tirto.id - Salah satu seri laporan mendalam Tirto soal penjarahan kapal perang asing di perairan Indonesiamenunjukkan adanya peran Direktorat Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) Kementerian Perhubungan. Izin dari Dirjen Hubla diduga menjadi sumber utama masalah penjarahan kapal-kapal bersejarah di Indonesia.
Tudingan ke Hubla didukung data yang kuat. Memang, sering kali, izin dari Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) menjadi modus untuk mengambil bangkai kapal bersejarah. Semua kapal di daftar suspect yang dirilis dalam laporan Tirto beroperasi dengan izin resmi dari Hubla.
Pioner 88, KBR Benoa 1, Dongfu 881, MV Laut Lestari, Armada Salvage 8, dan Thien Li Kong 368—nama-nama ini tercantum dalam daftar Surat Perintah Kerja yang dirilis Hubla pada periode 2014-2017.
Surat sakti dari Hubla membuat sindikat ini kebal dari penangkapan aparat berwajib. Dengan surat itulah perusahaan salvage bisa beroperasi dengan dalih membantu pembersihan alur laut.
Dirjen Hubla yang saat itu dipimpin oleh Antonius Tonny Budiono pun menjadi sorotan. Dugaan adanya jual-beli izin untuk memuluskan langkah perusahaan salvage pun menyeruak, apalagi Tonny diduga menerima gratifikasi dari perusahaan salvage.
Dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, misalnya, Tonny disebut pernah menerima gratifikasi. Tonny tercatat menerima uang sebesar 50 ribu dolar AS dari perusahaan salvage yang melakukan pekerjaan pengangkatan kerangka kapal THORCO di kantor Ditjen Hubla pada Juli 2017.
Selain itu, Tonny juga disebut menerima uang sejumlah 10 ribu dolar AS dari Jonggung Sitorus yang merupakan Direktur Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) Kemenhub, pada 2017.
Namun demikian, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan, pihaknya belum mendalami dugaan suap dalam perkara izin salvage ini. Febri berkata, saat ini komisi antirasuah masih fokus pada pembuktian dakwaan yang sudah dibacakan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, pada Kamis (18/1/2018).
“Sejauh ini kasus yang melibatkan Ditjen Hubla sudah kami tuangkan di dakwaan. Jadi hal itu dulu yang kami proses,” kata Febri saat dihubungi Tirto, Rabu (24/1/2018).
Meskipun mengaku fokus pada pembuktian dakwaan di persidangan, Febri tidak menutup kemungkinan pihaknya untuk terus melakukan penyelidikan. Febri menyarankan agar masyarakat yang mengetahui adanya dugaan jual-beli izin perusahaan salvage melapor ke KPK.
“Jika ada informasi baru dapat disampaikan ke bagian pengaduan masyarakat KPK,” kata Febri saat ditanya soal kemungkinan keterlibatan Tonny dalam dugaan jual beli izin perusahaan salvage.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan. Menurut dia, komisi antirasuah tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penyelidikan adanya dugaan keterlibatan Tonny dalam jual beli izin untuk memuluskan perusahaan salvage menjarah kapal-kapal bersejarah di perairan Indonesia. Basaria mengatakan pihaknya akan mengumpulkan bukti terkait informasi tersebut.
“Nanti kita pulbaket (pengumpulan bahan keterangan) ya,” kata Basaria saat dihubungi Tirto.
Pengacara Tonny Menyangkal
Dugaan adanya jual-beli izin yang mengarah kepada Tonny bukan tanpa alasan. Tonny ditunjuk sebagai Dirjen Hubla menggantikan Bobby Mamahit pada Mei 2016. Kala itu, Bobby diberhentikan karena menerima suap dalam kasus korupsi proyek pembangunan balai pendidikan dan pelatihan ilmu pelayaran di Sorong, Papua.
Sayangnya, Tony pun turun dari jabatan Dirjen Hubla tersebut lantaran menjadi tersangka korupsi perizinan dan proyek pengerukan di Tanjung Mas, Semarang. Akibatnya, Tonny diberhentikan tidak hormat oleh Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, pada Kamis (24/8/2017) setelah ditangkap tangan KPK.
Menanggapi dugaan adanya jual beli izin perusahaan salvage, Bahtiar Sitanggang, penasihat hukum Tonny mengaku tidak mengetahui permasalahan reruntuhan kapal yang diangkut oleh perusahaan salvage. Ia pun mengklaim tidak tahu mengenai perizinan ataupun korupsi dari pembersihan alur laut.
Bahtiar mengatakan dirinya hanya menangani perkara Tonny dan fokus sesuai yang diproses KPK. “Saya tidak mendalami. Yang kami dalami cuma yang ada di dalam dakwaan itu,” kata Bahtiar saat dihubungi Tirto, Rabu (24/1/2018).
Dalam dakwaan yang dibacakan JPU KPK di Pengadilan Tipikor, Jakarta, pada Kamis (18/1/2018), mantan Dirjen Hubla itu didakwa menerima uang sebesar Rp2,3 miliar. Suap ini berhubungan dengan sejumlah proyek di lingkungan Kementerian Perhubungan, termasuk proyek Tanjung Mas.
Proyek tersebut terdiri atas: Proyek Pekerjaan Pengerukan Alur Pelayaran Pelabuhan Pulang Pisau Kalimantan Tengah Tahun Anggaran 2016, Pekerjaan Pengerukan Alur Pelayaran Pelabuhan Samarinda Kalimantan Timur Tahun Anggaran 2016, Pekerjaan Pengerukan Alur Pelayaran Pelabuhan Tanjung Emas Semarang 2017, serta karena terdakwa telah menyetujui penerbitan Surat Ijin Kerja Keruk (SIKK) untuk PT Indominco Mandiri, PT Indonesia Power Unit Jasa Pembangkitan (UJP) PLTU Banten dan KSOP (Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan) Kelas I Tanjung Emas Semarang yang proyek pengerukannya dilaksanakan oleh PT Adiguna Keruktama.
Atas penerimaan suap tersebut, Tonny didakwa melanggar Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Selain suap, KPK juga mendakwa Tonny menerima gratifikasi dalam enam jenis mata uang, yaitu: sebesar Rp5,815 miliar, USD479 ribu (setara Rp6,4 miliar dengan kurs tengah BI per 18 Januari 2018), EUR4,2 ribu (Rp68,44 juta), GBP15,5 ribu (Rp286,32 juta), SGD700 ribu (Rp7,06 miliar), dan RM11,2 ribu (Rp37,78 juta).
Dalam dakwaan JPU KPK, Tony juga disebut menerima uang di rekening Bank Bukopin KCP Ruko Billymoon Jakarta Timur nomor: 4715000903 An. Oscar Budiono Bsc. sejumlah Rp1.066.096.437, uang di rekening Bank Bukopin KCP Ruko Billymoon Jakarta Timur nomor: 4715200050 An. Oscar Budiono Bsc. sejumlah Rp1.067.944.536.
Selain uang, Tonny menerima hadiah berupa sejumlah barang dengan nilai total Rp243 juta. Barang-barang tersebut antara lain 16 cincin emas bermata batu kristal, dan sebuah cincin bukan emas selama 2015-2017 yang ditaksir bernilai Rp175 juta, jam tangan berbagai merk seharga Rp1 juta hingga Rp20 juta, serta 4 buah pena, gantungan kunci, dan dompet yang nilai totalnya Rp28 juta.
Atas gratifikasi yang diterimanya, Tonny diancam pidana sesuai Pasal 12 B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 junto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Meskipun mengaku tidak menerbitkan izin, tapi dalam dakwaan jaksa, Tonny disebut menerima gratifikasi dari perusahaan salvage. Tonny tercatat menerima uang sebesar $50 ribu dari perusahaan salvage yang melakukan pekerjaan pengangkatan kerangka kapal THORCO di kantor Ditjen Hubla pada Juli 2017.
Terkait gratifikasi dari pihak salvage ini, Bahtiar hanya menjawab “kalau tidak salah, itu tidak disebutkan dalam kaitan itu [jual beli izin], tetapi dia [Tonny] tahu bahwa perusahaan itu mau mengangkat kapal.”
“Jadi kapal itu, saya enggak tahu jadi diangkat apa enggak. Tapi kalau tidak salah, sudah disebutkan saya enggak tahu itu kapal tanker atau apa. Jadi, kan, supaya tidak mencemari laut, itu diambil dulu kapalnya, cuma itu saja,” lanjut Bahtiar.
Akan tetapi, sepengetahuan Bahtiar, Tonny tidak pernah menerima uang dalam rangka penerbitan izin maupun setiap kali dikunjungi. Menurut Bahtiar, KPK pun tidak berfokus pada pembuktian di permasalahan salvage ini. Komisi antirasuah, kata Bahtiar, hanya berfokus pada perizinan yang dikeluarkan.
Bahtiar mengatakan Tonny tidak pernah bercerita tentang penerimaan pasca-perizinan pembersihan alur bawah laut. Bahtiar hanya mendalami tentang perizinan pengerukan dan izin untuk dua perusahaan swasta, yakni Indomico dan Indonesia Power.
Selain itu, Bahtiar juga mengaku tidak tahu apakah ada penerimaan uang dari PT Jatim Perkasa atau tidak. Ia pun mengaku tidak tahu ada izin lain yang dikeluarkan Tonny, apalagi wewenang Tonny sebagai Dirjen Hubla cukup luas.
“Kalau yang lain kewenangannya, kami tidak mendalami. Mohon maaf, ya. Karena kewenangan dirjen itu luas, itu kami enggak [ikut] campur gitu, lho. Jadi kelihatannya ini, kan, hanya menyangkut soal tindak pidana korupsinya kan,” kata Bahtiar.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz & Maulida Sri Handayani