Menuju konten utama

Litium, Mineral yang Jadi Bagian Vital Smartphone

Unsur Litium berperan pada komponen pendukung baterai yang dekat dengan kehidupan banyak orang melalui smartphone.

Litium, Mineral yang Jadi Bagian Vital Smartphone
Tumpukan garam di danau garam Uyuni, La Paz, Bolivia. Danau garam Uyuni merupakan sumber cadangan lithium terbesar di dunia. REUTERS/Gaston Brito

tirto.id - Litium mendadak jadi pembicaraan dunia saat skandal terbakarnya Samsung Galaxy Note 7, tahun lalu. Ia menjadi bagian unsur vital dalam komponen baterai. Pemanfaatan lithium makin meluas dan bertambah sejalan permintaan berbagai produk elektronika terutama baterai smartphone.

Diperkirakan ada 2,32 miliar smartphone yang beredar di tangan konsumen seluruh dunia saat ini. Penjualan smartphone yang begitu besar, sukses menciptakan revolusi. Unsur kimia dengan simbol “Li” dan nomor atomik “3”, alias Lithium ikut terdongkrak. Kebutuhan akan unsur penting ini bakal terus bertambah. Beberapa tahun ke depan, jumlah smartphone yang beredar akan mencapai 6,1 miliar unit hingga 2020.

Baca juga: Samsung: Baterai Bermasalah Sebabkan Note 7 Terbakar

Namun, Quartz dalam laporannya menyebut bahwa peningkatan Lithium di masa depan tak digerakkan terutama oleh smartphone saja. Perkembangan mobil listrik yang akan mendorong permintaan Lithium dalam jumlah besar pada beberapa tahun mendatang. Berdasarkan proyeksi akan 25 juta unit mobil listrik yang akan terjual di 2030 mendatang.

Secara volume, jumlah mobil listrik memang kalah banyak dari smartphone, tapi kebutuhan Lithium untuk baterai mobil listrik lebih banyak daripada smartphone. Sebuah mobil listrik Tesla Model S misalnya, membutuhkan 7.000 keping baterai ukuran AA. Dengan proyeksi populasi mobil listrik pada 2030 maka setara dengan kebutuhan 175 miliar keping baterai Lithium ukuran AA.

Secara umum, penggunaan Lithium memang terus meningkat. US Geological Survey dalam sebuah publikasinya mencatat bahwa produksi Lithium dunia meningkat hingga 6 persen di 2014. Peningkatan produksi dan konsumsi Lithium mengundang investor untuk masuk ke bisnis ini. Dalam laporan Bloomberg, analis dari Sanford C. Bernstein & Co memprediksi uang senilai $350 miliar hingga $750 miliar akan digelontorkan pada bisnis Lithium hingga 2030.

Toyota Tsusho, perusahaan pemasok material bagi pabrikan mobil di Jepang bersiap membenamkan investasi di bisnis Lithium. Mengutip The New York Times, perusahaan itu telah mengikat kontrak senilai $100 juta dengan perusahaan penambang asal Autralia bernama Orocobre guna membangun pertambangan Lithium di Argentina.

Selain itu, Magna International, perusahaan pemasok material mobil asal Kanada juga melakukan langkah serupa. Ia menggelontorkan uang senilai $10 juta bagi perusahaan penambang Lithium yang sama-sama membangun pangkalannya di Argentina.

Baca juga: Ada Apa dengan Baterai Lithium?

Masih dalam laporan The New York Times, untuk urusan investasi, tercatat ada 60 perusahaan pertambangan yang kini tengah melakukan studi kelayakan pertambangan Lithium di Argentina, Serbia, hingga Nevada, AS.

Peningkatan konsumsi Lithium kemudian berbanding lurus dengan peningkatan harga unsur kimia itu. Dalam sepuluh bulan terakhir harga Lithium meningkat hampir tiga kali lipat menjadi lebih dari $20 ribu per ton.

Sejarah Panjang Lithium

“Lithium bagaikan garam pada salad.”

Tokoh bidang teknologi Elon Musk memeras makna Lithium begitu pentingnya dalam perkembangan teknologi penyimpanan listrik. Dalam laporan Live Science bahwa Lithium merupakan “metal spesial dalam segala hal.” Lithium merupakan unsur yang ringan dan tipis, bisa dipotong kecil hingga dapat mengapung di air. Ia pun dapat dipadatkan dengan beragam bentuk.

Unsur Lithium tentu tak akan banyak berarti bila tak ada sentuhan teknologi baterai Lithium, yang memanfaatkan Lithium sebagai konduktor listrik yang digunakan untuk melakukan kontak dengan bagian nonmetalik dari sebuah rangkaian baterai. Baterai Lithium-ion, varian lain dari jenis baterai ini, merupakan jenis baterai isi ulang di mana ion Lithium bergerak dari elektroda negatif ke elektroda positif selama tidak diisi dan kembali saat pengisian daya.

Unsur Lithium ditemukan oleh Johan August Arfwedson pada 1817. Ia menemukan unsur Lithium selepas meneliti sebijih mineral bernama Petalite. Mineral yang ditemukan oleh Jose Bonafacio de Andrada e Silva pada 1800 di Pulau Uto, Swedia.

Pada awalnya, unsur tersebut belum diberi nama oleh sang penemu. Adalah Jakob Berzelius, guru Arfwedson kemudian mengirimkan surat pada kimiawan Perancis bernama Comte Claude Louis Berthollet atas temuan muridnya. Berthollet, dalam sebuah surat balasan, kemudian memberi nama elemen itu “Lithion” alias Lithium.

Lithium, secara etimologi, berasal dari kata Lithos dari Yunani yang berarti batu. Berthollet menamai elemen baru itu Lithium sebagai penanda bahwa sang elemen baru ditemukan dalam kelompok kerajaan mineral (mineral kingdom), sementara dua elemen identik dengan Lithium, yakni Sodium dan Potassium, berasal dari kerajaan sayuran (vegetables kingdom).

Infografik Lithium rev

Secara umum Lithium didapatkan melalui dua cara, menambang atau penguapan. Dalam laporan The New York Times, teknik penambangan Lithium terbilang mahal. Teknik pengambilan Lithium dengan cara ini umumnya dilakukan untuk memenuhi permintaan Lithium untuk kebutuhan industri. Ini termasuk permintaan Lithium untuk baterai, kaca, maupun tabung televisi.

Di dunia, Australia merupakan negeri yang memproduksi Lithium paling besar. Pada 2016 lalu, Australia memproduksi 14.300 metrik ton Lithium per tahun. Chile berada di posisi kedua, yang memproduksi 12.000 metrik ton Lithium per tahun.

Teknik yang lebih ekonomis ialah penguapan. Lithium bisa dihasilkan dengan menguapkan air asin yang mengandung Lithium. Ini bisa dilakukan terutama di padang garam yang tercipta ribuan tahun silam. Kebanyakan, padang garam di Amerika Selatan serta Cina, memiliki kandungan ini.

Donald E. Garrett dalam bukunya berjudul “Handbook of Lithium and Natural Calcium Chloride” mengatakan bahwa produksi secara komersial pertama pada elemen kimia itu terjadi pada 1927 silam. Saat itu, perusahaan asal AS bernama Maywood Chemical Co asal New Jersey memproduksi Lithium untuk diperjualbelikan. Perusahaan itu, memperoleh bahan mentah konsentrat Lithium dari sebuah pertambangan di wilayah South Dakota, AS.

Sebelum dikenal sebagai bahan utama baterai, Lithium, pada rentang 1955 hingga 1960 terkenal sebagai bahan pembuat kaca dan keramik. Di akhir 1950-an, pemanfaatan Lithium merambah sebagai komponen pendingan udara. Di dekade 1960-an, Lithium kemudian mulai dimanfaatkan sebagai bahan karet sintetis.

Kini Lithium dianggap sebagai elemen fundamental, terutama untuk baterai, penggunaan unsur ini tak selamanya bisa diandalkan. Perkembangan teknologi hari ini sangat terbatas pada kemampuan baterai yang dimiliki.

“Kini baterai Lithium-ion hampir mendekati batas,” ucap Stefano Passerini, pemimpin redaksi pada jurnal khusus energi bernama Journal of Power Source.

“Kemajuan atau kehebatan baterai jauh lebih lambat daripada (teknologi) di bidang lain, dan ini adalah keterbatasan intrinsik dari sebuah baterai," katanya.

Baca juga: Baterai, Sumbu Teknologi yang Masih Padam

Di masa depan Lithium bisa jadi harus tergeser sebagai unsur kunci pada baterai dan tergantikan dengan unsur lainnya. Ini tergantung dengan tangan manusia di masa depan. Persis saat kemajuan teknologi manusia masa lalu yang sukses mengubah seonggok batu seabad silam jadi bagian vital pada ponsel pintar yang setiap hari menemani segala aktivitas kita.

Baca juga artikel terkait SMARTPHONE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra