tirto.id - Berbagai langkah telah diambil pemerintah untuk mendorong pertumbuhan kredit perbankan. Bank Indonesia (BI) telah memangkas suku bunga acuan (BI Rate) secara berturut-turut menjadi 4,75 persen, sementara Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) baru saja menurunkan tingkat bunga penjaminan ke level 3,50 persen.
Di sisi lain, pemerintah telah menginjeksi dana segar senilai Rp200 triliun ke perbankan. Namun, data terbaru menunjukkan respons penurunan suku bunga kredit oleh bank berjalan sangat lambat, dan yang lebih krusial, serapan kredit belum menunjukkan percepatan yang signifikan.
Hingga Agustus 2025, suku bunga kredit rata-rata hanya turun 7 basis points (bps) menjadi 9,13 persen, sementara bunga deposito satu bulan hanya berkurang 16 bps, sangat lambat jika dibandingkan dengan pemangkasan BI Rate yang telah mencapai 125 bps sepanjang tahun ini.
Padahal, ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo, transmisi kebijakan moneter sejatinya sudah berjalan baik di pasar uang. Ini terlihat dari suku bunga pasar uang yang sudah turun 144 basis poin sejak awal tahun berkat pendalaman pasar yang dilakukan bank sentral.
Suku bunga sekuritas rupiah BI (SRBI) tenor 6 bulan, misalnya, telah turun 210 bps menjadi 5,06 persen. Demikian pula SBI tenor 9 bulan yang turun 213 bps, dan tenor 12 bulan yang turun 219 bps .
Penurunan ini juga menekan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN). Misalnya, SBN tenor 2 tahun yang susut 185 bps menjadi 5,11 persen, serta tenor 10 tahun yang turun 94 bps ke 6,32 persen.
"Pertanyaanya kenapa (transmisi) suku bunga perbankan masih berjalan lambat?" tutur Perry dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XI DPR RI, Senin (22/9/2025).
Salah satunya penyebabnya, lanjut ucap pemegang Ph.D bidang ekonomi moneter dan internasional di Iowa State University tersebut, adalah praktik special rate untuk deposan besar yang menguasai sekitar 25 persen dari total Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan.
Mengacu pada data BI, nilai simpanan yang masuk kategori special rate mencapai Rp2.380,4 triliun hingga Agustus 2025. Kelompok deposan besar itu terdiri dari entitas pemerintah BUMN, non-BUMN, swasta, hingga individu beraset jumbo.
Selama ini, menurut Perry, para deposan tersebut menikmati bunga simpana jauh di atas bunga penjaminan LPS. Untuk pemerintah dan BUMN, misalnya, special rate yang diperoleh mencapai 6,30 persen. Sedangkan untuk pemerintah non-BUMN sebesar 6,14 persen; untuk swasta IKNB 6,11 persen; dan untuk individu atau perorangan mencapai 5,84 persen.
Yang menarik, simpanan individu (perorangan) saja sudah mencapai Rp424,55 triliun per Agustus 2025—porsi signifikan dari total DPK. Besarnya angka ini menunjukkan bahwa kalangan konglomerat dan orang kaya lebih memilih menumpuk dana di bank dengan bunga spesial ketimbang membelanjakan atau menginvestasikan kembali ke sektor riil. Fenomena inilah yang menurut BI turut membuat suku bunga simpanan sulit turun cepat.
"Tentu saja dari sisi kami Bank Indonesia memandang memang suku bunga deposito dan kredit perbankan itu juga perlu segera diturunkan," jelas Perry.
Perry mengingatkan, jika praktik special rate ini bisa ditekan setara bunga LPS, maka cost of fund perbankan bisa menyusut sekitar 55 bps. “Kalau itu turun, suku bunga kredit yang sekarang 9,16 persen bisa terkoreksi menjadi sekitar 8,5 persen,” tegasnya.
Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, mengamini pernyataan tersebut. Menurutnya, penurunan suku bunga acuan oleh BI sebenarnya telah memperluas ruang bank untuk menurunkan bunga dana dan kredit.
Namun, ia mengelaborasi bahwa dalam praktiknya, suku bunga spesial untuk para deposan merupakan bagian dari faktor internal bank menjaga profitabilitas. Kondisi ini menurutnya yang menjelaskan mengapa bunga kredit ritel turun lambat meski kebijakan sudah longgar.
"Suku bunga dasar kredit (SBDK) pada Juli 2025 masih 9,23 persen karena komponen biaya overhead naik dan marjin laba bank ikut dinaikkan untuk menjaga profitabilitas, sementara biaya dana (HPDK) relatif datar," jelas Josua kepada Tirto.
Di sisi kapasitas, likuiditas bank sebenarnya memadai dengan rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) sekitar 27 persen, sehingga ada ruang untuk menyalurkan kredit tanpa mengorbankan penyangga likuiditas.
Meski kredit mulai naik ke 7,56 persen (yoy) pada Agustus, namun pertumbuhannya masih belum kuat dan undisbursed loan masih besar sekitar 22,7 persen dari plafon. “Undisbursed loan masih besar, sekitar 22,7 persen dari plafon, menandakan sisi permintaan belum agresif,” ucapnya.
Ia menilai, keputusan LPS menurunkan bunga penjaminan 25 bps akan membantu meredakan perang bunga dana mahal karena patokan tingkat bunga yang dijamin turun.
“Secara praktis, bank akan terdorong menormalisasi special rate deposan jumbo agar tetap berada dalam koridor yang dijamin. Langkah ini dapat menekan biaya dana bertahap dan membuka jalan untuk memangkas bunga kredit lebih jauh,” ujarnya.
Meski dampak awalnya kemungkinan menekan marjin sementara waktu pada bank yang lebih cepat menurunkan bunga kredit daripada bunga dana, namun seiring repricing simpanan, menurutnya marjin cenderung akan stabil kembali.
“Apalagi likuiditas sistem masih longgar dan beban pencadangan terkendali dengan NPL bruto sekitar 2,28 persen dan NPL net 0,86 persen,” tambahnya.
Menurutnya, dorongan kredit akan paling terasa pada sektor prioritas yang menerima insentif likuiditas makroprudensial (KLM) seperti pertanian, perumahan/konstruksi, perdagangan-manufaktur, transportasi-logistik, pariwisata-ekonomi kreatif, UMKM, dan sektor hijau.
Bank mendapat keringanan likuiditas jika menyalurkan kredit ke sektor-sektor tersebut. Adapun, insentif KLM yang sudah dimanfaatkan per awal September mencapai sekitar Rp384 triliun, sehingga bank punya cukup punya alasan untuk menurunkan bunga di sektor-sektor tersebut.
“Bank punya alasan komersial untuk menurunkan bunga di sektor-sektor tersebut lebih dulu,” tuturnya.
Lebih jauh, ia melihat saluran transmisi moneter sudah bergerak dengan suku bunga pasar uang (INDONIA) turun sekitar 201 bps sepanjang tahun, imbal hasil SBN pendek (2 tahun) turun 210 bps dan tenor 10 tahun turun 67 bps.
Hal ini, sambungnya, telah menurunkan biaya pembiayaan pemerintah dan dunia usaha serta membantu persepsi risiko aset rupiah. Dari sisi uang beredar, kebijakan ekspansif mendorong M0-Adjusted tumbuh sekitar 7,3 persen (yoy) pada Agustus, jauh di atas M0 biasa, serta M2 naik ke kisaran 6,5 persen (yoy).
“Artinya, likuiditas sistemik bertambah dan siap mengalir ke kegiatan riil ketika bunga perbankan turun lebih cepat,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Celios, Bhima Yudhistira, menilai masalah lambatnya penyaluran bukan hanya terjadi dari sisi bunga perbankan yang masih tinggi, namun masalahnya menurutnya telah bergeser dari sisi ketersediaan dana (supply), kepada sisi permintaan (demand).
“Artinya kan situasi bukan di likuiditas. Likuiditasnya ada, yang mau minta pinjaman itu yang nggak ada. Nah inilah PR pemerintah menggerakkan tidak hanya sisi supply tapi juga sisi demand,” katanya kepada Tirto, Selasa (23/9/2025).
Hal ini menurutnya tercermin dari nilai kredit menganggur atau undisbursed loan yang masih sangat besar, mencapai Rp2.372 triliun di Agustus 2025. Angka ini, menurutnya, menunjukkan bahwa meskipun likuiditas melimpah, dunia usaha masih enggan mengambil pinjaman.
Menurutnya, pelaku usaha saat ini masih wait and see akibat ketidakpastian global dan rendahnya daya beli masyarakat, sehingga menekan sisi ekspansi berbagai lini usaha.
Walaupun bunga perbankan turun, menurutnya penurunan bunga ini hanya mengambil porsi 30 persen dari pertimbangan orang untuk mengambil kredit. Hal utama menurutnya adalah daya beli.
“Walaupun bunganya turun, faktor bunga itu menentukan berapa ya, 30 persen dari keputusan untuk mengambil KPR misalnya. Tapi tergantung dari sisi fiskalnya, insentif-insentifnya sekarang masih kurang sekali,” ucapnya.
Oleh karena itu, sambungnya, bauran kebijakan antara moneter dan fiskal harus dapat mendorong meningkatnya sisi permintaan, terutama dalam hal daya beli.
Untuk mendorong sisi permintaan, menrutnya pemerintah perlu menggenjot sisi fiskal dengan memberikan berbagai stimulus seperti penurunan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 8 persen, menurunkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) jadi Rp4,5 juta per bulan.
Serta memberikan stimulus yang langsung menyentuh biaya produksi dan daya beli, seperti diskon tarif listrik 50 persen selama enam bulan untuk industri padat karya dan pengendalian harga pangan, khususnya beras, untuk meredam inflasi yang menggerogoti daya beli masyarakat.
“Kemudian juga perlu pemangkasan PPH UMKM menjadi 0,1% selama 2 tahun. Kalau fiskalnya bergerak, bisa menstimulus pinjaman. Jadi penyaluran kreditnya bisa lebih meningkat,” ujarnya.
Namun, Bhima juga menyoroti kebijakan fiskal pemerintah yang dinilai tidak tepat sasaran. Hal ini terlihat dari penurunan dana transfer ke daerah pada 2026 yang dialihkan ke program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dampaknya ke perekonomian kecil.
Pada RAPB 2026 pemerintah mengalokasikan anggaran TKD hanya sebesar Rp650 triliun, atau turun 24,8 persen dari outlook 2025 yang sebesar Rp864,1 triliun. Sedangkan, anggaran untuk MBG meningkat dari Rp71 triliun di 2025, menjadi Rp335 triliun di 2026.
“Ada pergeseran ke MBG, anggaran Rp335 triliun tapi efek dari MBG juga belum mampu mengungkit ekonomi,” ucapnya.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































