tirto.id - Amerika Serikat secara resmi mengakhiri perangnya di Afghanistan pada 2014, ditandai dengan penarikan pasukan militernya sepanjang periode 14 Juni 2011 hingga 31 Desember 2016 (kecuali 8.400 tentara di 4 garnisun di Kabul, Kandahar, Bagram, dan Jalalabad untuk menghalau kebangkitan Taliban di Kunduz).
Di saat publik mengira tahun ini akan ada lebih banyak pasukan yang pulang, nyatanya pemerintah Trump sedang dalam proses penerjunan beberapa ribu lagi ke Afrganistan.
Minggu (18/9/2017) kemarin Menteri Pertahanan Jim Mattis menyatakan bahwa AS akan mengirimkan 3.000 tentara lagi ke Afghanistan atau 25 persen dari total jumlah pasukan di negara tersebut, demikian menurut VOA America. Mattis tak mau mengatakan berapa angka pastinya. Namun, kebijakan ini menimbulkan tanda tanya besar: strategi apa yang akan diterapkan AS sepeninggal Barrack Obama?
Dalam laporan New York Times akhir Juli lalu, jawabannya sudah jelas: AS mengincar sumber daya alam Afghanistan, terutama jenis mineral yang cadangannya melimpah. Wajar saja, perang yang telah berlangsung sejak 2001 hingga 2014 telah menguras kas AS hingga lebih dari $100 miliar, dan Trump akan cari gantinya dengan menerjunkan pembesar bisnis mineral AS untuk mengeruk tanah Afghanistan.
Pemerintah AS juga menganggap langkah ini sebagai balas jasa karena merasa telah sukses membasmi Al-Qaeda dan Taliban dari Afghanistan dan mengembalikan kondisi negara jadi lebiih stabil—meski klaim ini juga banyak ditolak oleh para analis politik, jurnalis profesional, bahkan juga menteri pertahanan AS sendiri.
Dalam studi kerja sama yang dilaksanakan Pentagon dan Survei Geologi AS satu dekade silam, Afghanistan diketahui memiliki cadangan mineral yang bernilai sekitar $1 triliun yang belum dimanfaatkan. Sumber lain menyebutkan jumlah sebenarnya mencapai $3 triliun. Pada bulan Desember 2013, presiden Afghanistan saat itu, Hamid Karzai, mengklaim bahwa nilai mineral sebenarnya yakni $30 triliun atau lebih dari nilai pendapatan bidang pertambangan global tahun 2016 dikalikan 60.
Selain emas, perak, dan platinum, Afghanistan juga memiliki cadangan bijih besi, uranium, seng, tantalum, bauksit, batu bara, gas alam, dan tembaga yang signifikan. Afghanistan, dalam beberapa laporan, dinilai punya potensi menjadi Arab Saudi selanjutnya namun untuk tambang litium. Litium jadi bahan baku dalam produksi baterai telepon hingga baterai mobil listrik. Mengingat keduanya termasuk produk teknologi yang terus tumbuh, ke depannya litium akan makin banyak dicari.
Baca juga: Panen Opium di Tanah Taliban
Trump telah membahas cadangan mineral tersebut dengan presiden Afghanistan baru Ashraf Ghani. Terkait tambang, Ghani punya sikap berbeda dibanding era di mana Obama masih jadi presiden AS. Saat itu, ia khawatir korupsi yang laten di negaranya akan menghancurkan industri tambang baru. Namun, usai Trump terpilih, Ghani berubah. Ia segera menghubungi tim Trump untuk mempromosikan kekayaan mineral negaranya. Ia tahu jika Trump, sebagai presiden dengan latar belakang pengusaha tulen, akan tertarik dengan tawarannya.
Trump sesungguhnya agak skeptis dengan penerjunan lebih banyak tentara ke Afghanistan—alih-alih menariknya pulang. Namun, sebagaimana penelusuran New York Times, potensi komersil dari tambang mineral kini membuatnya punya alasan yang jelas mengapa Trump menyepakati kebijakan petinggi militer AS itu. Militer adalah jalur terbaik untuk mengamankan investasi di Afghanistan. Dalam 16 tahun terakhir AS juga sudah mulai mencicil investasi dalam beragam bentuk di negara asal Taliban itu.
Stephen A. Feinberg, miliarder yang secara informal menasihati Trump terkait kebijakan luar negeri AS di Afghanistan, juga mencari cara untuk mengeksploitasi mineral di negara itu. Barangkali bukan sebuah kebetulan bahwa Feinberg memiliki perusahaan kontraktor militer besar, DynCorp International, yang bisa dimanfaatkan untuk menjaga industri tambang AS di Afghanistan dari serangan teror. Pasalnya beberapa wilayah kaya mineral di Afghanistan berada di area yang dikontrol oleh Taliban.
Baca juga: Patung Buddha Raksasa Itu Akhirnya Hancur di Tangan Taliban
Visi ini sebenarnya telah mulai digarap sejak lama. Pada tahun 2006 pemerintahan George W. Bush melakukan survei udara di Afghanistan untuk memetakan wilayah dengan sumber daya mineral. Lalu di bawah kepemimpinan Obama, Pentagon membentuk sebuah gugus tugas khusus untuk mencoba membangun industri pertambangan di Afghanistan, namun belum mencapai hasil yang diharapkan. Faktor penyebabnya, selain korupsi akut yang disebutkan Ghani, juga kendala keamanan yang belum stabil dan infrastuktur yang belum memadai (jalan, jembatan, jalur kereta api, dan sebagainya).
Apesnya lagi, kendala-kendala tersebut belum berhasil diatasi pada upaya pembangunan kembali Afghanistan dalam delapan tahun terakhir. Di beberapa wilayah situasinya justru memburuk. Masalah lebih mendasar selain infrastruktur yang perlu dipikirkan dulu oleh AS adalah perkara keamanan. Di Kunduz, misalnya, keamanannya belum terjamin sebab masih jadi basis pemberontak Taliban. Padahal daerah tersebut juga ditaksir menyimpan kekayaan mineral.
Sementara itu cadangan litium terbesar berada di tiga provinsi yakni Ghazni di bagian timur Afghanistan, dan Herat dan Nimroz di bagian barat. Taliban punya kekuasaan dan kekuatan yang cukup mengkhawatirkan di Ghazni. Sementara Herat dan Nimroz adalah wilayah yang rutin jadi medan pertempuran antara pasukan pemerintah dengan pemberontak Taliban.
Baca juga: Bacha Bazi, Prostitusi Anak Terselubung di Afghanistan
Situasi ini memunculkan gelombang peringatan dari beberapa pejabat AS bahwa pencarian mineral di Afghanistan untuk menutupi biaya perang barangkali bukan lah langkah yang terbaik.
“Akan berbahaya jika militer diturunkan untuk menggali potensi sumber daya alam di sana. Hambatan masuknya benar-benar cukup besar, dan argumen seperti itu (mengeruk mineral untuk laba) justru akan memicu kecurigaan tentang niat sebenarnya mengapa pemerintah AS tetap bertahan di Afghanistan,” kata Laurel Miller, analis senior di perusahaan RAND yang bertugas sebagai perwakilan khusus Departemen Luar Negeri AS untuk Afghanistan dan Pakistan hingga bulan Juni lalu.
Pemerintah AS seakan tutup telinga. Apalagi rencana mereka disambut hangat oleh para pejabat lokal Afghanistan yang melihat langkah AS sebagai solusi “win-win”. Mereka membayangkan jika pelaksanaan industri pertambangan mineral bersama AS akan berefek pada meningkatnya perekonomian Afghanistan yang telah dikoyak konflik bersenjata selama bertahun-tahun.
Dalam wawancara dengan The Associated Press dan dikutip oleh VOA America, Mohammad Humayon Qayoumi selaku kepala penasihat presiden Afghanistan untuk urusan infrastruktur, sumber daya manusia, dan teknologi, menyatakan: “Afghanistan bisa menjadi tempat yang baik dan selalu tertarik dengan investasi AS di berbagai bidang, khususnya untuk industri pertambangan. Di bidang pertambangan, ada beberapa peluang yang cukup strategis, salah satunya adalah litium.”
Baca juga: Tudingan Antek Barat ke Malala dan Para Perempuan Terpelajar
Bagi AS sendiri, akan ada ruang lebih untuk menawarkan mineral jenis langka yang selama ini hanya dimonopoli oleh Cina. Cina telah menandatangani kontrak senilai $3 miliar untuk mengembangkan tambang tembaga yang berlokasi sekitar 25 mil dari tenggara ibu kota Afghanistan, Kabul. N. Silver, pemilik perusahaan penambang mineral untuk produk teknologi tinggi, American Elements, dikabarkan telah bertemu dengan perwakilan Trump untuk mengusahakan agar perusahaan AS terlibat semaksimal mungkin dalam bisnis pertambangan mineral di Afghanistan.
Dalam catatan The Independent, masih sedikit perusahaan AS yang secara serius menambang kekayaan mineral di Afghanistan dalam skala besar. Pengusaha AS Ian Hannam, misalnya, telah lama berinvestasi di perusahaan Afghan Gold and Minerals Company (AGMC). AGMC memenangkan izin menambang cadangan tembaga di Balkhab, Afghanistan bagian utara, pada 2012.
Sisanya banyak yang ditambang oleh masyarakat Afghanistan dalam skala industri kecil-kecilan dan berjalan di luar kendali maupun pengawasan dari pemerintah. Orang-orang ini juga tak bisa serta-merta disalahkan sebab tingkat pengangguran di Afghanistan yang tinggi memaksa mereka melakoni pekerjaan apapun untuk bertahan hidup. Pertambangan skala kecil tersebut tersebar di banyak wilayah terutama di area terpencil. Padahal, jika pemerintah mau turut campur, diperkirakan ada potensi penerimaan pajak hingga $300 juta.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan