tirto.id - Amnesty International Indonesia bersama Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) mengecam keputusan pemerintah yang menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, dan ayah mertua dari Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Sarwo Edhie Wibowo.
Penetapan Soeharto dan Sarwo Edhie sebagai pahlawan nasional dinilai sebagai bentuk pemutarbalikan sejarah dan penghinaan terhadap jutaan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi selama masa Orde Baru.
“Kami menegaskan, negara memiliki kewajiban utama untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi warganya,” ujar Ketua AKSI, Marzuki Darusman, dalam keterangannya, Senin (10/11/2025).
Menurut Marzuki, pemberian gelar pahlawan tersebut bertentangan dengan mandat konstitusi dan keadilan yang diamanatkan Reformasi 1998, terlebih kejahatan yang telah dilakukan Soeharto tergolong paling serius (most serious crimes), yang secara hukum tak bisa diputihkan.
“Filsafat kebudayaan tanpa norma dasar moralitas universal yang demikian akan terus meniadakan kemampuan bangsa untuk membedakan mana yang benar dan salah. Itu arah menuju malapetaka,” katanya.
Amnesty dan AKSI juga menyoroti potensi konflik kepentingan di balik keputusan tersebut. Marzuki mencontohkan kekerabatan Presiden Prabowo dengan Soeharto, serta Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan Sarwo Edhie Wibowo.
Dia menilai penetapan ini sarat dengan kesewenang-wenangan dan praktik nepotisme.
“Menobatkan Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo sebagai pahlawan berarti menegasikan penderitaan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat, sekaligus menormalkan impunitas yang telah lama mengakar di negeri ini,” tuturnya.
Lebih jauh, Marzuki juga menyinggung keterlibatan Fadli Zon dalam usulan pahlawan nasional dan proyek penulisan ulang sejarah nasional. Dia mengaku khawatir nantinya kisah penderitaan korban dan perlawanan rakyat terhadap otoritarianisme Orde Baru akan dihapuskan dalam sejarah baru.
Padahal, menurutnya, negara seharusnya berpihak kepada korban, bukan pada pelaku pelanggaran HAM. “Pemberian gelar ini melengkapi serangkaian kebijakan yang mengubur cita-cita reformasi, mulai dari upaya pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, pengusulan gelar oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, hingga penetapannya hari ini. Semua ini membentuk ekosistem dan infrastruktur impunitas yang sempurna,” katanya.
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Andrian Pratama Taher
Masuk tirto.id


































