tirto.id - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan sejumlah pengacara publik mendesak agar Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dapat membuka rekomendasi dari Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum.
“Kami minta Pemprov DKI saat ini, rekomendasi apa saja yang ada,” tegas Tommy Albert, pengacara publik pada Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ), dalam konferensi pers di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Minggu (10/2/2019).
Tommy juga menuntut agar Pemprov DKI membuka ruang partisipasi bagi warga untuk menguji setiap rekomendasi dan terlibat menentukan kebijakan pengelolaan air.
Tommy juga mendesak Gubernur DKI, Anies Baswedan, dapat memastikan penggunaan air dan pengelolaannya hanya dimanfaatkan untuk kemakmuran masyarakat.
“Bukan kemakmuran perorangan kelompok,” kata Tommy.
Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum dibentuk Pemprov DKI Jakarta usai putusan Mahkamah Agung (MA) yang merekomendasikan dihentikannya swastanisasi air di Jakarta.
Tommy menilai terdapat keuntungan yang diperoleh DKI Jakarta bila memutus keterlibatan swasta dalam pengawasan dan pengelolaan air bersih.
“[Ada keuntungan] tarif murah, karena tidak dibebani keuntungan swasta. Kami tahu semua. karena tidak ada swasta atau konglomerat tidak mencari keuntungan. Air yang dijual swasta kepada negara, ada keuntungan swasta yang harus ditanggung oleh masyarakat,” ujar dia.
Argumen Tommy didasarkan dengan menyandingkan penjualan air bersih di DKI Jakarta yang dilakukan perusahaan swasta yakni Aetra dan Palyja dengan Pemkot Surabaya melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surya Sembada.
Harga air per meter kubik di Surabaya sebesar Rp2.860, sedangkan di DKI Jakarta dua kali lipatnya yakni Rp7.800.
“Salah satu penyebab [harga air mahal], karena harga air di Jakarta dibebani keuntungan pihak swasta,” ujar dia.
Dengan tidak menggunakan perusahaan swasta, kata dia, pemerintah juga memperoleh manfaat dari segi keuangan, terlebih dengan proses pengelolaan air ini memiliki keuntungan bagi pendapatan pemerintah.
“Itu kenapa pengambilalihan dari swasta ke negara menjadi pilihan di negara-negara lain,” kata Tommy.
Dengan pencabutan akses air bersih dari swasta, kata dia, harga air baku bisa diawasi dan dikendalikan oleh pemerintah. Selama ini, akses air bersih, dipegang oleh swasta.
“Di bisnis air, keuntungannya dijamin oleh swasta dan negara. Kalau pemerintah tidak bisa membayar, uang negara dari APBD atau ABPN, harus diambil untuk keuntungan swasta,” ungkap dia.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Zakki Amali