tirto.id - Kementerian Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) menanggapi adanya dugaan pelanggaran penggunaan izin salvage (kegiatan bawah air) dalam kasus hilangnya kerangka kapal perang Belanda di Laut Jawa.
Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Jhonny R Silalahi menyatakan pihaknya akan menindak tegas penyalahgunaan izin salvage yang dapat merugikan negara ataupun pihak lain.
"Tindakan tegas berupa peringatan I s.d. III hingga pencabutan izin salvage perusahaan pelayaran, sanksi pidana dan perdata akan diberlakukan sesuai ketentuan perundang-undangan bagi perusahaan salvage yang melakukan kegiatan tidak sesuai dengan perizinan yang diterbitkan oleh Direktorat KPLP," kata Jhonny melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Rabu (24/1/2018).
Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte sebelumnya telah memberikan laporan mengenai hilangnya kerangka kapal perang Belanda kepada Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Indonesia pada November 2016 lalu.
Dalam laporan itu, tiga kerangka kapal perang milik Belanda dinyatakan hilang dari lokasi koordinatnya di perairan dekat Pulau Bawean, Jawa Timur. Ketiga kapal itu adalah HNLMS De Ruyter, HNLMS Java dan HNLMS Kortenaer.
"Pemerintah Indonesia memandang serius laporan Pemerintah Belanda atas hilangnya kerangka kapal perang Belanda di Laut Jawa dan sudah ditindaklanjuti dengan adanya pertemuan Joint Expert Meeting I dan II," ujar Jhonny.
Ia menyatakan, pertemuan Joint Expert Meeting (JEM) I dan II yang dilaksanakan di tahun 2017, dikoordinir oleh Kementerian Luar Negeri dengan beranggotakan perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI Angkatan Laut, Arkeologi Nasional, Lembaga Cagar Budaya Belanda dan Angkatan Laut Belanda.
"Dan kemarin (23/1/2017), menindaklanjuti Joint Expert Meeting II, diadakan pertemuan yang dikoordinir Kementerian Luar Negeri dengan agenda membahas langkah-langkah ke depan terkait bentuk kerjasama yang akan diusulkan Pemerintah Indonesia untuk Pemerintah Belanda dalam hal konservasi cagar budaya dan cultural heritage di perairan Indonesia," ujar Jhonny.
Ia menyatakan, laporan hilangnya kerangka kapal perang Belanda itu harus disikapi dengan hati-hati dan tidak menuduh pihak-pihak tertentu tanpa disertai bukti yang jelas.
"Terkait peranan Ditjen Hubla di pertemuan JEM dimaksud adalah bagaimana suatu proses pengangkatan kerangka kapal atau salvage baik perizinan yang dikeluarkan maupun metode pelaksanaan yang digunakan untuk mengangkat kapal dengan kedalaman laut tertentu. Tentunya, semua perizinan yang dikeluarkan Ditjen Hubla sudah sesuai prosedur, sesuai ketentuan yang berlaku," tutup Jhonny.
Peran Ditjen Hubla dalam Maraknya Penjarahan Kapal Perang
Dalam laporan Tirto sebelumnya, Direktur KPLP Jhonny R Silalahi menyatakan bahwa penjarahan bangkai kapal tidak mungkin dilakukan oleh penyelam tradisional dan ada dugaan peran-peran pihak tertentu dalam kasus ini.
“Logikanya, ada peralatan canggih yang dipakai. Dan alat canggih itu pasti punya perusahaan yang ada izin usaha salvage. Yang keluarkan izin salvage siapa? Ya pasti Kemenhub. Dari situ Hubla diajak,” katanya pada 3 Januari lalu.
Namun, yang jadi persoalan adalah pihak KPLP dan Hubla bersikap tertutup dan enggan membagi seluruh daftar izin Surat Perintah Kerja (SPK) yang mereka keluarkan.
Redaksi Tirto sudah mengajukan permohonan merilis data izin SPK ini sejak 14 Desember 2017. Tiga data kami minta: daftar lengkap perusahaan memiliki izin usaha salvage, izin SPK kegiatan salvage periode 2013-2016, dan pendapatan negara dari jasa salvage.
Pada 20 Desember 2017 kami diminta datang ke kantor Kemenhub dan mengurus kembali surat permintaan data. Pada 29 Desember 2017, data itu kemudian diberi.
Nyatanya, Hubla hanya memberi daftar SPK tahun 2017. Permohonan meminta daftar SPK yang dirilis 2014-2016 tak disetujui oleh Hubla. Padahal, pada periode itulah kami bisa melacak bagaimana sindikat penjarah kapal bersejarah ini bekerja. Sebab, selama kurun waktu itu, penjarahan berlangsung masif dalam skala luas dan maupun waktu.
Keluhan sulitnya mendapatkan data tersebut ditembuskan ke Menhub Budi Karya. “Kenapa Anda tidak minta ke saya, nanti saya bantu,” katanya mencoba menawarkan solusi.
Sehari setelah bertemu Budi Karya, daftar SPK 2014-2016 pun dikirim. Namun, ada satu hal yang janggal.
Saat pemberian data pertama, pihak KPLP menyisipkan data rekapitulasi izin kegiatan salvage (lihat halaman terakhir pada tautan file di atas). Tertulis izin kegiatan salvage pada 2014 ada 39 kegiatan, pada 2015 ada 56 kegiatan, 2016 ada 52 kegiatan, dan 2017 tercantum 70 kegiatan. Totalnya ada 217 izin.
Anehnya, saat data SPK 2014-2016 diberikan pada 8 Januari 2018, angka itu merosot tajam. Pada 2014, hanya muncul 5 kegiatan, 2015 ada 7 kegiatan, 2016 ada 15 kegiatan, dan 2017 memiliki 10 kegiatan. Totalnya hanya ada 37 izin. Jika dibandingkan dengan data sebelumnya: ada 180 izin yang disembunyikan Hubla.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto