Menuju konten utama

Ada Berapa Kerajaan di Solo dan Apa Bedanya?

Ada berapa kerajaan di Solo? Simak apa saja perbedaan Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran yang sama-sama berada di Kota Solo.

Ada Berapa Kerajaan di Solo dan Apa Bedanya?
Keraton Surakarta. (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - Kota Solo memiliki 2 istana pecahan Kerajaan Mataram Islam yang lokasinya saling berdekatan. Dua bangunan istana tersebut ialah Keraton Kasunanan Surakarta atau Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran.

Keraton Solo dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Susuhunan (Sunan) Pakubuwana. Sebaliknya, Pura Mangkunegaran dipimpin oleh seorang adipati yang bergelar Mangkunegara.

Lokasi Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran sangat dekat, sekitar 2 km saja. Kompleks Keraton Solo berlokasi tepatnya di Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo. Sedangkan Pura Mangkunegaran berada di Kecamatan Banjarsari, Kota Solo.

Meski memiliki 2 istana pecahan Mataram Islam, namun sejatinya Kota Solo hanya memiliki 1 kerajaan. Kenapa demikian? Simak penjelasan, sejarah, dan uraian perbedaan Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran.

Sejarah Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran

Sama-sama berada di Kota Solo, Keraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran memiliki sejarah pendirian yang berbeda. Dari keduanya, Keraton Solo lahir lebih dulu ketimbang Pura Mangkunegaran.

Lahirnya Keraton Solo ditandai dengan pemindahan pusat Kerajaan Mataram Islam dari Kartasura ke Desa Solo (Sålå). Pemindahan yang dikenal sebagai Boyong Kedhaton tersebut dilakukan di masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana II setelah Peristiwa Geger Pecinan di Keraton Kartasura.

Setelah peristiwa itu pula, nama Surakarta Hadiningrat dideklarasikan. Surakarta sampai saat ini masih digunakan sebagai nama administratif (resmi) dari Kota Solo. Sedangkan, tanggal pemindahannya yaitu 17 Februari 1745 ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Solo, meski banyak perbedaan versi tanggal pasti pemindahan tersebut.

Keraton Solo lantas jadi pusat Kerajaan Mataram Islam. Namun selepas Pakubuwana II mangkat pada 1749, terjadi gejolak di Mataram. Kerajaan tersebut akhirnya pecah menjadi 2 bagian.

Peristiwa yang membelah Mataram menjadi 2 bagian itu terjadi lewat Perjanjian Giyanti pada 1755. Masing-masing berdiri 2 pusat kerajaan di Jawa kala itu, yaitu Keraton Kasunanan Surakarta di bawah rajanya Sunan Pakubuwana III dan Keraton Kasultanan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengkubuwana I.

Sementara, Pura Mangkunegaran menjadi pecahan ke-3 Mataram setelah Perjanjian Salatiga 1957. Salah satu kerabat Mataram, Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa diberi kekuasaan untuk Kadipaten Mangkunegaran. Sambernyawa lantas bertakhta di Pura Mangkunegaran dengan gelar Mangkunegara I.

Ditarik dari silsilahnya, para pendiri Keraton Solo, Keraton Jogja, dan Pura Mangkunegaran masih terhubung melalui garis keturunan Raja Mataram sebelumnya yaitu Amangkurat IV yang merupakan anak dari Pakubuwana I.

Raja pertama Keraton Solo, Pakubuwana II merupakan anak dari Amangkurat IV. Sedangkan, raja berikutnya selepas Perjajian Giyanti yaitu Pakubuwana II merupakan anak dari PB II sekaligus cucu dari Amangkurat IV.

Selanjutnya, Raja Keraton Jogja pertama Sultan Hamengkubuwana I merupakan anak sekaligus saudara dari PB I. Sedangkan Mangkunegara merupakan cucu dari Amangkurat IV melalui ayahnya yang bernama Pangeran Arya Mangkunegara.

Namun, Mangkunegaran sebenarnya bukanlah kerajaan. Dikutip dari laman Mangkunegaran, wilayah kekuasaan Mangkunegara ialah kadipaten yang merupakan daerah otonom dan berhak memiliki tentara independen.

Sehingga, Kadipaten atau Praja Mangkunegaran tidak dipimpin seorang raja yang bergelar sunan atau sultan. Pemimpin Mangkunegaran ialah seorang adipati atau disebutkan dalam Perjanjian Salatiga ialah pangeran miji yang mempunyai status setingkat penguasa di Jawa.

Istana Mangkunegaran juga tidak disebut keraton, layaknya Kasunanan Surakarta atau Kasultanan Yogyakarta. Istana yang ditempati adipati Mangkunegaran dikenal sebagai pura. Hal yang sama berlaku untuk Kadipaten Pakualaman (pecahan ke-4 Mataram Islam) yang berlokasi di Kota Yogyakarta.

Daftar Perbedaan Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran

Sekilas, Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran memiliki banyak persamaan. Terlebih secara pakaian, Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran cenderung identik ketimbang 2 saudaranya yang lain yaitu Keraton Jogja dan Pura Pakualaman.

Namun, sebenarnya ada banyak perbedaan antara Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran sebagai 2 dari 4 pecahan Mataram Islam. Apa saja perbedaannya?

Susuhunan Pakubuwono XIII

Susuhunan Pakubuwono XIII. wikimedia/Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

1. Pemimpin Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran

Pemimpin Keraton Solo ialah seorang raja yang bergelar panjang Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Pakubuwana. Sedangkan pemimpin Mangkunegaran dipimpin seorang adipati yang bergelar panjang Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara.

Sejak awal berdiri, raja Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran memiliki gelar identik. Pembedanya ialah angka romawi yang tersemat di belakangnya.

Saat ini, Pura Mangkunegaran dipimpin oleh Mangkunegara X yang sebelumnya bergelar Gusti Pangeran Haria (GPH) Bhre Cakrahutama Wira Sudjiwa. Masyarakat umum biasa memanggilnya Mangkunegara X atau Gusti Bhre.

Sebaliknya, Keraton Solo terakhir dipimpin Pakubuwana XIII yang sebelum menjadi raja bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Hangabehi. PB XIII sendiri baru saja mangkat pada Minggu (2/11/2025). Selanjutnya, Keraton Solo akan dipimpin Pakubuwana XIV.

Sementara, meski disebutkan dalam Perjanjian Salatiga bahwa Mangkunegaran dipimpin seorang pangeran miji yang setingkat penguasa di Jawa, namun penguasa kadipaten ini memiliki sejumlah keterbatasan. Salah satunya, pemimpin di Pura Mangkunegaran tidak diperkenankan duduk di singgasana layaknya sultan atau sunan.

Pura Mangkunegaran

pura mangkunegaran foto/www.surakarta.go.id

2. Istana Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran

Istana Kasunanan Surakarta ialah keraton, sedangkan istana Kadipaten Mangkunegaran ialah pura. Sekilas, 2 bangunan yang berdekatan ini juga cukup identik, namun bentuk Keraton Solo cenderung lebih kompleks ketimbang Pura Mangkunegaran.

Sejak adanya Perjanjian Salatiga, penguasa Mangkunegaran memang memiliki sejumlah keterbatasan dalam hal istana. Salah satunya, pura tidak diperbolehkan memiliki alun-alun dan sepasang pohon beringin kembar. Selain itu, penguasa Mangkunegaran juga tidak diperbolehkan memiliki Balai Witana.

3. Wilayah Kekuasaan Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran di Masa Lalu

Seluruh wilayah kekuasaan Keraton Solo dan Mangkunegaraan di masa lalu ialah mencakup eks Karesidenan Surakarta atau Solo Raya, di antaranya Solo, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten. Wilayah ini ditambah dengan enklave yang saat ini masuk ke dalam administratif Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hingga jelang kemerdekaan Indonesia, wilayah Mangkunegaran setidaknya mencakup utara Kota Solo (Kecamatan Banjarsari, sebagian Kecamatan Jebres dan Laweyan), Karanganyar, Wonogiri, dan enklave di Ngawen dan Semin (saat ini Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta).

Sedangkan wilayah Keraton Solo ialah sebagian Kota Solo, Sukoharjo, Sragen, Boyolali, Klaten, serta enklave di Kotagede dan Imogiri (saat ini masuk Daerah Istimewa Yogyakarta).

Keseluruhan wilayah Solo Raya tersebut (kecuali enklave) telah diintegrasikan ke dalam Provinsi Jawa Tengah. Salah satu ketetapannya tertuang dalam UU Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Tengah. Sedangkan wilayah enclave diintegrasikan ke dalam Daerah Istimewa Yogyakarta.

Mangkunegara X Pangeran Haryo

Gusti Pangeran Haryo (GPH) Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo resmi menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara X melalui acara pengukuhan di Pura Mangkunegaran Surakarta, Sabtu (12/3/2022). ANTARA/Aris Wasita

4. Pakaian Adat Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran

Secara sekilas, Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran memiliki pakaian adat yang sama untuk laki-laki, yaitu beskap yang merupakan busana Jawa langgam Surakarta. Namun, ada sejumlah perbedaan terkait pakaian adat ini.

Misalnya, soal penggunaan samir atau selempang pita yang biasa dipakai abdi dalem. Abdi dalem Keraton Solo menggunakan samir berwarna kuning dan merah. Sebaliknya, samir Pura Mangkunegaran menggunakan warna hijau dan kuning.

Selain itu, Mangkunegaran juga memodifikasi pakaian adat beskap. Melansir media sosial Mangkunegaran, pakaian adat resmi dari Mangkunegaran ialah Beskap Langenharjan yang diperkenalkan Mangkunegara IV pada 1871.

Beskap Langenharjan milik Mangkunegaran memiliki perpaduan Jawa dan Eropa. Perpaduan itu terlihat dari penggunaan dasi kupu-kupu, serta kemeja putih, rompi, kalung ulur, bros, dan rokkie walandi (jas busana Belanda yang dipotong bagian belakangnya).

Persiapan tradisi kirab malam satu sura Keraton Kasunanan

Abdi keraton mengarak kerbau bule keturunan Kyai Slamet saat latihan Kirab Malam Satu Sura di kawasan Keraton Kasunanan, Soio, Jawa Tengah, Senin (23/6/2025). Karaton Kasunanan Solo akan menggelar tradisi Kirab Malam Satu Sura dengan mengarak pusaka keraton, salah satunya kerbau bule keturunan Kyai Slamet pada Kamis 26 Juni tengah malam. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/rwa.

5. Ragam Acara Adat

Meski berdekatan, Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran menggelar acara adat secara terpisah untuk sejumlah peringatan dengan berbagai perbedaannya. Misalnya acara peringatan malam 1 Suro yang merupakan Tahun Baru Kalender Jawa.

Di Keraton Solo, peringatan 1 Suro digelar dengan HajadDalem Kirab Pusaka. Acara 1 Suro di Keraton Solo ini dilakukan dengan para peserta berjalan mengelilingi benteng keraton tanpa alas kaki dan tanpa berbicara. Kerbau albino yang diberi nama Kyai Slamet menjadi pemimpin kirab tersebut. Masyarakat umum mengenal acara ini sebagai kirab kebo bule.

Acara 1 Suro di Mangkunegaran cukup identik dengan Keraton Solo. Hanya, kirab 1 Suro Mangkunegaran tidak menyertakan kerbau albino. Umumnya, kirab dari Mangkunegaran digelar lebih dulu ketimbang Kasunanan.

Selain itu ada berbagai acara lain di masing-masing keraton/pura. Di Keraton Solo, acara adat itu turut meliputi Grebeg Maulud, Grebeg Besar, Kirab Malam Selikuran, dan sebagainya. Sedangkan di Mangkunegaran, acara adat tersebut meliputi Ruwahan dan berbagai agenda lain.

6. Peninggalan Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran di Masa Kini

Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran memiliki sejumlah peninggalan yang menjadi obyek wisata di Kota Solo sampai hari ini.

Salah satu peninggalan Keraton Solo itu ialah Taman Sriwedari. Melansir laman Badan Otorita Borobudur, Taman Sriwedari didirikan Sunan Pakubuwana 1887 sebagai peristirahatan dan juga rekreasi bagi keluarga raja.

Jika Keraton Solo punya peninggalan Sriwedari, maka Mangkunegaran juga mendirikan taman yang bernama Balekambang. Melansir Indonesia.go.id, Taman Balekambang didirikan Mangkunegara VII pada 1921 sebagai hadiah untuk kedua putrinya yaitu GRAy Partini dan GRAy Partinah.

Sebagai sesama penguasa Islam, Kasunanan dan Mangkunegaran juga punya peninggalan masjid yang terletak di dekat kompleks istana. Masjid Mangkunegaran dikenal sebagai Al-Wustho, lokasinya berada persis di sisi barat pura. Sedangkan Kasunanan memiliki tempat ibadah bernama Masjid Agung Keraton yang letaknya berada di dekat alun-alun utara.

Baca juga artikel terkait WISATA atau tulisan lainnya dari Dicky Setyawan

tirto.id - Aktual dan Tren
Penulis: Dicky Setyawan
Editor: Iswara N Raditya