tirto.id - Republik Weimar (1919-1933) di Jerman didirikan di antara dua zaman otoriter. Pada zaman otoriter pertama, Jerman merdeka dari dominasi Austro-Hungaria, berjaya sebagai imperium di tangan Kanselir Otto von Bismarck, hingga akhirnya ambruk sejak kalah dalam Perang Dunia I. Pada zaman otoriter kedua, seorang pelukis gagal bernama Adolf Hitler berkuasa mutlak—dengan cara-cara yang jauh lebih ganas dari Bismarck—dan memantik api Perang Dunia II.
Tentang bubarnya Republik Weimar akibat berkuasanya Nazi pada 1933, sosiolog Karl Manheim melontarkan sesumbar: kelak orang akan mengenang Weimar bak Zaman Perikles Baru—era keemasan intelektual, seni, dan dagang di Yunani Kuno.
Sampai hari ini “Weimar” memang kurang dikenal, ia hanya kota kecil di negara bagian Thüringen, alih-alih sebagai periode relatif singkat yang serba sesak dengan eksperimen seni, agitasi kaum kanan dan kiri, dan hiperinflasi. Perang Dunia I tidak hanya melahirkan Revolusi Rusia yang merembet ke Jerman dan membubarkan monarki Wilhelmine, tapi juga serombongan veteran letih yang kelak menjadi seniman, musisi, intelektual, hingga ideolog fasis terdepan pada masanya.
Komponis Hanns Eisler, misalnya. Setelah angkat senjata untuk kubu Austro-Hungaria, ia pindah ke Berlin pada 1925, bergabung dengan partai komunis, dan kelak mengubah lagu kebangsaan Republik Rakjat Jerman. Keluar dari comberan Perang Dunia I, pelukis Otto Dix diganjar medali Salib Besi dan menumpahkan PTSD (post-traumatic stress disorder)-nya ke dalam serangkaian etsa muram tentang segerombolan prajurit bertopeng gas. Kehilangan mata kanan dalam sebuah pertempuran, sutradara film Fritz Lang memanggungkan wajah grotesk Berlin lewat figur-figur kriminal bawah tanah dalam film Dr. Mabuse (1922) dan M (1931), serta bajingan-bajingan borjuis Metropolis (1927) yang tinggal di pencakar langit. Seorang sersan di Front Barat bernama Walter Gropius meluncurkan Bauhaus, sekolah seni pengusung desain modern minimalis berbasis fungsi yang menginjak-injak segala unsur kolot dan reaksioner khususnya dalam arsitektur. Ernst Jünger, setelah hampir mampus lantaran berkali-kali dibayonet, merayakan “lomba tembak di alas rumput berbunga yang banjir darah” dalam novelnya Di Tengah Badai Baja (In Stahlgewittern) yang kelak digandrungi pemuda-pemuda fasis.
Kelak, habisnya zaman Weimar membuat banyak eksponen generasi ini hijrah ke Amerika Serikat, membesarkan Hollywood, mengembangkan ilmu-ilmu humaniora baru, dan memakmurkan New York hingga menjadi ibukota seni dunia sejak 1950-an. Dengan kata lain, menawarkan terang-gelap kemodernan ke sebuah bangsa terbelakang yang gemar berburu penduduk asli dan membakar orang kulit hitam hidup-hidup.
Bagaimanapun, perubahan besar pada era Weimar tidak terjadi dalam semalam. Unsur-unsur terpentingnya sudah terajut seabad sebelumnya. Zaman Weimar, tulis Peter Gay dalam Weimar Culture: the Outsiders as Insiders (1968), sekadar membawa “orang luar” (outsiders) mulai dari “Yahudi, demokrat, hingga sosialis” ke panggung utama intelektual, seni, dan politik.
Mereka semua berutang pada penandatanganan Konstitusi Weimar yang dilakukan pada 11 Agustus 1919, tepat hari ini 102 tahun silam.
Konstitusi Weimar
Pada 1918, Jerman adalah orang sakit dari Eropa. Tak hanya kalah perang, Jerman juga harus mencicil ganti rugi sebesar 20 milyar mark dalam bentuk emas kepada para pemenang dan membayar utang selama perang hingga berujung hiperinflasi. Di tengah kolapsnya ekonomi dan ancaman gagal bayar utang, kawasan industri Ruhr diduduki Perancis dan Belgia selama dua tahun sejak 1923. Jerman juga dituntut melucuti persenjataan dan memangkas militernya hingga 100 ribu personel.
Antara 1918 dan 1919, kota-kota besar Jerman nyaris tak ada bedanya dengan medan perang sipil. Para prajurit veteran kiri, buruh, dan intelektual mendeklarasikan republik-republik sosialis yang bangkit dan rontok dalam hitungan bulan. Sebagai balasan, para jenderal sayap kanan, kapitalis, dan centeng-centeng Freikorps melancarkan kudeta pada 1920. Perang jalanan adalah peristiwa sehari-hari.
Semua revolusi dan kontra-revolusi itu gagal—dengan efek berkepanjangan. “Tak seperti Rusia, Jerman tak mengalami revolusi total,” tulis Eric D. Weitz dalam Weimar Germany: Promise and Tragedy (2007), “yang membabat habis kekuasaan dan prestis elite-elite lama.” Nasib agak baik berpihak pada aksi-aksi putsch kaum kanan. Meski tak populer saking banyaknya prajurit yang kekiri-kirian, konsolidasi internal kaum kanan di militer satu dekade melapangkan jalan bagi berkuasanya Nazi pada 1933.
Di antara rentetan kegagalan itu muncullah pemenang bernama Friedrich Ebert, seorang pemimpin Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD) yang mengepalai pemerintahan darurat sejak November 1918. Ia berbagi tugas dengan Wilhelm Groener, salah satu perwira top militer, untuk memadamkan pemberontakan di dua front. Ebert menjamin Jerman tidak akan seperti Rusia. Jaminan itu ia tegaskan dengan menghabisi pemberontakan Spartakus berikut dua pemimpinnya, Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht. Pekerjaan rumah besar Groener adalah menertibkan elemen-elemen paling beringas dalam tubuh angkatan bersenjata, menggerus kudeta Kapp, dan memastikan perwira-perwira monarkis setia kepada republik baru yang akan diproklamasikan.
Ebert adalah seorang yang luar biasa pragmatis. Di tubuh SPD, ia mewakili faksi revisionis, yang percaya bahwa sosialisme bisa dan hanya bisa diperjuangkan lewat parlemen alih-alih revolusi. Sejarawan ahli Eropa Tengah Carl E. Schorske menggambarkanya sebagai birokrat sejati. “Hambar, dingin, bertekad kuat, tekun, dan serba praktis,” tulis Schorske dalam German Social Democracy: the Development of the Great Schism(1905-1917), “Ebert memiliki semua ciri yang menjadikan dia … Stalin-nya kaum Sosial Demokrat.”
SPD, partai yang dipimpin Ebert, adalah partai Marxis tertua dan terbesar di Eropa. Pada 1913 Ebert menduduki pucuk kepemimpinan partai. Setahun kemudian, guna membendung prasangka penguasa bahwa SPD adalah partai anasionalis, Ebert mendukung Jerman dalam Perang Dunia I, lantas memecat Luxemburg dan Liebknecht yang kemudian membentuk Liga Spartakus—cikal bakal Partai Komunis Jerman (KPD).
Pemilu Januari 1919 mengantarkan Ebert ke kursi presiden. Rekan separtainya, Philipp Scheidemann, menjadi kanselir. Pada tengah tahun yang sama, Ebert menugaskan Hugo Preuß untuk menggarap rancangan konstitusi. Dosen Sekolah Bisnis Berlin dan anggota Partai Demokrat Jerman ini menulis konstitusi lazimnya seorang liberal; ia mulai dengan mengubah pondasi politik Jerman dari reich (kerajaan) ke rechtsstaat (negara hukum), lalu menjamin pemilu serta parlemen yang berkuasa penuh untuk membuat undang-undang. Apa yang gagal dikejar kaum liberal Jerman sejak revolusi mereka yang gagal pada 1848, dikerjakan oleh Preuß dalam hitungan bulan.
Dalam konstitusi yang sama, termaktub pula sejumlah klausul yang paling progresif untuk ukuran negara liberal saat itu: waktu kerja dipangkas menjadi delapan jam, hak buruh untuk berorganisasi dijamin, demikian pula hak pilih untuk perempuan, hak cuti hamil, hak anak, hak perlindungan veteran, hingga sosialisasi sumber daya alam.
Pada 11 Agustus 1919, konstitusi disahkan dan sejak itulah Zaman Weimar yang tersohor secara resmi dimulai.
Tentu tak semua orang senang dengan iklim liberalisasi politik itu, khususnya elite-elite konservatif yang bercokol di militer, yang kerap memandang kaum Sosial Demokrat dan Komunis—terlepas dari perseteruan abadi keduanya—sebagai pengkhianat dan tak bersedia penghapusan status Jerman sebagai reich. Para politikus konservatif seperti Ludendorff dan von Hindenburg inilah yang dicatat menyebarkan mitos pembelotan kaum kiri. Mitos itu berbunyi: Jerman niscaya menang dalam Perang Dunia I seandainya kaum sosialis tak membelot dengan mengorganisasi pemogokan umum di kota-kota. Kebetulan, karena yang menandatangani Perjanjian Versailles adalah pemerintahan Ebert, mitos itu pun diterima sebagai kenyataan.
Jerman menggunakan pinjaman dari Amerika Serikat untuk membayar ganti rugi perang sejak 1924. Namun, pada Oktober 1929, crash di Wall Street mengawali Depresi Besar. Dalam waktu singkat, bank-bank AS menarik dana yang mereka pinjamkan, termasuk dari Jerman. Masih dari Weimar Germany (2007) Eric D. Weitz mencatat angka pengangguran meningkat dari 1,4 juta jiwa ke lebih dari 2 juta sepanjang musim dingin 1929.
Pada Maret 1930, pemerintahan Herman Müller (SPD) kolaps. Kursi kanselir jatuh kepada Heinrich Brüning. Dua tahun di bawah pemerintahan Brüning, upah pekerja dipangkas, pajak pendapatan dinaikkan, jaminan sosial dan dana pensiun disikat habis. Selama dua tahun pula Brüning sibuk membubarkan ormas kiri dan ormas kanan, serta secara berkala membredel surat kabar. Praktis, hampir semua pencapaian demokratik sepanjang era Weimar habis di tangan politikus dari Partai Tengah yang beraliran konservatif itu.
Kepada Brüning, Presiden Hindenburg memberikan keleluasaan yang tak pernah ia berikan kepada Kanselir Müller ketika menghadapi krisis pada musim dingin 1929: penggunaan pasal 48 dalam Konstitusi untuk mengumumkan keadaan darurat.
Pasal 48 inilah yang menjadi sandaran kebijakan-kebijakan anti-demokratik Brüning. Ia memang masih berkonsultasi pada parlemen. Namun, pada hakikatnya, terang Weitz, “Jerman dipimpin oleh kediktatoran presidensial. Secara politik, republik sudah digulingkan sebelum Hitler berkuasa.”
Editor: Irfan Teguh Pribadi