Menuju konten utama

Akui Pemerkosaan 1998, Pratikno: Memang Ada dari TGPF

Pratikno merespons pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang mengatakan tidak ada pemerkosaan massal yang terjadi pada 1998.

Akui Pemerkosaan 1998, Pratikno: Memang Ada dari TGPF
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Pratikno di Kantor Kementerian PMK, Jakarta, Senin (16/6/2025). tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi.

tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Pratikno, merespons pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang mengatakan tidak ada pemerkosaan massal yang terjadi pada 1998. Praktikno mengatakan yang dipersoalkan Fadli Zon terkait pemerkosaan dilakukan secara massal atau tidak.

Dia tak menampik bahwa memang ada pernyataan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang menyebut soal adanya pemerkosaan pada masa itu. Namun menurutnya, tidak ada kata ‘massal’ dalam pernyataan TGPF.

“Itu bisa ada di media juga bahwa memang ada dari TGPF itu yang menyatakan, itu ada pemerkosaan. Tapi kan yang disampaikan oleh Pak Menteri Kebudayaan kan massal atau tidak massal, itu saja,” kata Pratikno di Kantor Kementerian PMK, Jakarta, Senin (16/6/2025).

Pratikno enggan berbicara banyak terkait pernyataan Fadli Zon itu. Pastinya, dia mengatakan yang penting Fadli Zon sudah menyatakan penjelasannya sendiri terkait pernyataannya soal pemerkosaan yang terjadi di tahun 1998.

“Setahu saya Pak Fadli Zon sudah menjelaskan tentang penggunaan terminologi massal, kan beliau sudah menjelaskan. Saya tidak perlu menjelaskan ulang,” tutur Pratikno.

Sebelumnya, Fadli Zon, memberikan klarifikasi ihwal pernyataannya yang menyebut bahwa peristiwa pemerkosaan massal tahun 1998 tidak ada buktinya dan hanya berdasarkan rumor yang beredar.

Dia mengatakan bahwa pernyataan tersebut bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.

Fadli menjelaskan bahwa dalam pernyataannya dia menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah “perkosaan massal”. Pasalnya, kata dia, hal ini dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.

“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,” ujar Fadli dalam keterangan tertulisnya, Senin (16/5/2025).

Fadli menambahkan bahwa istilah ‘massal’ juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade. Sehingga, katanya, sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik.

Demikian pula, kata Fadli, laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku. Di sinilah perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa.

“Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait ‘perkosaan massal’ perlu kehati- hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” katanya.

Diketahui, Fadli Zon sebelumnya memang mengungkap bahwa peristiwa pemerkosaan massal tahun 1998 tidak ada buktinya. Peristiwa itu disebutnya hanya berdasarkan rumor yang beredar.

"Ada pemerkosaan massal, betul nggak ada pemerkosaan massal? Pemerkosaan masal kata siapa itu? Nggak pernah ada approve-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukan, ada nggak di dalam buku sejarah itu? Engga ada," kata Fadli Zondalam podcast di channel YouTube IDN Times, dikutip Jumat (13/6/2025).

Dia menjelaskan, rumor-rumor seperti itu tidak akan menyelesaikan persoalan yang ada. "Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa kita,” ungkapnya.

Baca juga artikel terkait TRAGEDI 1998 atau tulisan lainnya dari Nabila Ramadhanty

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Nabila Ramadhanty
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Fransiskus Adryanto Pratama