tirto.id - Dalam kehidupan masyarakat sering kali ditemui banyak kelompok hidup dengan cara berbeda dari kelompok lainnya. Sebagian kelompok juga membaur dengan kelompok masyarakat lainnya.
Dalam masyarakat majemuk terdapat kelompok-kelompok yang hidup dengan caranya sendiri dan tidak membaur satu dengan lainnya.
Dilihat dari sudut pandang atau perspektif sosiologi dan antropologi, struktur masyarakat indonesia dapat dikatakan mencerminkan sistem sosial budaya yang kompleks.
Secara horizontal ditandai kenyataan adanya kesatuan-kesatuan etnisitas berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, adat, agama, dan ciri-ciri kedearahan lainnya. Sedangkan secara vertikal, ditandai oleh perbedaan-perbedaan antar lapisan sosial yang cukup tajam.
Adanya perbedaan-perbedaan ini menyebabkan masyarakat indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk.
Istilah "masyarakat majemuk" kali pertama diperkenalkan J.S. Furnivall dalam buku Netherlands India: A Study of Plural Economy (1967). Furnival melihat terjadi fenomena masyarakat majemuk pada wilayah kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia dan Burma pada zamannya.
Merujuk penjelasan dari buku Pengantar Antropologi: Sebuah Ikhtisar Mengenal Antropologi karya Gunsu Nurmansyah Dkk (2019: 112), pengertian masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Definisi ini diambil dari penjelasan Furnivall.
Sementara Parsudi Suparlan dalam makalah "Masyarakat Majemuk dan Perawatannya" (2000) menerangkan, bahwa masyarakat majemuk terdiri atas kumpulan orang-orang atau kelompok-kelompok, yang berbaur tetapi tidak menjadi satu.
Setiap kelompok memiliki agama, kebudayaan dan bahasa, serta cita-cita, hingga cara-cara hidup mereka masing-masing. Para individu dari masing-masing kelompok mungkin saja bertemu serta berinteraksi di pasar dan hidup berdampingan dalam satuan politik yang sama, tetapi sebenarnya mereka saling terpisah.
Karakteristik Masyarakat Majemuk
Dalam masyarakat majemuk, sebagian anggota masyarakat bisa kurang memiliki loyalitas kepada kesatuan masyarakat secara keseluruhan. Loyalitas tinggi lebih diberikan pada kelompoknya. Hal ini menyebabkan kelompok-kelompok di masyarakat majemuk berpotensi kurang memahami satu sama lain.
Menurut Pierre L. Van Den Berghe dalam buku Pluralism and The Polity: A Theoritical Exploration (1969), masyarakat majemuk memiliki beberapa karakterristik yaitu:
- Memiliki segmentasi dalam bentuk kelompok-kelompok dengan kebudayaan berbeda.
- Mempunyai struktur sosial yang terbagi-bagi pada lembaga-lembaga non-komplementer.
- Kurang mengembangkan kesepakatan bersama (konsensus) di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai dasar.
- Lebih sering mengalami konflik.
- Umumnya integrasi sosial tumbuh karena paksaan dan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi.
- Terdapat dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.
Faktor Utama yang Mempengaruhi Integrasi Masyarakat Majemuk
Masyarakat majemuk masih mungkin untuk diintegrasikan. Di Indonesia, meski banyak kelompok berlainan dari segi budaya, agama dan lainnya, hidup di masyarakat, integrasi nasional tetap bisa diwujudkan.
Adanya perbedaan dan masyarakat yang majemuk tidak lantas membuat Bangsa Indonesia mudah tercerai-berai. Bangsa Indonesia mampu hidup dalam satu wadah masyarakat yang terikat kepada sistem nasional dengan berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.
Karakter masyarakat majemuk di Indonesia unik. Meskipun dibedakan dengan keberadaan banyak suku, agama, ras, keyakinan, hingga lingkungan geografis yang berlainan, masyarakat Indonesia tetap tunduk pada konsensus sebagai satu bangsa sekaligus hidup berdampaingan secara damai.
Menurut Van den Berghe, terdapat 2 faktor utama yang memungkinkan terjadinya integrasi dalam masyarakat majemuk.
Pertama, ada konsensus atau kesepakatan bersama di antara sebagian besar anggota masyarakat terhadap nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental atau mendasar.
Kedua, adanya berbagai masyarakat dari beragam kesatuan sosial (cross cutting affiliations) yang menyebabkan kemunculan loyalitas ganda (cross cutting loyalities).
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Addi M Idhom