tirto.id - Sekitar 300 ribu pengunjung hadir di China International Exhibition Center Shunyi selama 5 hari berturut-turut, 23–27 Agustus lalu. Mereka hadir dari 86 negara. Salah satunya Anton Kurnia, CEO Penerbit Baca, sebuah perusahaan penerbit buku di Tangerang. Di gedung seluas 78 ribu meter persegi itu, ada empat aula besar yang diisi tema-tema khusus.
“Ada aula khusus penerbit Cina, ada yang khusus internasional, ada khusus untuk penerbit digital, dan satu lagi khusus buku anak,” kenang Anton.
Para penerbit, penulis, dan pembaca dari seluruh dunia hadir untuk menikmati pameran buku terbesar di Cina, bernama Beijing International Book Fair. Tahun ini, tamu kehormatan mereka adalah Iran.
“Itu sangat menarik sekali. Bagaimana negara yang mayoritas muslim—Syiah—jadi tamu kehormatan di negara komunis,” kata Anton.
Pengunjung juga disajikan pertunjukan seni dan budaya, musik, selain diskusi-diskusi literasi. Salah satu yang menarik perhatian Anton adalah banyaknya partisipan perempuan Iran, “Mereka seakan-akan mau bilang: Siapa bilang kami merepresi perempuan?” Mereka berkedurung a la Benazir Bhutto, lengkap dengan perhiasan.
Ihwal lain yang berkesan bagi Anton adalah animo besar dari masyarakatnya. Lima hari acara itu dibagi dua agenda: tiga hari pertama adalah waktunya para penerbit seperti Anton—dari seluruh dunia—untuk saling berkoneksi. Bertukar informasi tentang jual beli hak menerbitkan buku; sementara dua hari terakhir dibuka untuk umum.
“Banyak sekali keluarga-keluarga yang datang,” katanya. “Di lorong-lorong itu ada banyak keluarga kecil. Ayahnya duduk minum dengan si bayi. Di sebelahnya ada stroller, diisi buku sama ibunya. Ada juga yang bawa bapaknya yang sudah manula memakai kursi roda.”
Jason Yuan, Direktur Penjualan dan Pemasaran Beijing International Book Fair, berkata pihaknya sengaja menyasar keluarga muda karena menyediakan satu aula khusus untuk buku-buku anak.
Di Cina, pasar buku anak memang tumbuh baik. Pasaraya Buku Beijing bahkan mendesain beberapa sudut sebagai tempat bermain anak, sekaligus tempat orang tua membacakan buku kepada anaknya. Menurut Yuan, ini dilakukan agar pameran buku bisa menarik minat pengunjung.
Belakangan, pameran-pameran buku memang bertransformasi dari sekadar tempat bertemu para penerbit dan bazar buku, menjadi festival yang menjual pengalaman-pengalaman—layaknya festival musik dan festival film. Tujuannya agar menarik Generasi Milenial dan Gen Z, yang memang lebih senang membeli pengalaman ketimbang barang.
“Pameran buku (sekarang) memang bukan tentang menjual buku, pameran buku adalah tentang pengalaman,” kata Claudia Kaiser, Wakil Presiden Frankfurt Book Fair, pameran buku terbesar di seluruh dunia.
Baca juga: Benarkah Internet Melemahkan Kemampuan Berpikir?
Tak cuma Pasaraya Buku Beijing yang melakukan transformasi itu. Kebanyakan pameran buku internasional memang sudah merombak konsepnya untuk tampil lebih menarik.
Pasalnya, industri penerbitan sedang digoncang krisis di seluruh dunia. Perkembangan teknologi, terutama di sektor audio-visual, membuat buku harus bertarung menarik perhatian pemirsa dari sektor hiburan lain seperti musik atau film.
“Tabiat membaca memang punya kompetitor lebih banyak sekarang, dibanding 10 atau 20 tahun lalu,” tambah Claudia.
“Sekarang semua orang bisa nonton Netflix di ponselnya, unduh musik apa saja. Kau juga bisa ke YouTube untuk nonton konser. Kalau dulu enggak ada kompetisi lain, mungkin cuma teve. Sangat masuk akal, kalau orang-orang yang dulu memanfaatkan waktu-sebelum-tidurnya untuk membaca sudah berkurang.”
Hari ini, lebih banyak orang yang tertidur dan lupa menutup Instagram di ponselnya, ketimbang mereka yang ketiduran dan lupa menandai halaman terakhir buku yang dibacanya.
Untuk kembali menarik minat itu, tawaran buku murah biasanya tetap jadi andalan dalam sejumlah pameran buku. Bahkan sejumlah pameran buku besar sama sekali tak membuka bazar buku murah alih-alih membuka stan baca buku gratis di pameran-pameran buku internasional.
Baca juga:
Big Bad Wolf, Beli Dulu Baca Belakangan
Mengunjungi Toko Buku Indie di Berbagai Belahan Dunia
Inovasi lain adalah mengisi pameran-pameran buku dengan tawaran-tawaran pengalaman. Misalnya, diskusi interaktif dengan penulis-penulis kenamaan dunia, menyediakan arena-arena permainan, sudut-sudut membaca yang unik, atau menghadirkan pertunjukan seni-budaya, musik, atau bahkan film.
Hal itu tak cuma dilakukan oleh Frankfurt Book Fair tetapi juga oleh London Book Fair—juga salah satu pameran buku terbesar di dunia. Keduanya fokus jadi pasar jual-beli hak terjemahan dunia.
Indonesia mulai mengikuti jejak ini. Pada 6-10 September lalu, ada Indonesia International Book Fair (IIBF) di Jakarta Convention Center. Konsep bazar buku memang masih dipertahankan. Tapi tampilannya sudah lebih dinamis. Beberapa stan jadi tempat cerita anak-anak. Diskusi interaktif dengan penulis disajikan di sela-sela acara. Bahkan ada lomba debat tingkat sekolah menengah.
“Saya melihat IIBF terakhir lebih dinamis,” ujar Anton Kurnia. “Ada banyak penerbit luar juga yang datang. Ada pertemuan penerbit Indonesia dan Eropa, serta Indonesia dan ASEAN. Memang ada sektor penjualan buku, tapi kecil. Lebih ke penjualan rights (hak terjemahan).”
Perubahan konsep pameran buku ini yang menurut banyak orang membuatnya jadi semakin relevan hari ini.
Misalnya, Phillip Jones dari Book Seller. Satu dekade lalu, ia sempat berpikir bahwa pameran buku bakal jadi salah satu tabiat manusia yang cuma tinggal sejarah, dilahap perkembangan teknologi.
Maksudnya, siapa yang mau bayar sewa meja, gedung, dan stan justru ketika orang-orang mulai bisa membeli buku lewat surel? Tapi, alih-alih menggenapkan nubuat Jones, bisnis pameran buku rupanya ikut pula bertransformasi.
Anton juga melihat eksistensi pameran buku berdampak baik bagi penerbit, penulis, bahkan pembaca.
Dapur penerbit seperti perusahaannya bisa tetap ngebul karena jual-beli hak terjemahan yang gampang diakses di sana. Bagi penulis, pameran buku menjadi salah satu tempat terbaik untuk menjual karyanya. Tak hanya kepada pembaca, tapi juga para penerbit dari luar negeri.
“Juga bisa bikin industri buku Indonesia terkenal di negara lain,” kata Anton.
Anton benar. Ada nilai ekonomis yang berdampak baik bagi pertumbuhan industri penerbitan Indonesia. Meski tak bikin harga buku jadi lebih murah dan terjangkau, tapi setidaknya, bagi pembaca, pameran buku menjadi sarana mengakses literasi yang lebih luas.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam