Menuju konten utama

Afganistan, Negeri Kaya Litium yang Kini Dikuasai Taliban

Memanfaatkan pesawat B-57 dan NP-3D Orion Surveilannce Plane yang telah dimodifikasi, Amerika Serikat menguak kekayaan mineral Afganistan.

Afganistan, Negeri Kaya Litium yang Kini Dikuasai Taliban
Pejuang Taliban berpatroli di dalam kota Kandahar, Afghanistan barat daya, Minggu, 15 Agustus 2021. (AP Photo/Sidiqullah Khan)

tirto.id - "Usai satu dekade lepas dari cengkeraman militer Uni Soviet dan lima tahun perang saudara yang teramat kejam sesudahnya, Afganistan kian menjauh dari kata damai," tulis John F. Burns dalam laporannya untuk The New York Times pada 1995.

Invasi Soviet atas Afganistan yang dimulai sejak 1979 merupakan bagian dari Perang Dingin guna mempertahankan kekuasaan pemerintah Republik Demokratik Afganistan yang beraliran komunis dari rongrongan oposisi yang tak puas. Amerika Serikat beserta sekutunya seperti Pakistan, Arab Saudi, dan Inggris, memberikan pelatihan serta bantuan persenjataan kepada oposisi, terutama Mujahidin, kelompok milisi oposisi yang bersatu dalam naungan Islam serta kebencian terhadap komunis.

Dengan bantuan Paman Sam, serta didukung kenyataan bahwa Afganistan memiliki geografi yang sulit dilalui, Mujahidin berhasil memenangkan pertarungan melawan Soviet. Namun, kemenangan ini tak bisa dirayakan karena meskipun dipersatukan oleh Islam dan anti-komunisme, Mujahidin merupakan kelompok yang terdiri dari ragam suku serta ideologi yang sukar bersatu hingga membuat mereka terpecah belah usai berhasil mengusir Soviet.

Dari perpecahan Mujahidin inilah Taliban mencuat. Taliban merupakan gerakan islamis yang berupaya mengubah Afganistan menjadi negeri yang sepenuhnya menjalankan syariat Islam. Di tahun saat The New York Times memublikasikan laporan Burns, Taliban perlahan menguasai lebih dari 40 persen wilayah Afganistan, termasuk Kandahar--kota terbesar ke-2 di Afganistan.

Selain janji menegakkan syariat Islam, kesuksesan Taliban menguasai sebagian besar wilayah Afganistan juga karena kelompok ini berhasil meyakinkan masyarakat bahwa mereka akan melakukan modernisasi, menghapus korupsi di tubuh penguasa, serta menegakkan keadilan dan hukum yang telah lama hilang. Serangkaian janji ini akhirnya mendorong Taliban benar-benar sepenuhnya menguasai Afganistan pada 1996. Mereka mengganti konstitusi serta mengubah nama negara dari Republik Demokratik Afganistan menjadi Keamiran Islam Afganistan (Islamic Emirate of Afghanistan).

Namun, seperti kisah tentang janji-janji politik di antero dunia, nyatanya Taliban tidak melakukan perubahan berarti bagi kehidupan rakyat Afganistan. Bahkan, dengan mengatasnamakan syariat, mereka menyerabut hak-hak kaum perempuan, minoritas, serta kelompok-kelompok yang tak sepemikiran. Hal ini menggiring terjadinya persekusi dan pertikaian yang tak berkesudahan.

Tak sampai lima tahun di bawah kendali Taliban, setitik harapan mulai muncul lagi bagi rakyat Afganistan. Didasari dendam kesumat untuk menghabisi aktor di balik serangan 11 September, AS yang mencurigai Afganistan tempat persembunyian Osama bin Laden dan kawan-kawan sebagai terdakwa utama hancurnya menara kembar World Trade Center di Manhattan, New York: menginvasi Afganistan. Mereka melucuti kekuasaan Taliban di negeri yang gagal ditaklukkan Kekaisaran Inggris dan Uni Soviet itu pada Desember 2001.

Dimulai dari komando George W. Bush hingga Barack Obama, segala hal yang dilarang Taliban diperkenankan kembali di Afganistan, termasuk segala hal yang berbau barat/modernitas didirikan, mulai dari pemerintahan yang pro-AS, sekolah-sekolah, hingga fasilitas-fasilitas publik. Hal ini memberi secercah harapan bagi rakyat Afganistan untuk hidup secara normal.

Namun, harapan tinggal harapan. Meski terusir dari kekuasaan, nyatanya Taliban bertahan dengan strategi gerilya plus dukungan dana dan persenjataan dari Pakistan, Rusia, dan Iran hingga berhasil mengganggu kekuasaan AS di Afganistan melalui serangkaian serangan. Pada pertengahan 2010, Obama mengirimkan pasukan yang lebih besar. Membuat Afganistan menjadi medan tempur tak berkesudahan antara AS dengan Taliban.

Setelah Osama bin Laden terbunuh pada Mei 2011, Pentagon menganalisis bahwa Paman Sam tak mungkin memenangkan pertempuran melawan Taliban. Obama kemudian mengumumkan bahwa AS akan menarik pasukannya mulai 2014 dari Afganistan. Keputusan ini akhirnya direalisasikan secara tertulis oleh Presiden Donald Trump pada Februari 2020, dan dilanjutkan melalui realisasi nyata oleh Presiden Joe Biden pada awal Agustus 2021 kemarin.

Penarikan pasukan AS dari Afganistan membuat Taliban kembali berkuasa. Sementara itu pemerintahan dan militer Afganistan pro-Amerika tersandera korupsi serta perpecahan yang akut. Taliban, sebagaimana dituturkan David Zucchino dalam laporannya untuk The New York Times, "berjanji memberikan ampunan pada politikus serta pasukan Afganistan pro-Amerika seandainya mereka menyerah dan tak memberikan perlawanan."

Kekuasaan ini dimanfaatkan oleh Taliban untuk mengubah kembali konstitusi agar sesuai dengan syariat. Selain itu, digunakan pula untuk mencengkeram harta karun paling bernilai di dunia saat ini yang melimpah ruah di Afganistan, yakni mineral.

Mineral Tersembunyi dan Kutukan

"Pada Februari 2011 silam, geolog asal US Geological Survey (USGS) bernama Robert Tucker menginjakkan kakinya di Afganistan," tulis Richard Stone dalam artikelnya berjudul "Mother of all Iodes" (Journal of American Association for the Advancement of Science Vol. 345 2014).

Tucker diperintahkan oleh Task Force for Business and Stability Operation (TFBSO)--sebuah divisi di bawah Deperteman Pertahanan AS untuk urusan ekonomi pada negara-negara yang diinvasi AS--untuk melakukan survei geologis.

Menurut data survei yang dilakukan Uni Soviet pada 1970-an, Afganistan merupakan negeri yang kaya mineral karena berada di titik tumbukan antara lempeng/kerak subkontinen India dengan Asia. Data itu bocor ke tangan AS yang kemudian mendorong Paman Sam mengelaborasi data tersebut lebih jauh.

Maka, memanfaatkan teknologi yang jauh lebih canggih, yakni dengan melakukan penginderaan jauh (remote sensing) memanfaatkan pesawat B-57 dan NP-3D Orion Surveilannce Plane yang telah dimodifikasi, Paman Sam melakukan survey geologis di Afganistan.

Tak disangka, dimotori data milik Soviet yang sengaja dipenuhi jalan imajiner untuk menyesatkan lokasi bagi pihak non-Soviet menemukan harta karun di Afganistan, Tucker, melalui survei yang dilakukannya, mengamini temuan Soviet. Ia menyatakan bahwa Afganistan memang negeri yang kaya mineral. Dari ujung barat ke ujung timur, Afganistan merupakan tempat bermacam mineral tersembunyi.

Mineral tersebut antara lain tembaga yang diperkirakan berjumlah 60 juta ton, hingga bijih besi yang diperkirakan berjumlah 2,2 miliar ton. Selain itu, ada juga alumunium, perak, seng, dan merkuri yang ditemukan dalam jumlah melimpah. Dan tak ketinggalan, litium--kunci utama mengapa iPhone hingga mobil-mobil Tesla dapat bekerja--ditemukan melimpah ruah di Afganistan. Hal ini, sebagaimana tercatat dalam memo internal militer AS, membuat Paman Sam percaya bahwa Afganistan merupakan "Arab Saudi-nya litium."

Diperkirakan, total mineral yang tersembunyi di bawah tanah Afganistan bernilai sekitar $1 triliun. Angka yang jauh lebih dari cukup untuk mensejahterakan rakyat Afganistan.

Infografik Mineral Afganistan

Infografik Mineral Afganistan. tirto.id/Fuad

Mineral yang melimpah di Afganistan jika dihubungkan dengan kesejahteraan rakyatnya kemungkinan besar hanya akan menjadi angin semu. Musababnya, sebagaimana dipaparkan Jonathan Lipow dalam studinya berjudul "Can Afghanistan avoid the Natural Resource Curse?" (Defense & Security Analysis Vol. 28 2012), Afganistan sangat mungkin tertimpa "kutukan sumber daya alam", suatu kutukan yang menimpa negeri-negeri kaya mineral akibat kelalaian pemimpinnya mengolah mineral yang dimiliki gara-gara korupsi alias nafsu kekayaan sesaat.

Sebelum Afganistan kembali jatuh ke tangan Taliban, kutukan sumber daya alam ini seakan menyeruak. Tak lama setelah survei yang dilakukan Tucker keluar, pemimpin negeri itu, terutama digawangi anggota parlemen, langsung sibuk menentukan royalti. Parlemen Afganistan ingin apabila mineral dieksplorasi ada pembagian sebesar 50 persen kepada mereka. Padahal, angka tersebut lebih tinggi 10 kali lipat dibandingkan ketentuan-ketentuan negara manapun soal mineral. Di sisi lain, pemerintahan Afganistan bentukan AS merupakan pemerintahan yang korup, yang diduga memanfaatkan dana-dana bantuan untuk kepentingan pribadi serta golongan kekuasaan semata.

Kini, di bawah Taliban, kekayaan mineral Afganistan sangat mungkin benar-benar menjadi kutukan. Musababnya, sebagaimana dipaparkan Thomas Barfield dalam Afghanistan: A Cultural and Political History (2010), "semenjak kematian Abdur Rahman Khan yang damai pada 1901, [Afganistan] merupakan negeri yang terus-terusan bergejolak, dengan para pemimpinnya mati di bunuh di kediamannya masing-masing atau mengasingkan diri ke negeri seberang."

Suatu kenyataan pahit yang terjadi karena satu sebab: Afganistan terdiri dari beragam etnis, dan menganggap beragamnya etnis tersebut dapat dipersatukan melalui negara modern ala barat merupakan kesalahan besar.

Etnis terbesar yang menduduki Afganistan adalah Pashtun, berjumlah kira-kira 40 persen dari total populasi Afganistan, yang melahirkan sub-etnis seperti Durrani, Ghilzais, Gurshust, serta Karlanri. Setelah Pashtun, Hazara merupakan etnis terbesar kedua, yang disusul oleh Uzbek/Turkmen, Aimaqs, Nuristanis/Pashai, Qizilbash, Baluch, hingga Arab dan beragam etnis yang jauh lebih kecil jumlahnya.

Masalahnya, beragam etnis ini jarang berkomunikasi satu sama lain karena geografi Afganistan yang bergunung-gunung hingga membuat satu etnis hanya hidup dengan kelompoknya sendiri. Beragam etnis ini juga hidup dalam kebudayaan mereka masing-masing, yang berbeda satu sama lain. Dan usai kolonialisme Barat menyatukan Afganistan, pertikaian tentang siapa menguasai siapa terjadi. Membuat negeri ini lebih menguntungkan bagi pihak-pihak yang memiliki kesamaan etnis dengan penguasa.

Di bawah Taliban, kesejahteraan mungkin hanya menghampiri suku Pashtun. Artinya, gejolak dalam negeri Afganistan bisa kembali membara, peperangan memperebutkan kekuasaan bisa kembali meletus antaretnis.

Baca juga artikel terkait AFGANISTAN atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh