Benua Biru sampai saat ini. Sebanyak 13 anggota Fidesz memberikan suara untuk membantu memenangkan politikus CDU didikan Merkel, Ursula von der Leyen, sebagai Presiden Komisi Eropa pada 2019. Von der Leyen terpilih dengan 383 suara (9 suara lebih dari minimum suara untuk menang).

Menurut Matthijs dan Kelemen, Merkel sudah memberikan proteksi pada Orban dan Fidesz dari pihak-pihak yang mengkritisi mundurnya standar demokrasi Hungaria. Meskipun sejumlah tokoh EPP ingin Fidesz dikeluarkan dari geng mereka, CDU/CSU berkali-kali mencegahnya. Baru pada Maret kemarin Fidesz resmi didepak.

Dari segi ekonomi, Hungaria yang jaraknya tergolong dekat dari Jerman dan upah minimum buruhnya relatif lebih rendah merupakan pusat manufaktur utama bagi merek-merek otomotif Jerman. Industri mobil Jerman seperti Audi, Mercedes, dan BMW bergantung pada mereka sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi mereka. Akhirnya, terlepas ingar bingar yang Orban buat, pemerintahan Merkel cenderung membiarkannya sepanjang kepentingan ekonomi Jerman terjaga.

Contoh lain yang diangkat Matthijs dan Kelemen adalah sikap Merkel terhadap Cina dan Rusia. Meskipun pemerintahannya melayangkan sanksi pada pejabat Cina karena isu-isu HAM di Hong Kong dan Xinjiang, Merkel tetap menyerukan dukungan untuk menjalin kesepakatan dagang antara Uni Eropa dan Cina.

Kemudian, dengan Rusia, masih ada proyek pembangunan pipa gas Nord Stream 2 untuk mengalirkan gas ke Jerman dan kawasan Eropa Barat. Proyek ini dikritik karena meningkatkan risiko invasi Rusia ke Ukraina, mengancam keamanan energi Polandia serta kawasan Eropa Timur dan Tengah, termasuk menghambat upaya Uni Eropa mengurangi ketergantungan impor dari Rusia.

Lingkaran Merkel membela pendekatan sang kanselir dengan mengatakan ia sudah mengambil peran penting saat Rusia menginvasi dan menganeksasi Krimea, termasuk bersikap keras dengan menerapkan sanksi ekonomi.

Singkatnya, walaupun ditentang AS, negara-negara Eropa Timur dan Parlemen Eropa, Merkel tetap mendukung Nord Stream 2. Alasannya sederhana: Jerman butuh sumber energi berbiaya murah. Hal ini menjadi pertimbangan Merkel yang memutuskan berhenti menggunakan energi nuklir setelah berkaca pada insiden di Fukushima, Jepang, 10 tahun silam.

Sang Ilmuwan di Penghujung Karier

Merkel kembali mendapatkan pujian karena ia dianggap menangani pandemi Covid-19 dengan pendekatan rasional dan ilmiah. Selain itu, menurut pengamatan Der Spiegel, selama pandemi berlangsung Merkel jauh lebih komunikatif daripada biasanya, bahkan mengurangi kesan yang kaku sebagai birokrat dan lebih menunjukkan kasih sayang.

Namun demikian, pandemi yang berlarut-larut pada akhirnya membuat sang kanselir lelah dan kedudukannya semakin lemah. Merkel kesulitan meyakinkan para gubernur untuk mengikuti pendekatannya yang hati-hati.

Di sisi lain, latar belakang sebagai ilmuwan tak membuatnya bebas dari kritik saat berhadapan dengan isu lain seperti iklim dan lingkungan. Dua isu ini bahkan dianggap jadi catatan kelam dalam daftar warisan Merkel.

Ia memang dipuji karena aktif mendorong aksi perlindungan iklim di tingkat Eropa dan dunia, namun dianggap kurang berkomitmen untuk menerapkan langkah serupa di dalam negeri sendiri. Merkel faktanya masih menyokong industri mobil Jerman, terkesan mengulur-ulur regulasi Uni Eropa tentang batasan emisi kendaraan bermotor, sampai dianggap kurang gencar mendukung penggunaan energi terbarukan.

Hanya ada dua keputusan penting yang diusungnya, yakni mengakhiri penggunaan energi nuklir (sampai 2022) dan batu bara (sampai 2038).

Isu iklim tetap jadi urusan yang belum beres pada era Merkel terutama setelah bencana banjir pada musim panas kemarin menelan sedikitnya 196 korban jiwa—korban nyawa terbesar dalam setengah abad terakhir.

Infografik Mozaik Angela Dorothea Merkel

Infografik Mozaik Angela Dorothea Merkel. tirto.id/Sabit

Terlepas dari kekurangan Merkel dan kritik-kritik yang dilayangkan kepadanya, Jerman mampu bertahan sebagai negara yang tangguh. Kemakmuran dan stabilitas pada awal abad ke-21 akan sulit dipisahkan dari kepemimpinan Merkel.

Saat ini Merkel tengah menghabiskan hari-hari terakhirnya sebagai pejabat negara. Beberapa bulan lalu ia telah memastikan diri tak akan maju lagi. Sekarang, tiga partai besar, SPD, Partai Hijau, dan FDP sedang berembuk membicarakan pemerintahan baru. Mereka rencananya akan menunjuk pengganti Merkel, seorang politikus dari SPD, Olaf Scholz, pada 6 Desember nanti.

Kanselir baru mungkin akan mengikuti jejak Merkel—mempertahankan status quo demi stabilitas—atau bisa jadi malah lebih berani dalam mendorong perubahan.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 22 September 2021 dengan judul "Warisan Kanselir Angela Merkel untuk Jerman". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait ANGELA MERKEL atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino