Menuju konten utama

Bagaimana Taliban Menaklukkan Kabul dan Menguasai Afganistan

Tepat hari ini 25 tahun yang lalu Taliban menaklukkan Kabul dan dengan demikian seantero Afganistan. Setelah itu tak ada yang lain selain mimpi buruk.

Bagaimana Taliban Menaklukkan Kabul dan Menguasai Afganistan
Ilustrasi Mozaik Taliban merebut ibu kota Afganistan. tirto.id/Sabit

tirto.id - Afganistan memasuki babak baru setelah Uni Soviet hengkang pada 1989 dan diikuti oleh jatuhnya pemerintahan Mohammad Najibullah tiga tahun kemudian. Banyak yang mengira perdamaian akan segera terwujud di bawah kepemimpinan baru, namun perubahan politik justru membuat negara di Asia Tengah ini semakin terjebak kekisruhan yang lebih dalam dan membuat mimpi perdamaian itu semakin jauh dari kenyataan.

Kelompok mujahidin, yang meski terdiri dari beragam suku dan ideologi tapi pernah bersatu dan memenangkan pertempuran melawan Soviet, akhirnya pecah. Masing-masing dari mereka merasa paling berhak menguasai pemerintahan. Mereka saling baku hantam dan membuat Afganistan semakin kacau. Suara ledakan dan tembakan semakin santer terdengar dan kerusakan di mana-mana.

Masyarakat sengsara dan tertindas, terlebih lagi kaum perempuan yang ruang geraknya dibatasi mujahidin dan kerap menjadi objek kekerasan. Mereka tak memiliki pilihan lain selain terpaksa hidup di situasi runyam yang kelak dikenal sebagai Perang Sipil Afganistan (1992-1996).

Kemunculan dan Strategi Taliban

Ketika pertempuran antarkelompok mujahidin untuk merebut ibu kota Kabul semakin memanas, pada September 1994, di barat daya Afganistan tepatnya di Provinsi Kandahar, muncul suatu kelompok yang kelak berkuasa di negara tersebut, Taliban, didirikan oleh Mohammed Omar (1960-2013).

Merujuk buku Larry Goodson berjudul Afghanistan Endless War: State Failure, Regional Politics, and The Rise of Taliban (2001:77), Taliban pertama kali muncul sekitar September atau Oktober 1994. Ketika itu mereka menyelamatkan gerombolan pedagang dari Pakistan ke Asia Tengah yang sebelumnya kerap dirampok para mujahidin. Pada momen inilah mereka memperkenalkan diri sebagai kelompok yang kesal dan muak atas gejolak dan berbagai tindakan melawan hukum yang terjadi.

Mereka juga berjanji akan memulihkan perdamaian dan keamanan dengan berlandaskan syariat Islam jika diberi kesempatan berkuasa.

Taliban dengan cepat mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat, khususnya warga Kandahar, berkat janji-janji itu. Terlebih, menurut Farooq Sulehria dalam tulisannya di Jacobin, kala itu masyarakat sudah putus asa hidup dalam kuasa faksi mujahidin yang konservatif, keras, dan fundamentalis. Masyarakat menyambut Taliban dengan harapan dapat membawa sedikit perubahan, meskipun pada saat itu mereka paham bukan berarti Taliban “baik-baik saja”.

Selain itu, dalam buku The Rise of The Taliban in Afghanistan (2002), Neamatulloh Nojumi menjelaskan terjadi kesepakatan antara Taliban dan warga. Isinya, jika warga bersumpah setia kepada Taliban, maka Taliban berjanji memberikan kehidupan normal, termasuk meredam gerakan kelompok bersenjata lokal yang kerap mengganggu masyarakat dan perdagangan. Taliban juga sukses meyakinkan masyarakat bahwa jika mereka berkuasa akan terjadi modernisasi, penghapusan korupsi, dan penegakan keadilan.

Sikap Taliban kepada masyarakat khususnya para pedagang tentu tidak terlepas dari keinginan mereka untuk meraih keuntungan ekonomi, tidak hanya politis.

Dengan modal komitmen yang belum dapat dibuktikan, Taliban berhasil menguasai dua provinsi, yakni Helmand dan Kandahar—yang di dalamnya terdapat kota terbesar ke-2 di Afganistan—hanya dalam hitungan minggu. Kelompok ini juga sukses menambah keanggotaan. Dari yang awalnya hanya ratusan mencapai ribuan dalam waktu yang tergolong cepat.

Dari sini, Taliban semakin berambisi menguasai seluruh daratan Afganistan.

Ambisi Merebut Ibu Kota

Menguasai Kandahar dan Helmand membawa keuntungan tersendiri bagi Taliban. Bukan hanya aspek sosial-politik, tetapi juga ekonomi. Mereka menguasai wilayah yang saat itu memiliki potensi ekonomi cukup besar. Kandahar adalah episentrum perdagangan. Di sana terdapat jalur dagang yang menghubungkan Asia Tengah dengan Pakistan. Ekspor-impor khususnya terkait jual-beli opium menjadi pemasukan andalan masyarakat. Begitu juga dengan Helmand yang kegiatan ekonominya ditunjang oleh produksi opium. Bahkan, dipercayai 60% opium Afganistan berasal dari Kandahar dan Helmand.

Sejak berkuasa dan berhasil menundukkan gerakan bersenjata lokal, Taliban terus mendorong bergeraknya roda perdagangan opium dan mematok keuntungan 10% dari sana. Tentu saja hal ini dilakukan sebagai modal pergerakan untuk meluaskan pengaruh dan kekuasaan.

Setelah mengamankan pusat ekonomi, Taliban terus bergerak meruntuhkan kelompok-kelompok mujahidin di berbagai provinsi.

Mereka menundukkan lawan-lawannya dari yang memiliki kedudukan rendah hingga level tertinggi di tata pemerintahan. Ketika ingin menguasai suatu kota, maka mereka akan terlebih dahulu menaklukkan kepala desa—sekaligus menambah keanggotaan—sebelum meminta wali kota mengakui mereka. Dengan begitu, melansir tulisan Ali A. Olomi di The Conversation, Taliban benar-benar memiliki jaringan yang luas atau terdesentralisasi.

Masih merujuk pada buku Nojumi, tak jarang upaya Taliban menaklukkan suatu wilayah berakhir dengan pecahnya pertempuran kecil. Meski begitu, Taliban juga memainkan taktik untuk dapat menaklukkan lawan tanpa perlu mengangkat senjata terlalu lama, yakni, lagi-lagi, dengan menyebar janji. Ketika berhadapan dengan kelompok lokal, Taliban mengatakan bahwa tujuan mereka memerangi mujahidin lokal bukan untuk mengejar kekuasaan politik, tapi murni untuk mewujudkan perdamaian dengan berlandaskan Islam.

“Sudah sejak lama orang-orang Afganistan menyerukan perdamaian dan keamanan serta diakhirinya perang saudara. Seruan politik para pemimpin Taliban yang menggembar-gemborkan perdamaian dan keamanan berhasil menaklukkan banyak orang sekaligus kelompok politik di Afganistan,” tulis Nojumi.

“Selain itu, afiliasi Taliban dengan Pakistan membuat informasi atas gerakan baru ini tidak sampai ke beberapa kelompok mujahidin sehingga ketika Taliban datang untuk mengambil alih wilayah, kelompok mujahidin tersebut tidak siap. Kondisi ini tentu menjadi ‘lingkungan’ yang baik untuk pergerakan Taliban.”

Pada kondisi seperti ini Taliban juga memberikan bukti bahwa kehidupan di bawah kendali mereka sedikit lebih baik. Ketika Taliban datang, tindakan kekerasan seperti pemerkosaan dan praktik penindasan lainnya berkurang .

Meski demikian, bukan berarti kehidupan di bawah Taliban jauh lebih baik, khususnya, lagi-lagi, terhadap kaum perempuan. Hal ini diungkap oleh jurnalis John F. Burns dalam laporannya kepada The New York Timespada 1995. Kata Burn, “Taliban telah melarang perempuan bekerja di luar rumah mereka, melarang bermain sepak bola, dan memaksa semua laki-laki untuk memotong rambut pendek.”

“Tetapi mereka juga telah menunjukkan fleksibilitas,” tambahnya. “Ketika perempuan di Kandahar memprotes larangan perempuan memasuki pasar kota, Taliban mengalah dan merevisi aturan dengan memerintahkan agar perempuan berdiam di luar toko, lalu pria akan melayani dan membawakan barang kepada mereka.”

Taliban semakin mendapatkan simpati dan sukses melebarkan kekuasaan hingga berhasil menguasai 40% wilayah Afganistan pada pertengahan 1995. Taliban hampir menguasai separuh Afganistan setahun setelah berdiri.

Detik-detik Jatuhnya Kabul

Karena hendak menguasai seluruh Afganistan, Taliban tahu bahwa mereka pertama-tama harus menaklukkan wilayah-wilayah vital yang didukung penuh rezim kala itu yang dipimpin Presiden Burhanuddin Rabbani (1992-1996). Provinsi Herat di barat dan Provinsi Nangarhar di timur adalah target mereka selanjutnya.

Herat adalah wilayah yang berada di posisi strategis dan memiliki kedudukan geopolitik yang baik karena berbatasan langsung dengan Iran. Wilayahnya menjadi penghubung jalur perdagangan antara Iran-Pakistan-Afganistan. Di sana juga banyak kelompok mujahidin lokal berarti pula banyaknya persenjataan dan berbagai macam alat tempur. Begitu juga dengan Nangarhar. Provinsi ini berada persis di sebelah barat Kabul dan memiliki beragam fasilitas tempur bekas militer Soviet sehingga militer dan polisinya menjadi yang paling mumpuni di Afganistan.

Taliban menganggap dua provinsi ini harus ditaklukkan agar sukses Kabul. Meski demikian, jalan yang ditempuh tidaklah mudah karena harus berhadapan dengan kekuatan militer yang cukup kuat.

Taliban mulai menyerang pasukan di Herat pimpinan Ismail Khan. Setelah berbulan-bulan bertempur, pada September 1995, Herat akhirnya jatuh. Jatuhnya Herat semakin menggoyahkan kekuatan pemerintahan Rabbani. Bagi Taliban, mendapatkan Herat merupakan kemenangan politik untuk menarik dukungan dan perhatian negeri lain.

Setahun kemudian, pada 5 September 1996, Taliban melancarkan serangan besar-besaran ke Afganistan Timur. Merebut wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai salah satu pemimpin mujahidin, Gulbuddin Hekmatyar. Jatuhnya kekuasaan Hekmatyar atas beberapa wilayah membuka jalan lebar untuk menguasai Nangarhar. Benar saja, pada 11 September, Taliban secara resmi merebut Nangarhar sekaligus juga mengambil alih gudang persenjataan yang ada.

Setelah menguasai Nangarhar dan Herat, kemenangan sesungguhnya sudah tampak di depan mata. Tinggal selangkah lagi untuk menguasai Kabul, yang sebetulnya saat itu sudah tak berdaya karena basis militernya telah dikuasai Taliban. Alhasil, dalam kurun waktu 20-26 September, Taliban dengan lancar melakukan serangan penghabisan dan berhasil menguasai seluruh kota di Provinsi Kabul.

Puncaknya terjadi pada 27 September 1996, tepat hari ini 25 tahun lalu, Taliban resmi menguasai Kabul.

Infografik Mozaik Kebangkitan Taliban

Infografik Mozaik Kebangkitan Taliban. tirto.id/Teguh

Meski masih terdapat wilayah di utara yang belum dikuasai, penguasaan atas ibu kota negara secara tidak langsung menandakan penguasaan Taliban atas keseluruhan Afganistan.

Pada hari yang sama, Taliban mengumumkan pergantian konstitusi serta mengubah nama negara menjadi Keamiran Islam Afganistan (Islamic Emirate of Afganistan) sekaligus mengeksekusi Presiden Najibullah dengan cara yang sadis: menembaknya hingga tewas lalu menggantung mayatnya di tengah kota untuk dipertontonkan.

Sejak saat itulah masyarakat Afganistan memulai episode baru di bawah kuasa Taliban. Kelak, janji-janji yang membuat Taliban mendapatkan simpati masyarakat tidak banyak yang direalisasikan.

Bisa dikatakan tidak terjadi perubahan berarti terhadap rakyat Afganistan. Justru Taliban malah menerapkan berbagai kebijakan yang sangat konservatif sekaligus melakukan tindakan yang mengabaikan hak asasi manusia, khususnya hak-hak perempuan, minoritas, dan berbagai kelompok yang tak sejalan dengan mereka.

Baca juga artikel terkait TALIBAN atau tulisan lainnya

tirto.id - Politik
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh & Rio Apinino