Menuju konten utama

Anies vs Risma: Polarisasi Politik Terus Berlanjut setelah Pilpres

Polarisasi politik tak selesai ketika Pilpres 2019 berakhir. Ungkapan-ungkapan pendukung Anies dan pendukung Risma mencerminkan hal itu.

Anies vs Risma: Polarisasi Politik Terus Berlanjut setelah Pilpres
Anies Baswedan. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Jakarta punya kerak telor, Surabaya punya rujak cingur. Jakarta kumandangkan "Kicir-Kicir", Surabaya nyanyikan "Rek Ayo Rek". Jakarta adalah Macan Kemayoran, Surabaya banggakan Bajul Ijo. Kedua kota ini memang berbeda. Tapi, pada awal tahun ini, mereka dipersatukan oleh kenahasan yang sama: bencana banjir.

Hujan yang mengguyur Jakarta sejak malam tahun baru hingga tahun baru 2020 mengakibatkan banjir di sejumlah daerah. Tinggi muka air bisa mencapai 500 cm lebih. Saking parahnya, banyak warga harus mengungsi dari kediaman mereka.

Jika Anda pernah menonton adegan banjir dalam film Parasite garapan sutradara Bong Joon-ho yang baru saja meraih Piala Oscar, maka demikianlah Jakarta hari itu: barang mengambang di mana-mana; mobil terendam bahkan sebagian terbawa arus air dan berakhir entah di mana.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan buru-buru memerintahkan jajarannya bekerja menanggulangi banjir. Mereka mendirikan posko pengungsian, memberikan pasokan logistik, menambah pompa air di daerah yang masih terdampak, serta bersemuka dengan warga.

“Seluruh jajaran Pemprov DKI Jakarta siap siaga, tanggap, dan galang, serta bertanggung jawab dalam upaya evakuasi maupun pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat,” kata Anies melalui akun resmi Instagram @AniesBaswedan pada Kamis (2/1/2020).

Pada 8 Januari 2020 banjir Jakarta sudah surut sepenuhnya. Kendati demikian caci-maki terhadap Anies—karena bagi sebagian orang Anies gagal mengantisipasi dan menanggulangi banjir—masih bertahan.

Setidaknya 651 warga sudah mendaftarkan namanya menjadi penggugat Anies dan meminta ganti rugi. Tidak hanya itu, kelompok pengusaha ritel juga menuntut Anies karena merasa dirugikan. Beberapa gerai memang terpaksa menutup usaha mereka sementara. Seiring dengan itu, kantong mereka ikut kosong karena tidak berdagang.

Salah satu pengacara yang memimpin gugatan class action ini, Diarson Lubis, menyatakan bahwa banjir yang menimpa Jakarta bukan bencana alam dan semata-mata terjadi karena ketidakbecusan Anies dalam mengelola kota.

"Untuk mencegah agar bencana buatan manusia ini tidak terus berlanjut di masa yang akan datang, maka perlu adanya sebuah upaya hukum dari masyarakat agar ada efek jera bagi pemangku kebijakan terkait," kata Diarson dan kawan-kawan dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi Tirto pada Minggu (5/12/2019).

Hal ini makin parah karena banyak yang membandingkan Anies dengan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dalam menangani masalah banjir. Pada medio Januari 2020 Surabaya juga dirundung banjir. Dalam 2-3 jam saja, banjir itu sudah surut. Media sosial kembali ramai karena fakta ini menambah amunisi bagi siapapun yang tidak suka kepada Anies untuk menyindirnya.

“Buzzer Anies suka sekali nyerang Risma. Padahal banjir Surabaya hanya 3 jam surut, manajemen airnya kelas atas, beda sama DKI dengan gubernurnya yang sombong kemudian kena azab banjir berhari-hari,” kicau akun @andrinov_smg.

Elite Memupuk, Rakyat Jadi Korban

Zikria Djatil ditangkap Polrestabes Surabaya pada 31 Januari 2020. Dia telah menghina Risma melalui unggahan di Facebook pada 16 Januari 2020. Salah satu unggahan itu adalah foto Risma sedang membersihkan sungai dan ditambahi keterangan, "Anjirrrrr.... Asli ngakak abis...nemu nih foto sang legendaris kodok betina."

Lima hari kemudian Pemerintah Kota Surabaya melaporkan Zikria. Ibu tiga anak itu mati-matian berusaha memperbaiki kesalahannya. Unggahan soal Risma dia hapus. Tidak hanya itu, dia memotong kartu SIM-nya dan menghapus seluruh data yang ada di gawainya. Tapi polisi tetap berhasil melacak dan menangkapnya. Tangkapan layar unggahannya berhasil diamankan polisi.

Zikria adalah korban dari polarisasi yang ada di masyarakat Indonesia setelah bentrokan "cebong-kampret" di tengah persaingan antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Perhelatan Pilpres 2019 bahkan sempat berujung maut ketika ada pendukung dua kubu tersebut yang adu bacok dan satu orang meninggal dunia.

Setelah keduanya berdamai, Jokowi menjadi presiden, dan Prabowo mendapat jabatan Menteri Pertahanan, kisruh tetap berlanjut. Kini pendukung Anies dan Risma yang beradu unggahan di media sosial. Cemooh-cemooh terhadap Anies terkait banjir Jakarta lah yang membuat Zikria ikut tersulut dan menebar hujatan kepada Risma.

Dari manakah polarisasi macam itu bermula?

Profesor Texas A&M University, Dan Wood, menyatakan opini masyarakat akan satu isu tertentu tentang politik terbentuk akibat perilaku para elite. Hasilnya adalah pemilihan umum menjadi terpolarisasi.

Dalam buku berjudul Party Polarization in America: The War Over Two Social Contracts (2017), Wood menilai bukan hanya elite tapi partai politik juga berperan dalam melanggengkan polarisasi yang terjadi, alih-alih menghapuskannya. Dalam posisi sebagai elite, mereka punya kemampuan dan kesempatan mengembuskan isu-isu baru sambil tetap mempertahankan perpecahan melalui isu-isu yang sudah lewat. Penelitian Wood memang berfokus pada lanskap politik Amerika, tapi gejala tersebut juga relevan dengan konteks politik Indonesia.

Putra Nababan, politikus PDIP, menyampaikan kepada publik bahwa Anies sepatutnya meniru kepemimpinan Risma, rekan satu partainya. Ucapan ini seperti memanaskan tensi politik, apalagi Putra secara lantang menginginkan Anies tidak memimpin Jakarta.

"Kejadian ini bukan cuma karena alam, ini bukti ketidakmampuan pemimpin mengelola kota seperti mengantisipasi banjir. It’s so predictable! You just not capable to do it,” kata Putra dalam akun Instagram pribadi @PutraNababan74. "Andaikan beliau (Bu Risma) ada di sini, besar kemungkinan normalisasi Sungai Ciliwung dilakukan sepanjang 33 km, bukan cuma 16 km yang telah mengakibatkan derita banyak warga Jakarta.”

Masalahnya, menurut John Zaller dalam The Nature and Origins of Mass Opinion (1992), sebagian masyarakat tidak menaruh fokus pada urusan publik sehingga bisa menyikapi secara kritis komunikasi politik para elite. Dengan demikian, elite bisa bebas membentuk opini terkait isu-isu di luar kapasitas masyarakat.

“Komunikasi elite membentuk opini masyarakat, bukan sebaliknya. Jadi, ketika elite memberikan gambaran tentang apa yang harus dilakukan, publik cenderung melihat peristiwa sesuai sudut pandang itu,” tegas Zaller.

Lantas yang terpancing adalah rakyat kecil seperti Zikria, seorang ibu rumah tangga biasa yang terpengaruh agitasi buruk para elite.

Infografik Anies vs Risma

Infografik Anies Baswedan vs Tri Rismaharini. tirto.id/Fuadi

Demi 2024

Persaudaraan Alumni 212, pihak yang setia mendukung Anies pada Pilkada Jakarta 2017, seperti kehilangan patron setelah Prabowo kalah dan menempel kepada Jokowi. Kritikan keras justru dilancarkan PA 212 kepada Prabowo yang menjabat Menteri Pertahanan.

"Sebaiknya Jokowi copot segera Prabowo Subianto sebagai Menhan, gantikan dengan yang sejalan dengan kebijakan beliau sebagai Presiden dan Panglima Tertinggi," kata Ketua Divisi Hukum PA 212 Damai Hari Lubis seperti dilansir CNN, Rabu (8/1/2020).

Namun kesetiaan PA 212 masih tertanam di Anies. Saat reuni 212 tahun lalu, Anies menghadiri acara dan mendapat pujian. Salah satu pujian itu bahkan memberikan sinyal dukungan agar Anies memimpin Indonesia sebagai presiden.

“Asap dapur pintu terbuka / Tercium sedap ikan peda // Indonesia akan berjaya / Kalau Anies Baswedan pimpinannya,” bunyi pantun yang disampaikan panitia Reuni Alumni 212 Haikal Hassan Baras di Monas.

Jika Risma mendapat dukungan dari Putra Nababan saat banjir, Anies menuai dukungan dari Ketua Media Center 212 Novel Bamukmin. Ketika Anies didesak mundur oleh masyarakat dalam aksi demonstrasi, Novel menegaskan bahwa mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu adalah pilihan umat Islam.

"Kami melihat demo ini lebih banyak kepentingan politiknya. Bagaimana pun kami tidak diamkan Anies sendiri. Dukanya Anies duka kita, sebab Anies menjadi simbol perjuangan umat Islam," ujar Novel seperti dilansir Media Indonesia.

Dukungan ini bisa menjadi modal Anies untuk Pilpres 2024 mendatang. Bagaimanapun Anies sempat masuk dalam jajak pendapat yang dilakukan Lingkaran Survey Indonesia Denny JA pada Juli 2019 tentang sosok capres 2024.

Risma memang belum muncul kala itu. Hanya saja ia menguat ketika Megawati mengukuhkan Risma sebagai Ketua DPP PDIP bidang Pendidikan dan Kebudayaan. Dibanding kader PDIP yang lain, Risma punya peluang besar mengenalkan namanya ke seluruh Indonesia.

Setelah menjadi juru kampanye Jokowi-Ma’ruf Amin, kini, menurut Megawati sebagaimana dilaporkan CNN, pekerjaan Risma juga berkeliling Indonesia dalam rangka “mengkompilasi hal-hal kearifan lokal kita. Sehingga dengan demikian, banyak sekali sub-bidangnya, hal-hal lain agar PDI Perjuangan lebih masuk ke dalam sebuah tingkat yang lebih serius.”

Pertaruhan Risma untuk 2024 akan dimulai pada 2022. Pada tahun tersebut Risma sudah tak lagi menjabat sebagai Wali Kota Surabaya, sedangkan kursi DKI-1 menjadi rebutan. Direktur Surabaya Survey Center Mochtar Oetomo menganggap posisi Gubernur DKI Jakarta menjadi penting bagi Risma jika memang hendak maju sebagai calon presiden di pilpres mendatang.

“Sebaliknya untuk [Pilpres] 2024 perlu loncatan melalui Pilgub Jakarta 2022,” kata Mochtar.

Maka hari-hari ini hingga 4 tahun ke depan polarisasi boleh jadi tidak akan berhenti. Ia seperti diwariskan kepada tokoh berikutnya yang akan berkontestasi dalam pilpres mendatang atau, setidaknya, untuk para pendukung mereka.

Baca juga artikel terkait POLARISASI PEMILU atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan