Menuju konten utama

Baterai, Sumbu Teknologi yang Masih Padam

Meledaknya game Pokemon GO telah memunculkan beragam kontroversi. Mulai dari pro-kontra akan bahaya yang mungkin ditimbulkan, hingga masalah privasi dan keamanan negara. Namun, bagi yang memainkan game tersebut, hanya ada satu fakta yang mereka keluhkan, yaitu betapa cepatnya game itu menghabiskan baterai smartphone mereka.

Baterai, Sumbu Teknologi yang Masih Padam
Tesla Model S sedang mengisi baterai di Stasiun Tesla Supercharger. Pengisian baterai mobil Tesla 10 hingga 80 persen membutuhkan waktu sekitar 40 menit. [Foto/Shutterstock.]

tirto.id - Disadari atau tidak, kehidupan manusia modern saat ini tidak bisa terlepas dari baterai. Namun, banyak yang menganggap baterai masih sebagai teknologi kelas dua. Padahal, dapat dikatakan, dengan baterai-lah manusia dapat maju ke era teknologi selanjutnya.

Tidak percaya? Coba saja copot baterai dari smartphone, niscaya barang itu hanya menjadi seonggok hal yang fungsinya dapat beralih menjadi ganjal pintu. Atau ambil baterai (accu) mobil dari tempatnya, maka Anda akan bersusah payah mendorong mobil tersebut supaya bisa menyala.

Baterai merupakan hal vital bagi bisnis teknologi di masa depan. Sayangnya, hanya segelintir orang yang mampu melihat prospek bisnis ini. Salah satunya adalah Warren Buffet.

Senin, 29 September 2008, sejarah mencatat investor kenamaan tersebut membeli 9,89 persen saham sebuah perusahaan baterai di Cina, BYD. Delapan tahun berselang, BYD menjelma menjadi mungkin satu-satunya kompetitor kuat Tesla, raksasa mobil listrik Amerika Serikat, dalam persaingan di industri mobil listrik dunia.

Jumat pekan lalu, sebuah unit usaha dari Samsung Electronics Co. bahkan membeli saham BYD sebesar $449 juta untuk semakin memantapkan bisnis semi konduktor perusahaan asal Korea Selatan tersebut dalam industri mobil.

Industri baterai ke depan diprediksi akan semakin menjanjikan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lux Research, pasar dari baterai yang digunakan dalam mobil listrik jenis plug-in saja akan menanjak menjadi $10 miliar pada tahun 2020.

Lebih lanjut, penelitian itu menyebutkan sebanyak 90 persen dari permintaan pasar terhadap baterai akan datang dari enam perusahaan otomotif besar, yaitu Tesla, BYD, Volkswagen, General Motors, Renault-Nissan, dan BMW.

Sementara itu, Panasonic akan tetap mempertahankan posisinya sebagai perusahaan pembuat baterai terbesar dengan pangsa pasar 46 persen, yang kemudian diikuti oleh BYD, LG Chem, NEC dan Samsung SDI, demikian seperti dikutip dari laman Machine Design.

"Adopsi [mobil] plug-in utamanya didorong oleh mengurangi biaya baterai yang dengan cepat menurun dan kesuksesan EVs [Electric Vehicles/Mobil listrik] awal seperti Tesla Model S dan Nissan Leaf, yang kemudian memaksa sejumlah OEM [Original Equipment Manufacturer] lain untuk membuat komitmen yang lebih serius dalam mengembangkan kendaraan plug-in," kata Lux Research Associate Chris Robinson.

BYD sendiri, oleh Lux Research, diprediksi masih akan mendominasi permintaan baterai dari kendaraan plug-in akibat besarnya subsidi yang didapat oleh perusahaan tersebut. Namun, diperkirakan BYD akan menyerahkan "tahtanya" nanti ketika perusahaan mobil Amerika dan Eropa mulai mendapatkan tempatnya dalam pasar.

Sayangnya, di balik segala kegemilangan potensi yang dimiliki oleh industri baterai, terdapat satu masalah utama yang masih menjadi momok dalam industri ini, teknologi baterai itu sendiri.

Sang Raja, lithium-ion

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa teknologi baterai terbaik yang dimiliki oleh manusia saat ini merupakan baterai lithium-ion.

Tipe tersebut memiliki banyak keunggulan, mulai dari dapat diisi ulang (hingga 1.200 siklus isi ulang), biaya perawatan yang rendah, lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan baterai yang lain, hingga keawetan penyimpanan daya energi dalam baterai.

Tetapi lithium-ion juga memiliki beberapa kelemahan yang cukup vital. Salah satunya, suhu panas yang berlebih dapat mempercepat usia baterai tersebut.

Selain itu, kapasitas baterai lithium-ion, baik itu digunakan atau tidak digunakan, secara bertahap akan terus turun setelah satu tahun. Setelah melewati dua hingga tiga tahun pemakaian, penurunan kapasitas tersebut akan sangat terasa. Meskipun dalam beberapa kasus pemakaian, baterai lithium-ion dapat mempertahankan daya gunanya hingga lima tahun.

Dengan segala kekurangan tersebut, boleh dikata, teknologi baterai-lah yang saat ini masih menghambat kemajuan dari teknologi yang lain.

Game Pokemon GO, seperti yang telah disebutkan di atas, merupakan contoh nyata dari masih terbatasnya densitas energi serta teknologi yang mampu disediakan olah baterai lithium-ion. Teknologi Augmented Reality (AR) serta Global Positioning System (GPS) yang digunakan dalam game tersebut dapat dengan cepat menyedot habis kapasitas terbatas yang dimiliki oleh baterai lithium-ion.

Sebagai catatan, hampir seluruh produk ponsel pintar di dunia menggunakan baterai lithium-ion.

Contoh nyata lainnya adalah masih terbatasnya daya jelajah dari mobil-mobil listrik di dunia. Tesla adalah satu dari sedikit mobil listrik di dunia yang memiliki daya jelajah maksimum sehingga dapat menyaingi daya jelajah mobil konvensional saat ini.

Perlu diketahui, the Roadster, salah satu model mobil Tesla, adalah mobil elektronik pertama yang dapat menempuh lebih dari 320 kilometer dalam satu kali pengisian baterai. Roadster juga merupakan mobil pertama yang menggunakan teknologi baterai lithium-ion. Hal yang boleh dikata membuat Tesla menjadi salah satu pionir dalam industri mobil listrik.

Di balik segala kelemahannya, Lux Research mencatat lithium-ion setidaknya masih akan menjadi raja bagi mobil listrik dan untuk penyimpanan energi stasioner hingga 2025, atau bahkan lebih. Teknologi baterai di masa depan pun dipercaya akan beranjak dari pengembangan baterai lithium-ion.

"Ada banyak gairah mengenai baterai generasi berikutnya dan beberapa telah dibenarkan, namun kita harus sangat berhati-hati mengenai teknologi mana dan aplikasi apa karena mengevolusi lithium-ion akan menjadi hal yang sulit untuk dilakukan," kata Cosmin Laslau, analis senior di Lux Research, seperti dikutip dari laman Utility Dive.

Dengan biaya produksi sebuah sel yang masih cukup rasional yaitu $200 per kWh (killowatt hour), lithium-ion masih berada pada posisi terdepan dalam biaya energi per unit volume dan satuan berat, membuat penggunaannya populer di sektor penyimpanan stasioner dan maupun kendaraan listrik plug-in.

Riset Lux Research menyebutkan, teknologi baterai yang baru, utamanya solid-state dan lithium-sulfur, diprediksi akan merepresentasikan pasar yang bernilai puluhan miliar dolar baru pada tahun 2030.

Laslau menyebut teknologi baterai baru tersebut akan menemukan segmen pasarnya bukan pada industri mobil atau penyimpanan stasioner, tetapi pada peralatan elektronik canggih seperti perangkat yang dapat dikenakan (wearables), Internet of Things (IoT), peralatan medis, serta peralatan militer.

Perjalanan mencapai teknologi baterai ideal yang dapat menunjang perkembangan teknologi secara menyeluruh memang masih panjang. Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi hemat daya, jalan tengah menuju keseimbangan antara aplikasi peralatan canggih dan teknologi baterai pasti akan segera ditemukan.

Baca juga artikel terkait TEKNOLOGI atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti