Menuju konten utama

Ada Apa dengan Baterai Litium?

Sebanyak 2,5 juta produk Galaxy Note 7 ditarik oleh Samsung karena ada puluhan laporan menyebut produk tersebut terbakar dan/atau meledak. Baterai litium adalah tersangka utama, meski Samsung ogah menjelaskan lebih jauh. Apa sesungguhnya masalah dari baterai tipis dan ringan ini?

Ada Apa dengan Baterai Litium?
Ilustrasi Baterai Litium [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Awal September ini, Samsung mengumumkan akan menarik 2,5 juta unit telepon pintar Galaxy Note 7 dari pasaran setelah banyak produknya terbakar bahkan meledak. Yang ditunjuk dari kasus-kasus itu adalah baterainya: baterai Litium ion atau Li-ion.

Saking buruknya yang terjadi pada Samsung, Forbes menurunkan laporan berjudul “Samsung's Galaxy Note 7 Is Finished.” Produk yang diklaim aman (setelah ada penarikan), dilaporkan lagi-lagi terbakar. Dalam laporan CNN, seorang warga Cina bernama Hui Renjie telah mengklaim bahwa Note 7 miliknya yang disebut produk aman tiba-tiba terbakar saat baterainya dicas. Tangan Hui terluka dan Macbook-nya rusak karena insiden itu.

Meski Hui menolak diakses oleh investigator Samsung dengan alasan tak mempercayai perusahaan ini bisa menyatakan alasan dari kebakaran, dan karenanya laporan Hui jadi tak terverifikasi, kerusakan karena pemberitaan itu keburu menghabisi citra Samsung.

Menurut laporan Forbes itu, “pembeli sekarang dan yang potensial kemungkinan percaya bahwa Note 7 milik Hui Renjie memang terbakar, entah Samsung mengkonfirmasinya atau tidak. Sebab penarikan sebanyak 2,5 juta ponsel sudah terjadi.”

Dengan penarikan raksasa, Samsung berarti sudah mengakui bahwa ada masalah, maka dalam benak publik tak ada lagi pertanyaan apakah Note 7 itu aman atau tidak. Yang terpatri dalam benak publik: Samsung Galaxy Note 7 memang produk gagal.

Padahal, telepon pintar lain pun pernah dilaporkan mengalami kasus semacam ini. Xiaomi misalnya. Ponsel produk Cina ini pernah dilaporkan oleh orang India pada Juli, yang terkejut ketika ponselnya di meja kantor terbakar. Pada rekaman CCTV, tentu tak terverifikasi betul apakah yang terbakar itu ponsel merk Xiaomi. Yang jelas tampak: ada ponsel terbakar di meja kerja seseorang dan mengagetkan orang-orang yang duduk di dekatnya.

Mengapa Baterai Li-ion Bisa Terbakar

Menilik kasus pada ponsel Samsung dan Xiaomi, sebenarnya apa hal dalam baterai yang membuatnya meledak atau terbakar?

Menurut The Verge, baterai yang meledak kerapkali disebabkan kegagalan pabrik memastikan tak terjadi ledakan. “Baterai yang meledak bisa jadi adalah akibat kerakusan perusahaan yang menekan teknologi sampai batasnya”

Saat layar ponsel kita semakin luas dan kebutuhan energinya juga bertambah besar. “Tapi kebanyakan kita tak mau ponsel kita lekas habis baterainya, atau tak mau waktu mengecas lebih lama.” Maka, ponsel pun berlomba-lomba dilengkapi baterai berkapasitas energi listrik besar namun waktu casnya singkat.

“Ada semacam perlombaan senjata di mana tiap pabrik ponsel pintar ingin mencapai baterai dengan waktu nyala paling tinggi,” kata Lynden Archer, ilmuwan material dari Cornell University pada The Verge. “Tren ini di lapangan menghasilkan kecenderungan lebih dan lebih lagi bagi overcharging sehingga model kegagalan ini menjadi keumuman.” Baterai litium-ion ini rusak biasanya karena kita terus-terusan menuntut lebih terhadap alat.

Tapi bagaimana teknisnya?

Sebuah artikel pada BBC menjelaskan bahwa sebuah baterai litium terdiri dari sebuah katoda, anoda, dan litium. Katoda dan anoda dipisahkan cairan organik atau cairan elektrolit dan sebuah bahan berpori yang disebut separator. Ion litium mengalir antara katoda dan anoda melalui separator dalam cairan elektrolit.

Masalah terjadi saat bateri dicas terlalu cepat, menghasilkan panas, dan akibatnya plat litium di sekitar anoda bisa menyebabkan arus pendek alias korslet.

Tentu saja, seharusnya hal semacam ini diantisipasi. “Normalnya, Anda disokong sistem manajemen baterai yang mengkontrol angka yang dihasilkan saat Anda mengecas,” kata ahli penyimpanan energi, Professor Clare Grey dari Cambridge University pada BBC. “Baterai dioptimasi agar Anda tak mengecas terlalu cepat—jika itu terjadi Anda akan membuat litium menjadi plat.” Itu sebabnya rata-rata alat pintar kita tak bisa dicas cepat-cepat.

Masalah lain yang bisa menyebabkan korslet adalah kontainasi serpihan-serpihan kecil logam saat proses produksi. Ini bisa jadi tak terlihat sampai baterai dicas berkali-kali dan di saat itu serpihan tadi sudah melebar dan akhirnya menyebabkan korslet.

Masalahnya, baterai litium semakin jamak dipakai dan bertambah besar kapasitasnya. Sekarang ada baterai li-ion yang terdiri dari 12-cells untuk laptop. Padahal, kata Grey, “semakin banyak Anda menggabungkannya, semakin besar kemungkinan sebagian akan gagal.”

Selain memaparkan kemungkinan yang terjadi dengan ledakan-ledakan baterai, profesor Grey juga menyerukan agar ada alternatif yang lebih aman selain litium. “Kurasa orang harus lebih peduli dan mendorong ke arah teknologi baterai yang lebih aman,” katanya.

Tapi menilik sifatnya yang ringan dan bisa berukuran kecil, litium tampaknya masih akan bertahan dalam industri baterai. April lalu—sebelum kasus Samsung mencuat—Allied Market Research merilis laporan yang menyebut industri baterai litium terus melaju pesat.

Pasar global baterai litium-ion disebutkan akan mendapat keuntungan sebesar $46,21 miliar pada 2022. Penyebabnya, menurut laporan tersebut, adalah akan semakin luasnya penggunaan baterai litium dalam dunia otomotif. Allied Market Research memperkirakan kelak persentase penggunaan baterai li-ion pada alat elektronik (angka terhadap keseluruhan) akan berkurang pada 2022, sedangkan dalam dunia otomotif bertambah.

Baca juga artikel terkait BATERAI LITIUM atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Teknologi
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti