Menuju konten utama

Anang Hermansyah Jelaskan Kronologi Polemik RUU Permusikan

RUU Permusikan menuai kritik dari sebagian musisi karena mengandung "pasal karet" dan juga hal-hal "absurd" sebab mengatur soal uji kompetensi musisi.

Anang Hermansyah Jelaskan Kronologi Polemik RUU Permusikan
Anggota Komisi X DPR Anang Hermansyah, Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf, dan musisi Fariz RM menjadi narasumber pada Konferensi Musik Indonesia 2018, di Taman Budaya Ambon, Rabu (7/3/2018). ANTARA FOTO/Embong Salampessy

tirto.id - Sejumlah pihak mengkritik beberapa substansi materi di RUU Permusikan yang saat ini masuk dalam daftar Porgram Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2019. Inisiator sekaligus Anggota DPR RI Anang Hermansyah menanggapi kritik tersebut.

Anggota Komisi X DPR RI Anang Hermansyah menanggapi sejumlah kritik dari publik soal substansi materi yang tertuang dalam RUU Permusikan. Ia menyambut positif kritik dan tanggapan atas RUU Permusikan.

"Saya bersyukur atas respons dan kritik terhadap RUU Permusikan. Ini berarti ada kepedulian dari stakeholder atas keberadaan RUU ini," ujar Anang di Jakarta, Jumat (1/2/2019).

Anang menyebutkan kronologi keberadaan RUU Permusikan yang bermula dari Kaukus Parlemen Anti Pembajakan yang ia inisiasi bersama politisi lintas fraksi pada enam bulan pertama saat menjadi anggota DPR pada Maret 2015.

"Saat itu kita keliling ke berbagai pihak. Mulai Presiden, Kapolri, Jaksa Agung termasuk on the spot ke Glodok terkait dengan pemberantasan pembajakan di ranah musik," ungkap Anang.

Dalam perjalanannya, imbuh Anang, efektivitas patroli pemberantasan bajakan oleh aparat kepolisian tidak efektif di lapangan. Kondisi tersebut, kata Anang, memunculkan ide urgensi regulasi terkait dengan eksistensi musik di Indonesia.

"Berawal dari masukan dan diskusi dengan melibatkan banyak pihak memunculkan ide dibutuhkan regulasi berupa RUU Tata Kelola Musik. Namun pada akhirnya nomenklatur yang dipilih adalah RUU Permusikan," tambah Anang.

Pada pertengahan 7 Juni 2017, Anang menyebutkan komunitas musisi dan stakeholder yang tergabung dalam Kami Musik Indonesia (KAMI) datang ke Badan Legislasi (Baleg) DPR mengusulkan keberadaan regulasi di bidang musik.

"Saat itu, 10 fraksi di DPR bulat mendukung keberadaan RUU Permusikan. Tidak hanya mendukung, DPR berkomitmen sebagai pihak yang menginisiasi RUU Permusikan. Momentum itu membuktikan, musik menyatukan sekat-sekat perbedaan politik," urai Anang.

Setahun berikutnya, menurut Anang, perjalanan RUU Permusikan mengalami kemajuan. Kala itu memunculkan diskusi apakah RUU Permusikan muncul dari Komisi X atau dari Baleg DPR RI. Seiring keberadaan UU No 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) Pasal 105 ayat (1) huruf d yang isinya memberikan kewenangan kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk mengusulkan sebuah RUU. Sebelumnya, kewenangan mengajukan RUU hanya dimiliki Komisi, Anggota DPR dan DPD RI.

"Akhirnya RUU Permusikan diusulkan oleh Baleg melalui Badan Keahlian Dewan (BKD) yang terdiri dari para ahli dan birokrat DPR," jelas Anang. Menurut dia, BKD meminta pendapat dari berbagai stakeholder terkait dengan materi yang terkandung dalam RUU tersebut.

"Meski tentu tidak semua pihak diminta pendapat dan masukan. Maklum saja, itu baru draft, baru rancangan," imbuh Anang.

Anang menuturkan, RUU Permusikan tertanggal 15 Agustus 2018 yang saat ini beredar di publik merupakan usulan inisiatif DPR yang berasal dari BKD DPR RI dan diusulkan secara resmi oleh Baleg DPR RI sebagai inisiatif DPR dalam sidang paripurna DPR pada 2 Oktober 2018.

"Nah, pada sidang paripurna DPR pada 31 Oktober 2018, RUU Permusikan resmi masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2019," terang Anang.

Musisi asal Jember ini menyebutkan penyampaian kronologi perjalanan RUU Permusikan ini penting agar publik mengetahui secara detail proses perjalanan sebuah RUU.

"Jika dicermati, perjalanan RUU Permusikan ini tergolong cepat. Saya melihat kuncinya terletak pada kesamaan ide antara stakeholder musisi bersama DPR RI. Teorinya, ini tidak mudah, karena DPR merupakan lembaga politik, tapi kenyatannya semua dimudahkan," jelas Anang.

Anang Menyatakan Merespons Positif Kritikan

Adapun terkait dengan materi RUU Permusikan yang saat ini menimbulkan respons dari publik, Anang justru menyambutnya dengan positif.

"Saya sungguh senang, saat ini semua pihak berkomentar atas materi RUU ini. Partisipasi masyarakat memang menjadi unsur penting dalam pembuatan sebuah UU, sebagamana tertuang dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," kata Anang.

Sejumlah materi yang dikritisi oleh sejumlah pihak di antaranya yang tertuang di Pasal 5 RUU Permusikan yang dinilai akan mengengkang kreativitas para musisi dan dinilai sebagai pasal karet.

"Saya bisa memahami kegelisahan teman-teman terkait dengan pasal 5 RUU Permusikan ini, itu bisa didiskusikan dengan kepala dingin," cetus Anang.

Hanya saja, kata Anang, dalam pembuatan sebuah UU yang baik, harus berlandaskan pada tiga landasan yakni landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Isu kebebasan berekspresi yang disandingkan dengan norma di Pasal 5, kata Anang, harus dikembalikan pada ketentuan tentang HAM sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

"Isu kebebasan berekspresi dan berpendapat, pada akhirnya dihadapkan padal Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 bahwa kebebasan itu dibatasi dengan UU yang mempertimbangkan nilai moral, agama, keamanan dan ketertiban umum dalam bingkai negara demokrasi," urai Anang.

Kendati demikian, Anang juga memiliki catatan terkait Pasal 5 RUU Permusikan, khususnya di huruf "F" yang isinya "membawa pengaruh negatif budaya asing". Dalam penilaian Anang, ketentuan ini yang justru berpotensi menjadi pasal karet karena tidak jelas ukuran yang dimaksud.

Adapun terkait dengan persoalan uji kompetensi dan sertifikasi, Anang menyebutkan isu tersebut semata-mata untuk menjadikan profesi ini mendapat penghargaan dan perlindungan oleh negara. "Belum lagi syarat sertifikasi yang harus dimiliki jika musisi hendak tampil di pentas internasional. Tapi, apa pun masukan dari stakeholder sangat berarti dalam proses pembahasan RUU ini," tandas Anang.

Ia menuturkan persoalan sertifikasi telah menjadi kebutuhan merujuk keberadaan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang merupakan hasil ratifkasi dari Regional Model Competency Standard (RMCS) dari International Labour Organization, Organisasi Buruh Internasional di bawah PBB.

"Memang tampak absurd mengukur karya seniman dan musisi melalui uji kompetensi dan sertifikasi. Namun globalisasi dan perdagangan bebas menuntut situasi seperti ini. Tapi semua harus kita diskusikan lebih detail kembali," ungkap Anang.

Baca juga artikel terkait RUU PERMUSIKAN atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Agung DH